HIDUPKATOLIK.COM – Tujuan Protokol ini tak lain adalah untuk menciptakan Gereja yang kian ramah, kian signifikan, dan kian relevan.
PAUS Fransiskus mengeluarkan Surat Apostolik berbentuk Motu Proprio berjudul “Vos Estis Lux Mundi” pada tanggal 7 Mei 2019. Dokumen ini menetapkan prosedur baru untuk melaporkan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh para imam dan religius, serta tindakan atau kelalaian para uskup dan pemimpin religius yang dengan cara apa pun menganggu atau gagal menyelidiki Kekerasan Seksual.
Direktur Editorial Diskateri Komunikasi Vatikan, Andrea Tornelli turut menguraikan bahwa aturan-aturan baru Paus Fransiskus untuk memerangi Kekerasan Seksual ini, termasuk di dalamnya kewajiban bagi para imam dan religius untuk melaporkannya. Setiap keuskupan harus memiliki sistem yang memudahkan publik mengirimkan laporan.
Dokumen ini merupakan hasil Pertemuan Perlindungan Anak di Bawah Umur yang diadakan di Vatikan pada bulan Februari 2019. Judul dokumen yang berarti “Kamu adalah terang dunia” yang diambil dari Injil Matius ini mau menegaskan bahwa Kristus memanggil setiap orang untuk menjadi contoh yang bersinar dari kebajikan, integritas, dan kekudusan. Maka dengan ini menetapkan aturan prosedural baru untuk memerangi Kekerasan Seksual. Untuk itu, norma-norma universal berlaku untuk seluruh Gereja Katolik.
Tiga Bagian
Sebagai penanda Tahun Penghormatan Martabat Manusia (Arah Dasar KAJ 2022-2026), Sabtu, 8 Januari 2022 diluncurkan Protokol Perlindungan Anak Dan Dewasa Rentan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) di Katedral Jakarta. Berdasarkan Press Release yang dikeluarkan pada tanggal 15 Januari 2022, Sekretaris Jenderal KAJ, Romo V. Adi Prasojo menjelaskan bahwa protokol ini memiliki tiga bagian utama.
Pertama, pendahuluan yang menjelaskan alasan dan tujuan protokol disusun, dasar hukum dan teologis, pengertian/istilah dan prinsip-prinsip dasar yang perlu diikuti dalam melaksanakan Protokol. Bagian pertama ini perlu dipelajari sebelum dapat menggunakan standar Protokol selanjutnya.
Kedua, standar Protokol yang terdiri dari standar pencegahan (sebelum kasus terjadi), penanganan kasus (setelah terjadi), pemulihan (setelah terjadi), ketaatan (compliance dan monitoring) untuk memastikan semua standar Protokol dilaksanakan dengan baik. Bagi pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait pelaporan/pengaduan kasus dapat langsung membaca Protokol Penanganan. Begitu pula bagi pihak yang membutuhkan informasi penanganan untuk tahapan pemulihan, setelah membaca pendahuluan dapat langsung ke Protokol Pemulihan.
Ketiga, lampiran-lampiran yang terdiri dari informasi teknis, form isian, tata cara pelaksanaan Protokol dan dokumen lain yang dibutuhkan untuk melaksanakan standar Protokol ini.
Tanggapan Nyata
Gereja KAJ ikut terlibat dan menanggapi panggilan kemanusiaan melalui gerakan penghormatan martabat manusia khususnya pada tahun 2022 ini. “Protokol ini menjadi salah satu penanda dan komitmen Gereja KAJ menghormati martabat manusia. Ada sejumlah Tarekat Religius yang juga sudah merumuskan protokol serupa untuk lembaga-lembaga yang mereka selenggarakan.” tulis Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo melalui surel kepada HIDUP, 22/1/2022.
Kardinal Suharyo menuturkan, Paus Fransiskus memberikan arahan dan inspirasi bagi seluruh Gereja untuk memiliki dan mengembangkan Protokol sudah sejak beberapa tahun silam. KAJ menanggapi dengan membentuk Tim Gereja Ramah Anak dan Dewasa Rentan (Tim 15) pada bulan Agustus 2020. “Tim 15 dibentuk sebagai tanggapan nyata atas instruksi Bapa Suci Paus Fransiskus dan tanggapan atas panggilan kemanusiaan Gereja KAJ di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia. Berawal dari diskusi dan kecintaan terhadap Gereja dari beberapa aktivis Forum Sosial Politik KAJ mulailah dibentuk tim ini,” jelasnya.
Menurut Kardinal, penyusunan Protokol membutuhkan banyak dialog dan diskusi dengan pelbagai pihak, baik itu internal Gereja, perwakilan masyarakat sipil maupun para pemerhati sosial kemanusiaan, ahli-ahli dalam berbagai bidang keilmuan. Waktu yang panjang penyusunan Protokol menyiratkan kesungguhan, kehati-hatian, perhatian dan ketekunan untuk semakin membuat Gereja signifikan dan relevan.
Kardinal menjelaskan, secara umum dan berkala, setiap keuskupan mengirimkan laporan statistik tahunan mengenai kondisi dan dinamika pastoral-evangelisasi setiap tahun. Namun khusus untuk norma dan prosedur pelaporan telah diatur dalam Vademecum on Certain Points of Procedure in Treating Cases of Sexual Abuse of Minors Commited by Clerics (Congregation for the Doctrine of the Faith, 2020).
Dengan kehadiran Protokol ini, Kardinal merasa perlu dimaknai sebagai undangan bagi segenap umat beriman, awam, biarawat-biarawati dan imam. “Dalam pengakuan iman kita mengucapkan Aku percaya kepada Gerja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Pengakuan ini bukan sekadar mengucapkan rumus mengenai sifat Gereja. Rumusan itu mesti diterjemahkan ke dalam aturan, pedoman dan juga protokol yang membantu agar rumus iman itu menjadi hidup iman agar Gereja sungguh-sungguh dipercaya,” tambahnya.
Selain itu, bagi Kardinal, media Katolik juga memiliki peran penting untuk terlibat dalam membangun Gereja menjadi lingkungan yang semakin ramah anak dan dewasa rentan. Sehingga keterlibatan khas media adalah dalam menyebarluaskan pesan perlindungan Gereja bagi setiap pribadi khususnya bagi anak dan dewasa rentan, ikut serta mengomunikasikan literasi mengenai Gereja sebagai wajah kerahiman Allah dengan menciptakan lingkungan yang semakin ramah.
Iklim yang Aman
Tim 15 dipimpin Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian KAJ yang juga bertugas sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI yakni Romo Agustinus Heri Wibowo. Konon, kaat Romo Heri, ia sekadar menerima undangan untuk sebuah rapat bersama. Kemudian, bersama salah satu Anggota Tim 15, Emmy Lucy, ia mempelajari beberapa hal, menggali beberapa referensi, dan hal-hal pendukung lainnya, menyusunnya, dan menghasilkan “bahan yang pertama”. “Bahan itulah yang menjadi titik pijak untuk proses selanjutnya,” ujar Romo Heri.
Protokol ini akan disosialisaikan ke paroki-paroki, namun menurut Romo Heri masih dalam pembahasan bersama. Ketika dihubungi HIDUP melalui WhatsApp, 17/01/2022, ia menjelaskan, diperkirakan paroki-paroki perlu menyiapkan SDM, capacity building, penerjemahan Protokol ke dalam bentuk konkret, dan sarana prasarana pendukung yang lainnya dalam mendukung implementasi Protokol ini.
“Fokus perhatian Protokol ini adalah menciptakan iklim perlindungan anak dan dewasa rentan, mencakup pencegahan, penindakan, pemulihan, standar ketaatan, strategi komunikasi dan jejaring,” tuturnya.
Bagi Romo Heri, perumusan dokumen Protokol ini bukan hal yang mudah, butuh waktu yang lama, sekitar 1,5 tahun dan pada akhirnya launching di awal Januari 2022. Perumusan dan prosesnya yang mesti komprehensif, produktif, obyektif, bijaksana dan melibatkan berbagai pihak yang kompeten serta terkait. Selain itu, adanya kendala teknis seperti mencari waktu yang cocok satu sama lain, untuk berproses bersama. “Mengingat Tim 15 dan juga para pihak yang dilibatkan, mempunyai tugas-tugas lain yang menyita waktu, pemikiran dan tenaga yang tidak sedikit,” ujarnya.
Peluncuran Protokol merupakan langkah awal dan masih banyak hal-hal yang perlu dirundingkan bersama. Romo Heri mengungkapkan beberapa hal memang belum dibicarakan, kendati demikian, spirit gembala yang baik dan murah hati semaksimal mungkin menjadi pendasarannya. “Membangun iklim yang aman bagi semua dari kejahatan Kekerasan Seksual,” tegasnya.
Darurat Kekerasan Seksual
Sejak 1997 seorang biarawati asal Kongregasi Suster-Suster dari Hati Yesus Yang Mahakudus (HK) sudah akrab dengan isu perempuan dan anak. Awalnya ia terjun untuk memberikan pelayanan bagi kaum buruh saat berkarya di Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ).
Apalagi saat tinggal di Komunitas Balaraja, intensitas bersentuhan dengan isu perempuan, anak, dan buruh semakin tinggi. Hingga saat ini, Suster Vincentia, HK masih menggeluti isu kesetaraan gender, perempuan, dan anak. “Saya merasa di area inilah saya dipanggil setelah sekian lama menggelutinya,” akunya pada HIDUP saat dihubungi via telepon pada Jumat, 21/01/22.
Sekian tahun berjuang bersama pejuang lainnya di ranah ini, ia memperhatikan isu Kekerasan Seksual dahulu dilihat sebagai fenomena gunung es. Ini dimaksudkan sebab masih banyak korban yang bungkam dan menyembunyikan kasus tersebut karena dipandang sebagai aib. Namun dalam perjalanan waktu, satu per satu kasus yang disembunyikan itu muncul ke permukaan bak bom waktu. Seperti jamur tumbuh di musim hujan, ia melihat isu Kekerasan Seksual yang bermunculan dapat dikatakan mencapai status darurat.
Menurut data Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus dan pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan menurun sebanyak 299.911 kasus yang dapat dicatatkan pada tahun 2020, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Meskipun sudah mengalami sedikit penurunan, tetapi angka kekerasan masih terbilang tinggi.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) turut mencatat bahwa adanya tren peningkatan kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak misalnya, mencatat kenaikan yang signifikan pada tahun 2016 lalu bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Presiden menyakini bahwa banyak kasus kekerasan terhadap anak selama ini tidak dilaporkan atau bahkan tidak sampai kepada pihak berwenang. Karenanya, Presiden Jokowi segera mengeluarkan instruksi mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
Dengan melihat kemunculan banyak kasus besar di permukaan, Suster Vincentia melihat bahwa kasus besar ini bukanlah kasus kemarin sore melainkan telah menahun sifatnya.
Untuk itu, dengan bermunculannya satu per satu kasus menjadikan saat ini merupakan sebuah momentum. Mengapa? Banyak orang, terutama korban, berani berbicara.
Suster Vincentia turut mengapresiasi perhatian Presiden untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Melansir laman Kompas.com, 5/01/22, Presiden Jokowi menyerukan pentingnya perlindungan terhadap korban, utamanya pada perempuan melalui RUU tersebut. Ia bahkan menyoroti proses pembahasan RUU yang tidak kunjung usai sejak enam tahun lalu. “Saya kira dengan ini, semakin membuat korban merasa teryakinkan untuk berbicara dan terlindungi secara hukum,” tuturnya senang.
Biarawati yang kesehariannya bekerja sebagai guru BK di SMP Xaverius 1 Bandar Lampung ini bergembira. Ia bersukacita dengan peluncuran Protokol oleh KAJ. “Ini keren banget! Protokol ini bisa menjadi model bagi keuskupan lain,” ungkapnya riang.
Ia pun berharap ke-36 keuskupan lainnya di Indonesia dapat mengikuti langkah baik ini. “Apa yang sudah dimulai Jesuit di kerasulan pendidikannya saya kira juga sudah ada beberapa kongregasi yang mengikuti. Saya berharap semua kongregasi, institusi, lembaga Katolik, termasuk keuskupan sungguh serius dalam menyikapi Protokol ini untuk melindungi anak-anak Allah yang rentan terhadap kekerasan ini,” imbuhnya.
Dengan demikian, ia terus mendorong adanya sosialiasi mengenai literasi Kekerasan Seksual di semua lini agar semua orang mengetahui, mengerti, dan tepat sasaran dalam melapor, melindungi diri, dan memberikan perlindungan.
Dampak yang Mendalam
Selama bertahun-tahun, para biarawati dari Kongregasi Suster-suster Gembala Baik (Religious of the Good Shepherd/RGS) telah memberikan perhatian bagi perempuan dan anak. Perhatian itu diwujudkan dengan hadirnya Shelter Gembala Baik yang berada di Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur. Salah satu pelayanan di shelter ini adalah menyediakan tempat dan komunitas yang memberikan rasa aman, damai, dan persahabatan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam hidupnya karena diperdagangkan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual.
Suster Caecilia Supriyati, RGS mengisahkan, beberapa tahun terakhir kasus yang masuk ke shelter banyak mengenai pelecehan seksual.
Suster Lia, sapaannya, sudah cukup lama mendampingi para korban yang kebanyakan adalah perempuan. “Yang dirasakan para korban adalah dirinya tidak berharga. Perassan rendah diri yang menghantui, membawa mereka berpikir, untuk apa hidup,” ungkapnya.
Dengan melihat apa yang dirasakan korban, Shelter Gembala Baik membantu setiap pribadi untuk mengatasi dan menyembuhkan diri dari keterpurukan, kekecewaan, ketakutan, kemarahan, untuk dapat berekonsiliasi dan dapat menemukan nilai hidup dan mengalami kerahiman Allah, sehingga mampu bangkit kembali.
Ketika dikunjungi HIDUP, 20/1/2022, Sr. Lia menceritakan bahwa dirinya sedang mendampingi beberapa korban dan itu berlangsung ketika korban masih anak-anak. Kejadian itu sungguh mengungkungnya sampai sang korban mengalami depresi. Salah seorang di antaranya, menurut Suster Lia, sudah hampir empat bulan tidak bisa tidur.
“Dampaknya ini berlangsung sampai seumur hidup kalau tidak ditolong. Sehingga, kami tidak mengamini kasus ini karena dampaknya begitu mendalam bagi seorang pribadi. Kami tidak mengamini kasus kekerasan seksual terjadi di mana saja!” tuturnya dengan suara bergetar.
Rasa syukur diungkapkan Suster Lia sebagai Pendamping Perempuan Korban Kekerasan ketika melihat KAJ sudah meluncurkan Protokol. “Protokol ini baik, dan mudah-mudahan sungguh teraplikasi, bukan hanya menjadi buku yang disimpan di rak. Semoga nantinya, paroki-paroki bisa merealisasikan dokumen ini. Karena dampak yang mendalam yang dialami korban, sudah saatnya Gereja mengulurkan tangan kasihnya,” tandasnya.
Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No. 05,Tahun ke-76, Minggu, 30 Januari 2022