HIDUPKATOLIK.COM – Persoalan IMB tempat ibadah di negara ini, hingga 767 tahun Indonesia merdeka kerapkali menjadi momok, khususnya bagi kaum minoritas. Bagaimana mengurai benang kusut ini?
UMAT Paroki St. Vincentius a Paulo Gunung Putri pantas bersyukur karena proses mendapatkan IMB pendirian gereja hanya butuh enam tahun (1994-2000). Sedangkan di beberapa tempat, butuh puluhan tahun, pun kalau sudah ada IMB-nya pembangunan gereja belum tentu berjalan lancar.
Kepala Paroki St. Vincentius a Paulo Gunung Putri, Pastor Alexander Ardhiyoga mengatakan perjalanan singkat umat mendapatkan IMB bukan berarti bebas dari perjuangan. Seluruh dinamika di masa lampau, teristimewa geliat penolakan dari warga sekitar, hendaknya menjadi pengalaman berharga untuk menatap masa depan Gereja. Sebagai Gereja yang menghadapi berbagai tantangan, umat perlu menyadari bahwa kehadirannya adalah untuk menghadirkan wajah Gereja yang penuh damai di tengah pluralitas anak bangsa.
Umat harus ditantang untuk mengembangkan toleransi antarumat beragama agar umat Katolik dapat diterima di tengah masyarakat. Persaudaraan dan persahabatan di tengah masyarakat dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah bisa menjadi akses utama memutuskan masalah laten IMB.
Power Relation
Aturan pendirian rumah ibadah sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006. Peraturan ini dianggap sejalan dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Pada pasal 14 ayat 1 peraturan tersebut disebutkan bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Lebih lanjut, pada ayat kedua, dijelaskan pula soal beberapa persyaratan khusus dalam pembangunan rumah ibadah. Pertama, daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah harus paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat. Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit harus berjumlah 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Selain itu, harus ada pula rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Ketiga, rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra saat dihubungi menyebutkan dirinya ingin afirmasi pemerintah untuk urusan kelompok minoritas. “Terutama bagi mereka yang kecil, tersisih dan menjadi objek persekusi, itu mereka perlu afirmas,” sebut Azra.
Selama ini, sebutnya, afirmasi kurang tampak kepada kaum minoritas. Misal saat kelompok minoritas ingin mendirikan tempat ibadah. Azra menyebutkan salah satu faktor adalah sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi dalam mendapatkan restu mendirikan tempat ibadah dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.
“Jadi persoalan IMB juga sebenarnya persoalan power relation. Siapa yang merasa dia mayoritas, yah memiliki kuasa lebih. Nah yang begini harus diatur oleh pemerintah supaya bertindak adil bagi seluruh masyarakat,” katanya.
Azra mengajak seluruh masyarakat untuk memahami bahwa sikap intoleransi pendirian tempat ibadah bisa muncul tidak saja dari kalangan Islam tetapi juga bisa terjadi di daerah mayoritas Katolik dan Protestan.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa menjadi sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.
“Bila ada mayoritas Muslim atau Kristen di pemerintah lalu adanya desakan dari akar rumput menjadi kuat bisa saja berpotensi menyulitkan kaum minoritas dalam mendirikan gereja,” ujarnya.
Perlu Fasilitasi
Sementara itu dalam pesan singkat, Rabu, 2/2/2022, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan perlu ada pengkajian lebih detail tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
“Perlu data di lapangan untuk menganalisa situasi konkrit umat beragama. Perlu dikaji dan disempurnahkan sebab ada beberapa multitafsir bahwa peraturan ini yang kerap menjegal kelompok minoritas dalam memperoleh hak beribadahnya. Tapi harus ditegaskan bahwa masyarakat tetap membutuhkan aturan pendirian rumah ibadah,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, tepatnya Januari 2021, dalam sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Menteri Agama juga menyinggung kemungkinan revisi peraturan dimaksud. Ia mengatakan peraturan ini memiliki kelemahan dari sisi hukum yang tidak kuat, yang desesif, atau asertif tidak ada dalam peraturan ini. Hal ini membuat munculnya dua pandangan di masyarakat terhadap peraturan ini. “Ada pihak yang menginginkan peraturan ini dikuatkan, ada juga yang meminta agar peraturan ini dicabut,” ujarnya.
Terkait dua pendapat ini, Kementerian Agama sedang melakukan kajian agar memudahkan para pemeluk agama mendirikan tempat ibadah. Yaqut berjanji akan menghapus aturan-aturan yang dapat mempersulit pendirian rumah ibadah.
Senada dengan Menteri Agama, Sekretaris Umum PGI, Pendeta Jacky Manuputty setuju untuk mengkaji lagi Peraturan Bersama Menteri Tahun 2006 tersebut. Jacky menilai peraturan ini harus diubah karena menjadi “masalah laten” lantaran tidak adanya pengawasan di lapangan.
Saat dihubungi, pendeta asal Ambon, Maluku ini memberi contoh di PGI sendiri dari tahun 2015-2018, gereja ditolak keberadaannya gegara tidak mengantongi rekomendasi dari FKUB. “Sementara di banyak daerah tidak ada komposisi FKUB yang jelas dan mencerminkan kesetaraan antara minoritas dan mayoritas. Jika komposisi kurang lengkap, bagaimana kewenangan FKUB dalam pemberian rekomendasi izin pendirian rumah ibadah,” sebutnya.
Jacky meyakini bahwa tugas utama FKUB sebagai forum dialog antarumat beragama masih sangat kurang. Menurutnya IMB itu tanggung jawab pemerintah bukan tanggung jawab lembaga non-pemerintah, apalagi LSM. Sebab terkadang pemerintah pusat jelas dengan aturannya tetapi di daerah pada sesuka hati.
“Harusnya, pemerintah di daerah memfasilitasi panitia pembangunan gereja bila dukungan penganut agama atau lingkungan sekitar belum terpenuhi. Karena jika sudah ada 90 penganut agama tetapi masyarakat sekitar belum terpenuhi, maka Pemda wajib fasilitasi. Bukan diam-diam begitu saja dan biarkan kasus bergulir, sehingga menimbulkan persoalan di tengah masyarakat,” tegas Jacky.
Lucunya juga, Jacky melanjutkan, Kepala Daerah enggan menerbitkan IMB padahal bangunan ibadah itu sudah ada sebelum adanya Peraturan Menteri Bersama. “Misal, gereja di Aceh Singkil yang mungkin sampai hari ini belum mendapatkan titik terang. Jacky juga melihat situasi ini diperparah dengan oknum Ketua RT atau RW, atau Ormas tertentu, tokoh masyarakat dan tokoh agama yang kerap memprovokasi umat beriman,” paparnya.
Di akhir pesannya, Jacky meminta partisipasi seluruh masyarakat terhadap kerukunan antar umat beragama. Bila ada situasi yang membuat situasi kurang nyaman, hendaknya diselesaikan dengan damai agar Indonesia menjadi laboratorium perdamaian. “Yah ada beberapa persoalan di negara ini yang sebenarnya tidak butuh jawaban, cukup dengan pengertian. Saya merasa persoalan IMB ini butuh pengertian dari hati yang terdalam warga negara,” ujarnya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 07, Tahun ke-76, Minggu, 13 Februari 2022