web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Internet, Memerdekakan atau Menjajah OMK?

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – SAAT ini internet dapat menjadi pedang bermata dua bagi Orang Muda Katolik (OMK). Realita ini tidak dapat diabaikan begitu saja mengingat dampak dari internet negatif lebih banyak dirasakan. Bagi orang tua dan para guru yang sering mengamati pola perilaku anaknya, kelihatannya bukan menjadi perkara yang serius secara kasat mata.

Namun ketika hasil ujian keluar, tidak sedikit yang tekaget-kaget melihat hasil rapor sang anak yang kurang memuaskan. Hal ini juga menjadi perhatian besar bagi Gereja terhadap Orang Muda Katolik. Tidak hanya melihat kecenderungan adiktif pada internet saja, tetapi pengaruh psikologi para kaum muda yang semakin egosentris dan memenjarakan semangat mereka sebagai kaum muda. Memang kita sudah mencicpi kemerdekaan sejak lama, namun mirisnya mental terjajah sekali lagi harus dirasakan oleh kaum muda karena kehadiran internet.

Internet menumbuhkan kreativitas kaum muda di media sosial. Hal ini tampak dari berbagai macam plaform populer di kalangan anak muda seperti TikTok, Youtube, Facebook, Instagram dan lain-lain. Bermacam-macam konten kreatif muncul dan membuat setiap kaum muda berani mengekpresikan dirinya di dunia maya.

Tutorial-tutorial berbagi ilmu pengetahuan, cover lagu, modern dance, informasi-informasi populer muncul dari kalangan kaum muda. Imbas positifnya memang membawa pengembangan pribadi. Namun pada kenyataan tidak sedikit pula kaum muda yang aktif di media sosial justru sangat kaku dan kurang aktif dalam interaksi sosial. Akibatnya krativitas tersebut hanya sebatas di dalam genggaman saja.

Perilaku Adiktif

Akses internet berlebihan, menyebabkan perilaku adiktif para Orang Muda Katolik. Ini terjadi secara nyata dalam perilaku kaum muda kita sewaktu misa. Sebelum misa dimulai, orang muda di Gereja lebih banyak memandang gadget-nya masing-masing daripada mempersiapkan hati untuk mengikuti misa.

Tidak hanya itu, perilaku adiktif juga menjangkit hingga berjalannya misa. Orang muda lebih banyak mengobrol di dalam Gereja pada saat misa berlangsung. Obrolan tidak jauh dari tema-tema hangat yang ada di media sosial. Mirisnya, ada pula yang sangat resah apabila tidak melihat gadget-nya. Internet dalam genggaman telah menajdi candu dan dampak negatifnya sangat berpengaruh dalam tingkah laku Orang Muda Katolik dalam kesehariannya.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Sikap egosenstris dan antipati mulai merasuki jiwa para Orang Muda Katolik. Ini sangat nampak ketika PPKM di masa pandemi covid-19 mulai digalakkan. Sekolah-sekolah Katolik mulai menerapkan sistem belajar daring (dalam jaringan). Kondisi ini malah dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab oleh banyak orang muda khususnya sebagai siswa. Tidak sedikit guru yang mengeluh kepada siswa karena sekalipun tugas sudah diberikan, tetapi tidak dikerjakannya.

Lantas apa temuan atas fenomena ini? Guru menemui orang tua siswa yang juga tidak kalah terkejut atas sikap anaknya. Selama ini gadget dan fasilitas internet sudah diberikan, para orang tua hanya mengetahui bahwa anak mereka telah mengerjakan tugasnya.

Tetapi pada kenyataannya, anak mereka menghabiskan seluruh waktu daring mereka untuk bermain game online dan akses media sosial.

Banyak orang muda Katolik lebih memilih misa streaming daripada misa daring. Alasannya bukan karena menjaga protokol kesehatan dan menghindari kerumunan. Alasan yang sebenarnya adalah rasa malas untuk mengikuti Misa di Gereja. Kebiasaan-kebiasaan mager (malas gerak) sudah menjadi habitus wajar bagi kaum muda di masa pandemi ini.

Apalagi untuk berinteraksi dengan sesama teman, tidak harus keluar rumah. Karena waktu habis berjam-jam menatap gadget dari siang hingga malam, misa hari minggu di Gereja terasa melelahkan. Jika bisa dilakukan secara online, mengapa harus ke Gereja? Pendapat ini sangat-sangat memprihatikan mengingat peran orang muda bagi Gereja sangat vital. Meskipun demikian, masih ada beberapa Orang Muda Katolik yang tergerak untuk tetap ikut misa secara langsung di Gereja.

Baca Juga:  Sinergi Gereja dan Negara: Menghidupkan Iman, Humanisme, dan Kepedulian Ekologis

Ada anggapan di kalangan orang muda yang mengatakan bahwa lebih baik aktif di media sosial daripada berinteraksi di luar. Pendapat ini tidak muncul sekonyong-konyong dari benak para kaum muda. Ini disebabkan oleh dampak panjang dari diberlakukannya masa belajar di rumah secara online. Orang muda dinilai masih belum mampu untuk memanfaatkan ponsel cerdasnya dengan bijak.

Tidak sedikit orang muda, bahkan OMK yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya daripada interaksi sosial dan jam belajarnya. Tidak sedikit pula orang muda yang mengalami kecanduan internet menjadi gila karena merusak sistem saraf pusatnya. Belum lagi problema-problema seperti cyber bullying, ujaran kebencian, hacking, hoax dan sebagainya, sedikit demi sedikit menjajah hati dan budi kaum muda kita.

Harus Dimanfaatkan

Ajaran Pastoral mengenai Sarana Komunikasi Sosial Communio et Progressio dalam Ensiklik Miranda Prorsus dari Paus Pius XIII tahun 1957 yang jelas mengatakan bahwa Gereja memandang sarana-sarana ini sebagai anugerah-anugerah Allah sesuai penyelenggaraan Ilahi. Artinya internet dan sarana komunikasi sosial lainnya tidak dipandang sebagai hal yang menghampat aspek-aspek kehidupan. Justru dengan hadirnya internet harus dimanfaatkan untuk menyatukan ikatan persaudaraan.

Dalam Ensiklik tersebut diistilahkan ‘menjadi teman sekerja dalam rencana-rencana penyelamatan-Nya’. Maka dari itu, bagi Orang Muda Katolik, internet harus disadari sebagai anugerah ilahi yang dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan informasi.

Kehadiran realitas virtual tidak dapat menggantikan hidup berkomunitas. Hanya untuk situasi tertentu, internet menjadi pelengkap untuk mendorong orang muda menghayati iman secara utuh dan memperkaya hidup. Hadirnya aplikasi-aplikasi rohani memberikan kemudahan dalam mengakses renungan-renungan harian, Alkitab, doa-doa harian, katekese dan lain sebagainya.

Menjamurnya Alkitab Online, renungan-renungan yang dishare dari Whatsapp, grup-grup komunitas religius, menambah manfaat positif bagi Orang Muda Katolik. Tetap saja, kehadiran secara langsung di Gereja dalam Ekaristi dan ibadat sabda tidak dapat digantikan oleh realitas virual apapun.

Baca Juga:  Percakapan Terakhir dengan Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM

Selain perkembangan dan gaya hidup yang meningkat, Orang Muda Katolik dihadapkan secara langsung permasalahan baru di dunia maya. Muncul situs-situs hate speech untuk menjelekkan agama-agama serta kelompok etnis ditampilkan di dalam media sosial. Pornografi dan kekerasan juga semakin marak mengotori aktivitas sosial di dunia maya. Bahkan sikap egosentris dan anti-kritik muncul dalam rupa blocking account jika terjadi perbedaan pendapat.

Aktivitas on click pada setiap website menjadi tolok ukur bagi kaum kapitalisme dalam meraup keuntungan. Youtube, Facebook, Instagram menjadi trend populer bagi orang-orang untuk memperoleh penghasilan. Bahkan ada konten dengan cara apapun dilakukan demi meraup like, comment dan subscribe sebanyak-banyaknya sekalipun tidak etis. Mirisnya, kaum muda menjadi produsen dan sekaligus konsumen dari produk-produk dengan slogan ‘demi konten’ tersebut.

Upaya Preventif

Maka dari itu, para Orang Muda Katolik hendaknya bijak dan menyadari penggunaan gadget dengan bebas dan bertanggung jawab.  Karena idealnya, teknologi diciptakan untuk membantu manusia bukan malah merusaknya. Teknologi harusnya memanusiakan manusia bukan menghilangkan sisi kemanusiaan.

Karena adanya dampak buruk internet yang perlu diantisipasi OMK, maka dari itu OMK harus mengetahui bagaimana upaya preventif terhadap dampak-dampak buruk yang berpotensi mengganggu kehidupan mereka.

Pengendalian diri menjadi kunci pokok untuk hidup bijak adalam menggunakan internet. Orang Muda Katolik harus mulai membiasakan untuk membatasi diri dengan kembali kepada fungsi awal. Sebab pada mulanya manusia adalah pemegang kendali, bukan objek yang dikendalikan oleh teknologi.

Jika bisa dilakukan secara online, mengapa harus ke Gereja? Pendapat ini sangat-sangat memprihatikan mengingat peran orang muda bagi Gereja sangat vital.

Fr. Fransesco Agnes Ranubaya, Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang Prodi Filsafat Keilahian

HIDUP, Edisi No. 05, Tahun ke-76, Minggu, 30 Januari 2022

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles