web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

St. José Gabriel del Rosario Brochero, TOSD (1840-1914) : Sahabat Kaum Lepra

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Pelayanannya menghangatkan jiwa-jiwa yang rindu pada keselamatan. Totalitasnya membuat ia dijuluki penyembuh kaum pinggiran (El cura gaucho).

SEBUAH daerah pegunungan dan perbukitan yang sangat luas. Belum ada listrik. Tak ada jalan penghubung antardesa dan kampung. Di tempat-tempat sepi, banyak orang tinggal bercampur baur. Para penggembala hewan ternak tinggal bersama penyamun, kaum miskin dan terpinggirkan.

Di wilayah sangat kumuh Córdoba, Argentina itulah Jose Gabriel del Rosario Brochero, dengan keledai buruk muka yang menjadi tunggangannya, mengunjungi mereka satu persatu. Ia menyapa mereka dengan kasih yang hangat, serta mengobati yang sakit di tengah amuk lepra yang melanda.

A woman holds a portrait of Argentine “gaucho priest” Giuseppe Gabriele Del Rosario Brochero prior to the start of a Canonization Mass celebrated by Pope Francis in St. Peter’s Square, at the Vatican, Sunday, Oct. 16, 2016. Born in 1849 in the province of Cordoba, Brochero was one of the most famous Catholics in the Argentina of Francis’ youth. (AP Photo/Gregorio Borgia)

Kebiasaannya mengunjungi umat dengan cara menunggang keledai sangat dikenal  umat Córdoba. Kebiasaan itupun legenda. Ia dikenang umat sebagai perawat bagi mereka yang sakit dan sekarat tatkala epidemi kholera menerjang Argentina pada 1867.

Dengan penuh kesabaran, ketangguhan, dan cintanya dalam menghadapi kesulitan alam, seperti hempasan salju yang menggigit kulit, Brochero membawa kabar gembira bagi kaum pinggiran. Ia memperkuat iman mereka dengan latihan rohani dan doa, mengirim komuni, membacakan Kitab Suci, dan merawat yang sakit. Selain itu, ia pun mengajak umatnya membangun jalan-jalan penghubung dan jembatan agar komunikasi satu sama lain dapat terjadi. Dengan begitu, pertolongan bagi yang sakit dapat tiba tepat pada waktunya.

Jiwa yang Membara

José Gabriel del Rosario Brochero lahir pada 16 Maret 1840 di Santa Rosa, Río Primero, Córdoba. Anak keempat dari 10 bersaudara ini masuk ke Seminari Tinggi “Nuestra Señora de Loreto” di Córdoba pada 5 Maret 1856. Saat itu, ia berusia 16 tahun.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Seorang teman menggambarkan pergulatan panggilan Brochero demikian, “Sering ia menceritakan kegelisahannya tentang kehidupan imamat… Ia tak tahu panggilan mana yang harus ia ikuti: menjadi awam atau imam… Semangat itu terus-menerus mengalir dalam hatinya… Ketidakmampuannya dalam mengambil keputusan membuatnya menderita. Suatu hari, karena dikuasai perasaan ini, ia mendengar khotbah yang mengajaknya memikirkan dengan lebih serius tentang pengorbanan yang satu dengan yang lain… Dan seketika itu juga, ia memutuskan untuk mendengarkan panggilan itu tanpa ragu dan tanpa goyah. Baginya, menjadi imam ialah sebuah resolusi tak tergoyahkan lagi.”

Akhirnya dengan kebulatan tekad untuk mengikuti panggilan imamat, Brochero ditahbiskan sebagai imam oleh Uskup Córdoba (Tucumán), Mgr José Vicente Ramírez de Arellano pada 4 November 1866. Misa perdananya ia rayakan di Kapel Seminari “Nuestra Señora de Loreto”, dekat Katedral Córdoba pada 10 Desember tahun yang sama.

Pada Desember 1869, Brochero diutus sebagai gembala di Paroki San Alberto, dan melayani umat di Córdoba. Saat itu, ia harus melayani 10 ribu umat di San Alberto yang tersebar di kawasan seluas 4.336 kilometer persegi. Mereka tinggal di tempat-tempat terpencil tanpa jalan-jalan penghubung, tanpa sekolah, dan terpisah satu sama lain. Mereka dibatasi pegunungan Sierras Grandes yang menjulang setinggi 2.000 meter di atas permukaan laut.

Pelayanan Kasih

Brochero terketuk hatinya. Nuraninya terkoyak kala melihat kondisi umat yang amat menyedihkan. Semangat kerasulannya pun kian berkobar-kobar. Kerasulannya tak sekadar datang melayani umat untuk mewartakan Kabar Baik, melainkan juga mendidik dan meningkatkan derajat hidup umatnya.

Tahun berikutnya, ia mulai mendatangi umat di Córdoba dengan menempuh jarak 200 kilometer menembus pegunungan. Brochero akan mendampingi mereka melakukan Latihan Rohani. Untuk sampai ke tempat itu, butuh sekitar tiga hari perjalanan; terpaku di atas pelana seekor keledai. Kadang ia harus berhadapan dengan badai salju yang turun tak terduga.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Sekembalinya dari Córdoba, Brochero mulai melihat benih iman, kasih, dan harapan bersemi di antara umatnya. Usai melakukan Latihan Rohani sembilan hari dalam keheningan, doa, dan penitensi, umat yang mengikuti retretnya mulai berubah hidupnya. Mereka belajar mengikuti nasihat Injil, mencari cara-cara baru untuk membangun dan mengembangkan kehidupan ekonomi di daerahnya.

Tahun 1875, dengan bantuan umatnya, Brochero membangun sebuah rumah retret yang dikenal sebagai “Villa del Transito” (Rumah Persinggahan). Rumah retret itu diresmikan pada 1877. Lebih dari 700 orang dilayani dalam retret di tempat itu.

Selain itu, Brochero juga melayani umat Paroki Siervo de Dios (Hamba Tuhan). Jumlah umatnya tak kurang dari 40 ribu jiwa. Lalu ia mendirikan biara, sekolah untuk anak-anak, dan rumah bagi para imam.

Bersama umat, ia membangun jalan sepanjang  200 kilometer. Brochero mendirikan banyak gereja, menganimasikan dinamika kehidupan masyarakat, dan mengusahakan sarana-prasarana pendidikan bagi banyak orang.

Selain itu, Brochero mengusahakan kelancaran komunikasi via surat menyurat. Ia  memulai kantor pos dan telegraf. Ia pun membangun jalur kereta api yang menghubungkan Valle de Traslasierra dengan Villa Dolores dan Soto agar dapat menjumpai penduduk miskin di balik pegunungan-pegunungan. Menurutnya, mereka ialah orang-orang yang “telah ditinggalkan oleh semuanya, kecuali oleh Tuhan.”

Cinta yang Mendalam

Totalitas pelayanannya membuat dirinya digerogoti penyakit yang sama dengan orang-orang yang ia layani. Lepra yang dideritanya kian parah dari hari ke hari. Brochero pun mulai mengundurkan diri dari tugas pelayanan. Ia tinggal beberapa tahun bersama saudara-saudaranya di tanah kelahirannya. Namun karena desakan umat yang telah dilayaninya, ia kemudian pindah ke rumah retret Villa del Transito. El cura gaucho akhirnya wafat dalam kondisi buta pada 26 Januari 1914.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Beberapa hari setelah wafatnya, sebuah media cetak Katolik di Córdoba menulis perjuangannya dari awal hingga akhir: “El Cura Brochero sangat sadar bahwa ia mengalami sakit yang ia bawa sampai mati. Sakit karena ia mengunjungi orang-orang sakit. Akhirnya ia sendiri memeluk penyakitlepra.”Perjuangan membangun iman kaum terbuang yang dilakukan pastor berdarah Argentina itu mendapat ganjaran. Pada 19 April 2004, Paus Yohanes Paulus II merestui dekrit keutamaan kristiani Brochero dan menggelarinya venerabilis. Lalu, Kongregasi Penggelaran Kudus mengamini mukjizat kesembuhan Nicolas Flores, remaja berusia 13 tahun. Berkat perantaraan doa pada Pastor Brochero, bocah yang lumpuh total akibat kecelakaan mobil parah itu pun sembuh. Akhirnya pada 14 September 2013, Paus Fransiskus mengggelarinya Beato. Misa beatifikasi digelar di Villa Cura Brochero, Córdoba, yang dihadiri lebih dari 150 ribu umat.

Pastor Brochero dikanonisasi di Lapangan St. Petrus, Vatikan oleh Paus Fransiskus pada 16 Oktober 2016. Paus menunjukkan kebesaran hati dari Pastor Brochero dalam pesan singkatnya. “Pastor Brochero selalu berkeliling sambil berbuat baik. Hidupnya di Amerika Selatan adalah kenyataan hadirnya Kerajaan Allah di tengah-tengah kaum marginal. Ia melayani dengan cinta lewat keledai yang setia. Ia bisa menjadi tukang kayu, buru tani, pedagang, dan profesi apa saja. Ia selalu penuh kegembiraan sebagai seorang gembala yang baik hati.”

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles