HIDUPKATOLIK.COM – Baginya yang utama dalam panggilan adalah kesetiaan dan konsistensi. Inilah risiko hidup dibawah bayang-bayang salib.
PADA 21 Januari 2021, Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono merayakan 40 tahun imamat. Keuskupan Surabaya sendiri tidak mengadakan perayaan yang gegap-gempita, selain perayaan syukur yang rencananya dipuncaki dengan Misa. Hal ini karena dua alasan utama yaitu solidaritas bersama umat ‘pascapandemi’ Covid-19, juga fokus pada pemulihan kesehatan Mgr. Sutikno.
Sebelumnya, di awal tahun 2021 Mgr. Sutikno sempat terpapar Covid-19 dan menjalani perawatan intensif di rumah sakit RKZ Surabaya. Menjelang perayaan 40 tahun tahbisan imamatnya, akhir tahun 2021, ia jatuh sakit. Kondisi ini membuat fokus utama keuskupan adalah kesembuhan dan pemulihan kesehatannya.
Kesetiaan Injili
Sekretaris Keuskupan Surabaya, Pastor Paulus Febrianto ketika dihubungi mengaminkan bahwa saat ini Mgr. Sutikno sedang dalam perawatan. “Mohon maaf Bapak Uskup masih dalam perawatan sehingga belum bisa diganggu,” tulis Pastor Paulus dalam pesan singkatnya. Beberapa waktu lalu HIDUP menghubungi Mgr. Sutikno perihal pandangannya tentang arti menjadi imam.
Dalam penegasannya, Mgr. Sutikno mengatakan semua imam harus menyadari bahwa perjalanan imamat tidak menjanjikan sukses duniawi, kepuasan kerja, penghargaan tinggi, sanjungan dan pujian, perkembangan karir, promosi, serta jaminan hari tua. Menjadi imam itu tidak membuat orang lantas menghormatinya.
“Salah fokusnya kalau menjadi imam untuk memperkaya diri, mengembangkan karier, mencari kedudukan, sanjungan dan pujian, apalagi jaminan hari tua. Tapi menjadi imam adalah menanggung risiko hidup di bawah bayang-bayang salib,” ujar Mgr. Sutikno.
Ia menyebutkan, tantangan hidup para imam saat ini adalah kesetiaan Injili hingga akhir. Menurut Uskup, ini adalah salib berat yang setiap hari harus dipikul seorang imam. Kesetiaan mewartakan Injil di tengah ketidakpastian zaman dengan segala macam pergolakannya. “Bagi kami yang utama dalam panggilan adalah kesetiaan dan konsistensi. Seorang pastor bonus (pastor yangbaik) itu tidak dinilai dari membangun gereja megah, menyekolahkan banyak murid, tetapi konsistensi merawat panggilan hingga akhir,” sebutnya.
Di kesempatan lain saat merayakan 39 tahun imamat, ia pernah mengatakan meskipun panggilan itu ada di bawah bayang-bayang salib, para imam tetap memiliki pengharapan. Hal ini sejalan dengan harapan Paus dalam Tahun Imam bahwa, dalam penderitaan, kesengsaraan, dan ancaman, ada harapan akan keselamatan. “Itulah kenapa setiap kali merayakan ulang tahun imamat, saya selalu bertanya apakah hidup panggilan ini dijalani dalam sukacita. Kalau seorang imam tidak mengalami sukacita, maka kita perlu bertanya soal motivasinya menjadi imam,” ujarnya.
Ia menambahkan mempersembahkan hidup bagi keselamatan jiwa-jiwa, terutama bagi umat Allah di Keuskupan Surabaya adalah wujud konkret akan kesetiaan dan konsistensi. Setiap imam perlu menghiasi panggilan hidupnya dengan korban suci penyerahan diri dalam pengharapan bahwa hidup panggilan bukan sia-sia, karena dengan itu seorang imam telah menyelamatkan banyak jiwa.
Pola Persaudaraan
Selain korban suci penyerahan diri, salah satu hal yang menjadi perhatian Mgr. Sutikno adalah panggilan untuk hidup dalam communio. Dalam persaudaraan, setiap imam diajak untuk saling menguatkan satu dengan lainnya. Para imam, berkat tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari uskup, diangkat untuk melayani Kristus yang adalah Guru, Imam, dan Raja. Mereka ikut melaksanakan pelayanan-Nya, sehingga Gereja dengan tiada henti-hentinya dibangun menjadi umat Allah, Tubuh Kristus, dan Kenisah Roh Kudus.
Semangat untuk hidup dalam persaudaraan, nyatanya juga menjadi salah satu fokus Arah Dasar Pastoral Keuskupan Surabaya. Sebagai persekutuan murid-murid Kristus, umat Keuskupan Surabaya diharapkan semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan, dan misioner. Sebab pada dasarnya hakikat Gereja adalah persekutuan. Cara hidup Gereja yang menghayati dirinya sebagai persekutuan telah diwujudkan dalam Gereja perdana.
“Realitas keberagaman dari umat Katolik Keuskupan Surabaya memicu, mendorong, dan menantang para gembala untuk mewujudkan jati diri Gereja yang terarah pada semangat persaudaraan,” ucap Mgr. Sutikno sambil membebarkan realitas keragaman umat itu meliputi: penyebaran domisi umat, perbedaan sosial ekonomi, latar belakang budaya, pertumbuhan aneka kelompok kategorial, perbedaan tingkat pemahaman, dan keberagaman unit-unit karya. “Keberagaman ini hendaknya disatukan dalam semangat persaudaraan sebagaimana yang diwujudkan oleh Tritunggal,” ujarnya.
Uskup sendiri mengakui bahwa berkat tahbisan yang menempatkan para imam dalam persaudaraan sakramental, dirinya juga merasa terikat erat satu sama lain dengan para imam. Semua imam baik diosesan maupun religius, baik yang melayani di paroki ataupun di unit pelayanan lainnya harus terpanggil untuk bekerjasama. “Kita bekerja sama untuk satu tujuan yakni pembangunan Tubuh Kristus. Jadi setiap imam saling berhubungan satu dengan lainnya, memiliki ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan, dan persaudaraan,” tuturnya.
Semangat persaudaraan ini, menurut Mgr. Sutikno membantunya untuk tetap bertahan selama 40 tahun imamatnya. Persaudaraan membantunya untuk mengembangkan hidup rohani dan menghindari bahaya kesepian. “Saya meyakini salah satu kekuatan utama dalam tugas sebagai imam adalah tinggal bersama para imam dan mendapat dukungan dari mereka. Dengan begitu saya tidak merasa sedang berjalan sendiri,” ucapnya.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 04, Tahun ke-76, Minggu, 23 Januari 2022