HIDUPKATOLIK.COM – KEBANYAKAN kita, di satu sisi, tahun 2021 bukan tahun yang gampang, apalagi tahun 2020. Di sisi lain, tahun baru 2022 memunculkan banyak harapan. Berharap dunia yang lebih sehat, adil, sejahtera; dunia yang jauh dari tekanan ekonomi, sosial, politik yang mendegradasi martabat manusia. Semua ini bisa kita sebut pengalaman malam gelap. Malam gelap, bagi St. Yohanes dari Salib, merupakan proses transformatif dalam cinta Allah.
Dewasa ini, kata ini sudah umum digunakan dalam aneka konteks dan tujuan. St. Yohanes Paulus II mengaitkan malam gelap St. Yohanes dari Salib dengan krisis kemanusiaan: “era kita sudah dikenal sebagai masa penuh penderitaan. Pengalaman ini menuntun kita untuk lebih baik mamahami konsep malam gelap dari perspektif kolektif. Malam gelap, bukan hanya menyangkut tahap-tahap kehidupan spiritual, melainkan juga menyangkut kehidupan bersama”. Artinya campur tangan Allah tidak saja secara personal, tapi juga sosial kolektif.
Kita lihat beberapa pesan spiritual dari malam gelap yang bisa menjadi pegangan, kekuatan dan pencerah dalam siarah hidup kita:
Pertama, malam gelap tidak identik dengan penderitaan hidup, tapi adalah proses transformasi agar bisa menggapai dan menikmati terang kasih Allah. Proses menuju terang kasih Allah ini menjadi sebab malam gelap. Proses karya Allah ini merupakan juga tanda nyata kehadiran-Nya. Jadi, tidak ada malam gelap yang tak menawarkan terang. Bagi Yohanes, kehadiran Allah dalam malam gelap, menyakinkan kita soal kebesaran dan kerahiman Allah atas diri manusia.
Kedua, malam gelap adalah proses transformatif dalam cinta Allah. Sejalan dengan itu, new normal adalah kesadaran mengubah diri demi perubahan sosial. J. M. Velasco, katakan ada rujukan aplikatif sosial dalam pengalaman negatif yang menghadang kehidupan. Artinya, malam gelap membuka panorama pengalaman universal: penderitaan akibat ketimpangan struktur sosial dan ketidakadilan, malam gelap karena krisis nilai hidup, nihilisme, ateisme, sikap apatis dalam hidup bersama. Perubahan akan terjadi, jika pertama-tama terbangun kesadaran akan keterbatasan dan kesementaraan diri. Selain itu, iklas membiarkan diri dituntun Allah lewat aneka peraturan dan kesempatan hidup. Paus Fransiskus mengajak untuk menggunakan situasi sulit ini sebagai kesempatan mengubah cara hidup, berpikir, berkata, bertindak dan cara berelasi dengan diri sendiri, sesama, alam semesta dan dengan Allah. Tanpa transforasi tak ada malam gelap.
Ketiga, Allah selalu bekerja dalam diri kita. Malam gelap terjadi karena manusia tidak membiarkan diri diatur dan dimurnikan oleh Allah. Mansia ingin mengatur diri dengan keterbatasannya. Tidak heran, menderita. Penderitaan terjadi karena penolakan manusia atas komunikasi diri Allah dan kekuatan cinta-Nya. Maka, menyerahkan diri ke dalam tangan Allah adalah jalan terbaik dan proses yang membebaskan.
Keempat, menurut F. Ruiz, malam gelap bukan pengalaman laboratorium, juga bukan hanya terjadi dalam doa, tapi, juga dalam tugas, ruang lingkup seharian dan panggilan kemanusian”. Evelyn Underhill, yakinkan, “semua bentuk pencerahan dan pemurnian personal selalu berdampak sosial kolektif”. Malam gelap kolektif membuka harapan transformasi kolektif. Transformasi diri menjadi awal perubahan tatanan sosial, ekonomi, keadilan, kebenaran dan martabat manusia.
Kita mahluk terbatas, namun punya kerindukan kekal. Rindu akan keabadian itu hanya bisa digapai melalui Kristus yang juga mengalami malam gelap. Kita bersiarah bersama Kristus pada suatu malam gelap, kemarin dan hari ini.
“Malam gelap, bagi St. Yohanes dari Salib, merupakan proses transformatif dalam cinta Allah.”
Pastor Chris Surinono, OCD
Tinggal di Roma, Italia
HIDUP, Edisi No. 04, Tahun ke-76, Minggu, 23 Januari 2022