HIDUPKATOLIK.COM – MENYADARI bola dari lawan tidak akan melewati jaring net, ia perlahan menjatuhkan raketnya. Ia menutup mulut dan hidungnya dengan kedua tangan. Nampak jelas ia sedang menangis gembira. Sesaat kemudian, nampak senyum super lebar menghias wajahnya. Senyum yang rada aneh, karena bercampur dengan tangis sukacita. Ia mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke udara, lalu berlutut bahkan sujud di lapangan keras berwarna biru. Wujud rasa syukur karena pada Minggu 30 Januari itu ia berhasil memenangkan Australia Terbuka 2022.
Kemenangan yang tak pernah ia berani targetkan atau bahkan mimpikan saat turnamen dimulai 9 Januari lalu. Ia memang petenis berprestasi luar biasa. Telah 20 kali ia meraih juara Grand Slam selama karirnya. Tapi ia sadar, dalam usianya yang sudah 35 tahun, tentu ada banyak keterbatasan. Ia pun baru sembuh dari cedera yang membuatnya tidak dapat bermain dalam enam bulan terakhir. Empat bulan lalu ia masih berjalan dibantu kruk. Apalagi ia juga positif covid yang menyerangnya Desember kemarin, sesaat setelah mengikut Mubadala World Championship, ajang ekshibisi di Uni Emirat Arab. Tubuhnya tumbang dan harus istirahat selama empat hari.
Satu hal lain, ia sadar bahwa Australia Terbuka yang menggunakan lapangan keras, bukan miliknya. Selama karir bertanding di Rod Laver Arena, Melbourne Park, tempat penyelenggaraan Australia Terbuka, ia hanya sekali berhasil juara yakni pada tahun 2009, 13 tahun lalu.
Australia Terbuka sejatinya adalah milik Novak Djokovic, petenis Serbia peraih 20 gelar Grand Slam. Ia telah memenangi turnamen ini sebanyak sembilan kali. Tak ada seorang pun petenis yang mampu melakukan ini, selain Novak. Sayang Novak yang bandel tak mau vaksin, dideportasi oleh pemerintah Australia. Sehingga ia tak dapat mempertahankan gelar juara yang telah diraihnya dalam tiga tahun terakhir, 2019-2021.
Setelah Novak tidak ikut turnamen, maka petenis muda berusia 25 tahun, bertubuh jangkung asal Rusia, Daniil Medvedev menjadi favorit juara. Ranking 2 ATP ini adalah finalis tahun lalu, kalah dari Novak. Namun beberapa bulan setelahnya, ia juara pada turnamen Grand Slam US Open balas mengalahkan Novak. Membuat Novak gagal meraih gelar Grand Slam ke 21.
Seperti yang telah diprediksi, Daniil maju ke final. Ia bermain sangat impresif. Bermodal service keras, penempatan bola yang akurat, stamina yang kuat, ia memenangkan dua set awal. Harus diakui lawannya bukan orang sembarangan. Walau 10 tahun lebih tua darinya, semangat juang lawan tak pernah kendor. Ke mana saja bola diarahkan, pasti dikejar. Bahkan dengan penempatan bola tak kalah akurat dan sering menipu. Setiap perolehan angka sungguh melalui perjuangan, pasti didahului reli-reli panjang nan menguras tenaga. Dua set awal, walau dengan susah payah berhasil dimenangkannya, 6-2 dan 7-6. Sebenarnya pada set ketiga, awalnya ia sudah unggul. Seolah kemenangan tinggal tunggu waktu. Namun apa daya, sang lawan sungguh tangguh. Sisa set ketiga dan dua set selanjutnya diraih oleh lawan 4-6, 4-6, 5-7. Jadilah Daniil hanya dapat duduk menatap kosong, ketika lawannya melakukan selebrasi kemenangan.
Selebrasi sang juara sebenarnya tidak berlebihan. Justru menonjolkan sikap bersyukur. Ada adegan mengharukan, ketika ia berlari kecil menuju tribun penonton, dimana orang-orang terdekatnya ia peluk dan saling menangis bahagia. Setelah itu ia berkeliling menghormat dan memberi cium jarak jauh sebagai ucapan terima kasih kepada ribuan penonton. Selama beberapa menit penonton terus berdiri memberi tepuk tangan meriah sambil mengelu-elukan namanya. Rafa…Rafa…Rafa.
Rafa alias Rafael Nadal, sang juara asal Spanyol ini telah memberi teladan luar biasa kepada kita. Ia sungguh mencintai tenis bidang yang digelutinya. Karena cinta, ia tidak menyerah pada kondisi cedera bawaan yang sering mengganggunya.
Cedera ini mencapai puncak pada pertengahan tahun lalu, dimana kakinya harus dioperasi. Namun begitu sembuh, ia mulai berlatih dan bermain lagi. Tidak untuk mengejar kemenangan. Tapi mentalitas positifnya begitu kuat, sehingga mampu menarik kemenangan datang kepadanya. Pertandingan final melawan petenis beda generasi, Daniil Medvedev selama 5 jam 24 menit membuktikan bahwa usia tidak menentukan. Rafa tampil bak el toro bravo, banteng adu di Spanyol. Agresif, kuat, lincah, dan pantang menyerah. Seperti banteng mengamuk, Rafa membalik semua prediksi pengamat tenis.
Rafa dalam pidato penyerahan piala, mengakui bahwa ia sendiri tidak menyangka akan menang. Ia bercerita setelah operasi kaki, ia ragu apakah dapat kembali mengikuti tur turnamen. Maka ia sangat berterima kasih kepada Toni Nadal, paman sekaligus pelatih utamanya. Juga kepada tim pelatih dan keluarganya yang telah mendukung dan mendampingi selama masa-masa sulit kemarin. Bahwa ia akhirnya berhasil juara dan memegang rekor spektakuler meraih 21 gelar juara Grand Slam, semua karena kerja keras dan dukungan tim.
Teladan lain dari Rafa. Ia tidak ingin sukses sendirian.
Maka ia dirikan akademi tenis Rafa Nadal, di kota kelahirannya, Manacor, Malorca, Spanyol. Akademi seluas 4 hektar, memiliki 26 lapangan tenis. Sebanyak 130 anak setiap tahun berlatih di sana. “Saya ingin anak-anak ini merasakan kisah dongeng yang saya alami. Saya ingin mereka kelak sukses” ujar Nadal yang sempat menjanjikan upaya terbaik untuk tampil kembali di Australia Terbuka tahun depan.
Bravo Rafa, el toro bravo!
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang