HIDUPKATOLIK.COM – ADA pepatah yang mengatakan “pengalaman adalah guru terbaik”. Menurut saya, pepatah tersebut ingin mengungkapkan bahwa pengalaman adalah bagian dari manusia itu sendiri. Manusia menjadi subjek utama dalam setiap kejadian atau peristiwa penting yang telah terjadi.
Dari pengalaman, manusia mampu belajar memahami makna dari kehidupan dan mengerti pesan yang ingin disampaikan dalam suatu peristiwa. Tanpa pengalaman manusia tidak dapat belajar apa-apa tentang makna kehidupan.
Setiap manusia pasti memiliki cerita pengalamannya sendiri baik itu pengalaman yang membahagiakan, menyedihkan, mengharukan, menyeramkan, dan lain-lain.
Saya secara pribadi sudah merasakan berbagai macam pengalaman dan sederet peristiwa dalam hidup ini. Namun, ada satu pengalaman yang membuat saya sulit untuk melupakannya yaitu, pengalaman mission experience (pengalaman bermisi). Saya akan menceritakan sedikit mengenai pengalaman indah yang telah saya alami.
Mission Experience
Pada 9 Desember 2020 adalah awal mula dimulainya kegiatan mission experience. Kegiatan ini adalah bagian dari program tahunan masa pembinaan di TOR (Tahun Orientasi Rohani).
Saya dan bersama sahabat-sahabat lainnya akan memulai perjalanan jauh dari Makassar ke Mappak-Simbuang, Tana Toraja. Pukul 15.00 kami berhasil tiba di tempat tujuan, yaitu tepatnya di Paroki St. Fransiskus Xaverius, Messawa. Perjalanan yang jauh pastinya membuat saya lelah dan harus beristirahat.
Keesokkan harinya, kami semua dipanggil berkumpul di aula pastoran oleh pastor paroki. Dalam pertemuan yang berlangsung, kami membahas mengenai kegiatan apa saja yang akan dilakukan selama berada di stasi sekaligus pastor paroki juga berbicara mengenai petunjuk rute perjalanan yang akan ditempuh.
Pada 11 Desember 2020 adalah awal mula dimulainya kegiatan itu. Kami membagi dua kelompok, sebab rute perjalanan yang akan dituju berbeda-beda.
Pukul 08.00 saya bersama kedua rekan seperjuangan memulai perjalanan dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan saya merasa senang, karena jalan yang dilalui cukup baik, walaupun disertai dengan teriknya matahari tidak menjadi penghalang bagi saya untuk menjalani kegiatan mission experience.
Kira-kira selama 5 jam saya berjalan kaki dan perut pun terasa lapar. Untungnya, kami membawa bekal untuk dimakan di siang hari sekaligus kami beristirahat di rumah salah satu umat yang kebetulan anaknya juga adalah seorang frater.
Setelah beristirahat, seperti biasanya kami melanjutkan perjalanan, tetapi untuk kali ini sensasinya cukup berbeda. Saya bersama kedua rekan memulai perjalanan yang paling menyulitkan yaitu mendaki. Bagi sebagian orang, mendaki merupakan hal yang biasa seperti yang dilakukan oleh anak mapala.
Tetapi, pendakian yang saya jalani kali ini cukup berbeda. Mengapa? Karena saya harus bertarung dengan jalanan yang kurang baik, tanah merah, teriknya matahari, persediaan air yang hampir habis, dan diperberat dengan barang bawaan. Di saat itulah saya benar-benar merasa inilah titik lemah dari diri saya.
Selama hampir kurang lebih 4 jam saya mendaki dan masih belum menemukan stasi yang akan saya tuju. Keadaan tambah parah dimana hujan turun sehingga membuat jalan begitu licin yang memaksakan diriku untuk bertelanjang kaki. Rasa haus yang begitu membakar tenggorokan membuat saya harus berhenti sejenak beberapa kali. Adanya rasa ingin berhenti melanjutkan perjalanan, namun dalam hati seperti ada dorongan yang memaksa saya untuk tetap melanjutkannya.
Saya tetap berjalan meski rasa haus tak bisa kutahan lagi, tetapi mungkin Tuhan mengerti penderitaan yang kurasakan sehingga saya beristirahat tepat di aliran sungai. Air sungai yang segar dan berasal dari pegunungan begitu melegakan rasa haus yang ku derita. Setelah melepas dahaga, perjalanan tetap dilanjutkan.
Selama kurang lebih satu jam berjalan, akhirnya saya sampai ke stasi yang saya tuju yaitu stasi Batu Sittene atau sering disingkat dengan nama BTS. Saya pun diterima dengan begitu ramah di rumah seorang bapak katekis. Kopi hangat pun menjadi pembuka pembicaraan hangat saya dengan tuan rumah. Saya pun tinggal bersamanya selama menjalani kegiatan ini, sedangkan kedua rekanku tetap melanjutkan perjalanan ke stasi yang mereka tuju.
Malam yang begitu sunyi dan dingin yang membuat saya merasa ma’didik (Toraja: kedinginan). Saat saya memperkenalkan diri dan begitupun juga dengan tuan rumah yang memperkenalkan dirinya beserta keluarganya. Itulah awal mula saya mengenal keluarganya.
Selama kurang lebih 3 minggu saya menetap di sana. Saya menjalani beberapa kegiatan, seperti melatih anak sekami bernyanyi, memimpin ibadat hari Minggu, gotong-royong bersama warga sekitar, dan lain-lain.
Hal yang paling membuat saya terkesan selama menetap di sana, mereka menganggap saya seperti keluarga atau lebih tepatnya seperti anak kandung sendiri. Saya berbagi cerita dengan mereka sebaliknya mereka pun berbagi kisah hidup mereka yang membuat saya belajar. Saya merasa bahagia selama tinggal disana, khususnya di rumah bapak katekis yang mana saya belajar banyak hal dari kehidupan keluarganya.
Ketika masa kegiatan ini selesai, pastinya saya harus kembali lagi ke rumah TOR untuk memulai semester yang baru. “Ada pertemuan, ada perpisahan”. Itulah ungkapan yang sering terdengar. Saya pun harus berpisah dengan mereka, walaupun terasa berat hati untuk berpisah namun saya harus tetap melakukannya. Pada tanggal 8 januari 2021 itulah hari dimana saya berpisah dengan keluarga mereka dan kembali ke rumah formasi.
Dari pengalaman tersebut saya merenungkan makna apa yang kira-kira bisa saya petik: pengalaman menemukan Tuhan. Lalu, di mana letak hubungan antara pengalaman pribadi dan Tuhan?
Pertama, saya menemukan Tuhan dalam segala hal, khususnya situasi sulit. Dalam Kitab Nahum 1:7 dikatakan, “Tuhan itu baik; Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan; Ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya.”
Dalam hidup semua manusia pasti mengalami kesulitan baik kesulitan yang kecil sampai yang besar. Namun, dalam kesulitan itulah Tuhan hadir. Manusia tak perlu menuntut Tuhan hadir secara nyata. Tuhan punya cara tersendiri untuk membantu orang yang selalu berharap padanya.
Mengapa Tuhan hadir di saat seperti itu? Alasannya cukup sederhana. Tuhan ingin menunjukkan bahwa tak ada kesulitan apapun yang tidak dapat diselesaikan. Tuhan punya cara-Nya. Hanya saja yang manusia butuhkan adalah keterbukaan hati untuk menerima bantuan yang Ia tawarkan.
Kedua, saya menemukan Tuhan dalam keluarga. Dari pengalaman saya tinggal bersama keluarga bapak katekis, saya merasa bahwa Tuhan hadir dalam keluarga itu. Kehadiran-Nya dapat dirasakan melalui cinta yang mereka berikan kepada saya.
Walaupun dalam keluarga itu saya menemukan berbagai macam karakter dan sifat yang berbeda mulai dari yang sifatnya cerewet, pendiam, jahil, dan lain-lain, namun, Tuhan ingin saya belajar menemukan kehadiran-Nya bukan menggunakan kacamata manusia tetapi melihat dengan hati. Sehingga dari cinta yang mereka berikan kepada saya, Tuhan hadir untuk menyatakan diri-Nya lewat hal yang sederhana. Sebab keluarga adalah tanda cinta pertama-Nya kepada manusia ketika manusia dilahirkan ke dunia.
Fr. Agryanto Lomes, CICM
Mahasiswa STF Driyarkara