HIDUPKATOLIK.COM -KOMISI II DPR bersama pemerintah, KPU, dan Bawaslu telah menyepakati tanggal 14 Februari 2024 sebagai jadwal Pemilihan Umum (Pemilu): Pilpres dan Pileg dan tanggal 27 November 2024 untuk Pilkada serentak.
Pilihan politik telah ditentukan dan gong perhelatan demokrasi telah digaungkan, tetapi disadari kompleksitas Pemilu Serentak 2024 masih berpotensi menyisakan banyak pekerjaan rumah- termasuk mereduksi makna daulat rakyat dan upaya mewujudkan keadilan Pemilu.
“Dari sisi teknis, Tahun Politik 2024 membutuhkan banyak petugas dan waktu penyelesaian per tahapan yang lama. Sedangkan dari sisi kualitas, potensi persoalan yang sama dengan Pemilu dan Pilkada sebelumnya bisa terjadi, sebab regulasi kepemiluhan tidak mengalami perubahan,” ujar Fritz Siregar selaku Anggota Bawaslu RI dalam Seminar Kepemiluan bertema, “Pileg, Pilpres, dan Pilkada 2024, Beragam Kepentingan Satu Tujuan?”, Jakarta, (31/1/2022).
Fritz menegaskan keserentakan Pemilu merupakan respon atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-XVII/2019. Pemilu dan Pilkada adalah pesta demokrasi maka perbaikan kualitas demokrasi perlu terus dilakukan dengan kerangka hukum yang semakin tegas, kelembagaan yang semakin kokoh, dan instrumen keadilan elektoral yang didesain lebih komprehensif.
Khusus peran Bawaslu, Fritz menegaskan Bawaslu menjamin dan mengawal proses penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada agar dilakukan secara demokratis, berintegritas, dan bermartabat. “Walau begitu, tantangan utama Bawaslu adalah fenomena black _campaign, hoax, hate speech, rumors, bullying_, dan isu SARA. Atau juga maraknya fenomena politik uang dan mahar politik dalam setiap kontestasi politik dengan modus atau pola yang semakin canggih,” tegas Fritz.
Selain Fritz, pembicara lain yang menyoal potensi kecurangan adalah Loly Suhenty, Anggota Bawaslu Prov. Jawa Barat. Loly berkeyakinan bahwa potensi kecurangan di Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 bisa terjadi dengan beberapa fenomena, sebut saja pesta demokrasi ini diselenggarakan di tengah pandemi. Ada pemutakhiran data pemilihan menjadi tidak efektif dan menambah beban penyelenggara jika tidak dilakukan dari proses awal. Dengan adanya banyak surat suara pada Pemilu dan Pilkada 2024 maka juga beban kerja penyelenggara Pemilu semakin besar. Loly setuju dengan pandangan konstitusi bahwa Pemilu dan Pilkada adalah untuk menghasilkan pemimpin yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan tujuan ini, Loly mendesak semua unsur Pemilu (pemilih, peserta, penyelenggara) memiliki aturan main yang disepakati bersama (electoral system).
Secara teknis, Loly mengusulkan adanya literatur kepemiluan bagi pemilih dan peserta; adanya integritas data (pencegahan, pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa) agar publik mudah dan cepat mengakses literarur kepemiluan; serta mendorong partisipasi aktif kelompok disabilitas dan kelompok rentan lainnya juga memperkuat pengawasan partisipatif.
Terkait potensi kecurangan di Pemilu dan Pilkada 2024, Ketua Umum Stefanus Asat Gusma berharap agar badan penyelenggara Pemilu bisa memperbaiki kualitas demokrasi guna menghindari potensi kecurangan yang ada. Paling tidak, sebut Gusma, Pemilu dan Pilkada tidak menjadi Instrumen yang rapuh, juga agar tidak memudarnya keyakinan masyarakat terhadap terhadap pelaksanaan demokrasi, atau prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
“Saya berharap adanya kontrol berjenjang antar penyelenggara Pemilu sekaligus juga menghimbau dengan tegas kepada seluruh penyelenggara baik KPU, Bawaslu atau DKPP untuk mengambil sikap netral dan bekerja secara profesional, tanpa kepentingan apapun,” ujar Gusma.
Sedikitnya 100 peserta yang terlibat dalam seminar yang diadakan secara online lewat platform Zoom. Kepala Bidang Pengurus Pusat Pemuda Katolik Bidang Politik dan Kepemiluan, Benny Wijayanto berharap para kader Pemuda Katolik bisa mengembangkan program-program kolaboratif selain mengawal Pemilu dan Pilkada 2024 juga ambil bagian di dalamnya.
Laporan: Pengurus Pusat Pemuda Katolik