web page hit counter
Minggu, 29 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Keajaiban di Bulan Februari

5/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – BULAN Februari di tahun ini (2022) boleh diberi label bulan yang istimewa. Mungkin banyak yang bertanya: Emang ada apa sih di Februari kali ini? Biarkan saya ‘bongkar’ sedikit rahasianya.

Bulan Februari ini tidak bisa datang dalam waktu hidup Anda lagi, kecuali jika Anda mampu hidup hingga satu milenium lamanya. Suatu hal yang mustahil, bukan?

Alasan Februari tahun ini menjadi begitu spesial adalah Anda akan mengalami ketujuh hari sebanyak empat kali di bulan ini: 4 kali hari Minggu, 4 kali hari Senin, 4 kali hari Selasa, 4 kali hari Rabu, 4 kali hari Kamis, 4 kali hari Jumat dan 4 kali hari Sabtu.

Dan asal Anda tahu, hal ini terjadi setiap 823 tahun. Gak percaya? Hitung sendiri! Hal ini disebut Miraceln dalam bahasa Portugis yang berarti Keajaiban.

Namun, pertanyaannya adalah sadarkah Anda akan hal ini? Adakah sesuatu yang istimewa Anda lakukan untuk memaknai keajaiban yang terberi di bulan ini?

 Mencari Kerang-kerang Hijau

 Masih terekam jelas dalam memori saya akan pengalaman live in beberapa tahun yang lalu, terjadi di bulan Februari. Kala itu, saya dan beberapa teman sebiara mendapat jatah live in di ‘pelosok’ Kota Jakarta: Cilincing.

Potret suram Kota Jakarta barangkali tergambar dengan cukup jelas ketika saya berada di sana. Gedung-gedung pencakar langit yang megah, sangat kontras dengan perkampungan kumuh yang amburadul.

Masyarakat Cilincing mayoritas bergantung pada hasil tangkapan laut yang menjadi pundi-pundi pendapatan mereka. Ada banyak potret miris lainnya yang menggambarkan salah satu sudut Ibu Kota ini (yang sebentar lagi akan jadi eks Ibu Kota), namun cukuplah pembicaraan kita sampai di situ.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Saya mendapat kesempatan menempati rumah seorang nelayan di sana selama kurang lebih dua minggu. Keluarga itu adalah keluarga Pak Oman, dengan istri dan ketiga anaknya yang mulai beranjak remaja.

Setiap pagi, Pak Oman harus bangun pagi-pagi untuk berangkat melaut, mencari kerang hijau yang ada di lautan. Menariknya, kerang hijau itu didapatkan dari bawah kapal-kapal kargo atau kapal-kapal besar lainnya yang tengah diam di lautan, menunggu jadwal akan berlayar kembali.

Bagian paling sulit adalah menemukan kapal yang bagian dasarnya telah ditumbuhi oleh kerang-kerang hijau. Hal ini tidak mudah karena butuh waktu minimal 3 bulan, hingga suatu kapal yang tengah berlabuh itu bisa ditumbuhi oleh kerang-kerang hijau.

Jadi para nelayan di sana harus jeli menemukan kapal mana yang kira-kira sudah lama berlabuh dan memungkinkan terdapat kerang-kerang hijau di bagian dasar kapal. Memang ada ratusan kapal yang berlabuh, namun letaknya saling berjauhan dan kita pun mesti berlomba dengan nelayan lain yang juga mencari kerang yang sama.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Suatu hari, dengan semangat yang membara (mengimbangi semangat ‘45), saya dan Pak Oman berangkat melaut untuk mencari kerang hijau. Perjalanan cukup jauh untuk sampai di tengah lautan dan cuacanya waktu itu kurang bersahabat.

Dengan penuh harapan, kami mengitari setiap kapal besar yang tengah berlabuh, menyelam dengan peralatan yang begitu sederhana (berbekal kompresor yang biasa digunakan untuk isi angin ban kendaraan bermotor dan selang panjang untuk dihubungkan dengan mulut penyelam sebagai pembantu pernapasan), mencoba melacak keberadaan kerang hijau yang kami cari.

Lelah perlahan-lahan menghinggapi raga kami masing-masing, namun hasil tangkapan belum satu pun kami peroleh. Kecewa perlahan mengendap samar menghampiri benak kami masing-masing.

Namun tanggung jawab untuk paling tidak mendapat hasil, barang setitik untuk sepeser uang, tetap menghantui diri kami, membuat kami harus pantang menyerah mendapatkannya. Sebab jika hari itu kami tidak mendapatkan uang sepeser pun, maka saya dan Pak Oman sekeluarga akan kelaparan karena tidak bisa membeli makanan. Akhirnya kami harus mengalah dengan waktu, dan juga dengan keberuntungan yang tampaknya belum digariskan bagi kami di hari itu.

Baca Juga:  Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC: Kebersamaan yang Berkualitas

Kami pulang dengan tangan hampa, tak ada tangkapan satu pun yang kami dapat… Hanya lelah di badan yang dibawa pulang. Sungguh kenyataan yang memilukan waktu itu. Saya merasakan betapa kerasnya dunia. Kami tiba kembali di rumah ketika Adzan Maghrib berkumandang.

“Mungkin belum rejekinya hari ini. Kesusahan hari ini biarlah cukup untuk hari ini. Yok kita karaokean dulu,” kata Pak Oman mengulurkan sebuah mikrofon kepada saya, mengajak bernyanyi bersama.

Tak ada lagi raut kekecewaan dari wajahnya. Baginya, hidup itu sendiri sudah menjadi berkat luar biasa dalam hidupnya. Karena itu, tidak ada alasan untuk bersungut-sungut. Hari ini gagal, besok coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.

“Jangan menyerah pada kenyataan. Hidup memang harus begitu. Harus diperjuangkan,” ujar pak Oman dengan wajah berseri.

Saat itu, sontak saya menjadi sadar akan berharganya hidup itu. Itulah keajaiban yang senantiasa Tuhan berikan tiap detiknya bagi saya. Pelajaran itu saya dapatkan dari orang yang begitu sederhana di sudut Ibu Kota, yang mungkin dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Hari itu boleh berakhir dengan perut keroncong namun hati tetap penuh dengan syukur.

Fr. Ichal Magung, SX
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles