web page hit counter
Minggu, 17 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

SAHABAT

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM

“Wina?” tanyanya setelah beberapa detik matanya menelanjangiku dari ujung rambut sampai kaki.

Wajahnya berbinar. Aku menahan senyum dan membiarkannya menebak-nebak. Mata yang penuh tanda tanya itu tetap segar seperti puluhan tahun lalu meskipun sekarang kelopak matanya mulai kisut berkerut. Setelah aku mengangguk sambil tersenyum barulah ia mengepalkan tangannya mengajakku tos. Masker biru yang dikenakannya bergerak-gerak mengembung mengempis seiring dengan bicaranya.

Maryu tergopoh-gopoh mengajakku duduk. Gayanya tak ada yang berubah sejak puluhan tahun lalu. Keramahan membuatnya tergopoh mempersilakan duduk dan membanjiriku dengan banyak pertanyaan, menjembatani puluhan tahun ketiadaan kontak di antara kami. Kursi anyaman rotan dengan rangka dan pegangan besi bercat biru telur bebek ini masih saja ada. Bedanya dulu masih mulus catnya, sekarang banyak yang terkelupas dan menampakkan pipa besi yang hitam berkarat.

“Masih ingat aku rupanya,” katanya.

Aku tersenyum dan merasa tersindir. Ingatan membawaku pada pesan whatsapp yang pernah kuabaikan karena nomor baru. Pekerjaan yang menumpuk mengalihkan perhatianku dari perbuatan sia-sia menduga-duga siapa pengirimnya.

“Tiga puluh lima tahun ada ya, kita?” tanyaku mengira-ira.

“Ya, selepas SMA kamu pindah ke Klungkung dan aku tetap setia di kota kecil kita ini,”kata Maryu.

“Aku kembali ke kota ini. Kami pindah sejak dua bulan lalu karena ingin menikmati masa tua di kampung halaman. Lagipula Dinda, sulungku, dapat pekerjaan di sini ya sekalianlah pindah semua. Rumah di sana ditempati si bungsu,” kataku.

Selanjutnya, obrolan menjadi riuh ketika beberapa kenangan masa kecil kami membual lagi di sore hari yang panas itu, seriuh bunyi kriuk rempeyek yang kami kunyah. Seruputan teh cap Cathut hijau yang beraroma khas menyelingi. Memang Tambi di dataran tinggi Dieng punya kualitas teh yang baik. Bibir kami masih pandai menyisihkan daun-daun teh di cangkir agar tidak ikut terteguk. Teh cong, kami menyebutnya. Teh merek itu memang tidak memproduksi teh celup. Kemasannya berbentuk kubus berukuran 7 cm. Aku selalu berhati-hati membuka kertas bungkusnya agar tidak ada bagian yang robek. Kertas teh itu kugunakan untuk kertas corat-coret menghitung di pelajaran Matematika. Harum dan segarnya membuatku lebih cepat menghapal rumus dan menghitung hasil akhirnya.

Baca Juga:  KWI dan Garuda Indonesia Jalin Kerja Sama "Community Privilege"

Rempeyek yang gurih dan renyah di toples kaca itu makin membuatku yakin bahwa Maryu memang berbakat memasak sejak dulu. Pada masak-memasak dalam pelajaran Prakarya, kelompok kami selalu mendapat nilai tertinggi. Dia di bagian meracik bumbu, aku asisten chef, dua teman lain mempersiapkan meja, kursi, taplak, bunga, dan kartu kalkulasi harga bahan-bahan yang dimasak. Guru Prakarya selalu memberi nilai sama untuk seluruh anggota kelompok meskipun peran Maryu selalu lebih dari kami. Maryu tidak pernah mempermasalahkannya. Baginya yang penting persahabatan, bukan nilai.

Maryu selalu menganggapku sebagai sahabat terbaiknya. Sebagai sahabat, ia setia, lebih daripada aku. Kasihnya tulus tanpa pretensi apa pun. Keluarganya pun demikian. Ayah ibunya, adik-adiknya, kukenal semua. Aku pernah diajak piknik oleh keluarganya ke luar kota. Ayahnya yang sopir bus antarkota rute Jogja-Semarang sedang inreyen bus baru. PO tempatnya bekerja  memercayakan inreyen pada ayah Maryu.  Bus merek ternama di Jepang dan dikaroserikan di selatan kota Magelang itu masih kinclong dan tanpa jok penumpang. Satu-satunya jok adalah jok pengemudi. Tikar dan kasur membentang di lantai bus. Baju ganti, nasi dan lauk bertas-tas di ujung. Pergi tanpa izin dari ayahku terbayar lunas dengan keasyikan piknik murah meriah bersama keluarga dan beberapa tetangganya. Ayahku berat karena acara ke Bromo itu 23-26 Desember.

“Kamu tidak misa Natal tapi malah piknik? Kamu kan juga harus mempersiapkan anak-anak Bina Iman untuk Kunjungan Tiga Raja dari rumah ke rumah,” tanya ayah heran dengan keinginanku.

Aku pergi diam-diam dari rumah. Tas berisi beberapa baju sudah kutaruh di rumah Maryu sehari sebelumnya. Setiap tahun ada misa Natal tapi piknik ke Bromo kalau tidak kali ini entah kapan bisa, pikirku.

Baca Juga:  PESPARANI II PROVINSI KALIMANTAN UTARA: KEDEPANKAN SPIRIT KATOLIK

Pemandangan di depan adalah gunung pasir dengan jalan setapak menanjak. Ayah Maryu menawar beberapa kuda untuk pendakian kami di Penanjakan. Aku mendapat kuda berwarna coklat dengan surai putih. Gerak-gerik kuda mencurigakanku. Ia tampak gelisah dan beberapa kali mendengus. Pemilik kuda membetulkan pelana dan pijakan kaki yang berupa gelangan besi itu.

Kuda-kuda kami berjalan pelan beriringan. Kami terangguk-angguk di punggungnya. Pemilik kuda memegang tali kendali dan berjalan di samping. Pada jalan yang menanjak dan sempit itu moncong kudaku mengendus-endus pantat kuda di depannya yang ditunggangi Maryu. Suara ringkik dan dengusan berganti-ganti dengan kepalanya yang sibuk disondol-sondolkan di pantat kuda Maryu. Sedang horny, tampaknya. Kami tertawa terkikih-kikih melihat gerak-gerik kuda dimabuk birahi. Penuntun kuda menepuk leher kuda sehingga kudaku kaget dan marah. Tiba-tiba kudaku menaikkan kedua kakinya seperti logo mustang. Penuntun kuda kaget dan tidak memprediksi hal itu terjadi. Aku terlanjur meluncur dari pelana dan jatuh terguling di tanah berpasir dengan kemiringan yang curam. Semua panik. Rombongan kuda berhenti. Penuntun kuda membantuku bangun dari posisi tengkurap yang memalukan.

“Itu karena kamu tidak pamit pada ayahmu,” kata Maryu dalam terkikih.

“Tuhan bisa besok tapi Bromo hanya hari ini,” jawabku.

Tawa kami pecah. Kegembiraan persahabatan itu terus terkenang hingga sore ini.

Maryu mengambil motornya di halaman samping rumah. Ia mengajakku mampir di tempat usahanya, di ruko yang berjarak 3 km dari rumahnya.

Sebuah warung soto ayam dengan angkringan berbahan kayu terpajang di muka. Sehelai spanduk bergoyang-goyang ditiup angin. Spanduk itu bertuliskan : Soto Ayam Bu Maryu. Enam bangku panjang di dalamnya kadang penuh di jam-jam tertentu juga hari Minggu pagi. Biasanya orang-orang sarapan soto sepulang jogging di taman kota. Hobi memasak sejak SMA rupanya berlanjut dan bahkan dapat diandalkan sebagai usaha yang menghidupi keluarga. Soto ayam khas kota asal, berkuah bening tidak bersantan dan tidak kuning, suwir-suwir ayam yang menggunung dan taburan bawang putih goreng yang harum menggoda. Lengkap dengan sajian tempe kedelai goreng kering, bacem kethak dan tempe gembus, juga kerupuk karak.

Baca Juga:  Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Menjadi Kumpulan Orang Pilihan

“Laris kan?” tanyaku.

“Sayangnya sebentar lagi bukan jadi milikku,” jawabnya.

Wajahnya memuram dengan cepat.

“Ruko yang nekad kubeli dengan cara angsur ini telah menghidupi keluargaku bertahun-tahun. Sepuluh tahun terengah mengangsur barulah lunas. Lega rasanya. Tapi Mas Ad lalu sakit, dikalahkan oleh gula. Sejak Mas Ad pergi, warung ini jadi andalanku dan anak-anak karena Mas Ad tidak meninggalkan pensiun juga warisan apa pun. Ada pihak yang mengklaim bahwa ruko ini miliknya. HGB-nya juga atas nama dia,” katanya.

“Tidak kamu tanyakan ke BPN? Bawa ke sidang kalau perlu,”kataku.

Ada emosi yang menggelitik di hatiku. Tega-teganya orang mengganggu kehidupannya. Aku siap membantunya. Bukan melulu Maryu telah lebih banyak setia padaku tetapi melihat kehidupan ekonominya saat ini, aku cukup prihatin.

Ponsel di tasku bergetar. Rupanya dari Dinda, anak sulungku. Aku meminta izin pada Maryu untuk mengangkat telepon.

“Ma, Dinda nanti pulang agak lambat. Permohonan SHM tanah dan ruko di Jalan Pajajaran sudah di-acc jadi tinggal urus ke BPN. Dinda sedang menyiapkan berkas-berkasnya. Jadi sederet ruko itu minggu depan sudah sah milik kita. Nanti kita rombak yang tiga ruko itu dijadikan satu saja biar lebih leluasa untuk usaha. Mama bisa jadikan cabang baru. Interiornya kita samakan saja dengan cabang di Jogja,” kata Dinda penuh antusias.

Aku terkesiap. Mataku melihat plang nama jalan berwarna hijau yang kurus langsing di dekat trotoar. Jalan yang dulu bernama Jalan Tengkon itu telah berganti nama menjadi Jalan Pajajaran. Pandanganku beralih pada deretan ruko di belakang Maryu berdiri. Sahabatku itu sedang berbincang dengan seseorang, mungkin pemilik ruko di sebelahnya, ruko yang sebentar lagi akan beralih pemilik.

Oleh Lidwina Ika

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles