web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Simak Lima Poin Paus Fransiskus untuk Membangun Persaudaraan, Perdamaian dan Kerukunan Hidup Bersama.

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PERSOALAN bangsa Indonesia bukan terletak pada ketidakmampuan membangun persaudaraan dan pertemanan lintas agama, lintas etnik, dan lintas budaya. Sebab kesadaran pemuda Indonesia akan persaudaraan lintas agama, lintas etnis, dan lintas budaya sudah tumbuh sejak dulu sebelum Indonesia merdeka.

Demikian dikemukakan Romo Markus Solo Kewuta SVD, anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Takhta Suci Vatikan dalam diskusi Catholic Millennial Summit yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat (PP) PMKRI, Roma, Senin (31/01/2022)

Catholic Millennial Summit yang mengambil tema “Fratelli Tutti” (Persaudaraan Manusia) dan Lingkungan Hidup (Laudato Si) ini digelar PMKRI sebagai upaya merawat keberagaman. secara hybrid, Jumat (29/1/2022). Romo Markus bicara secara daring langsung dari Vatikan, Roma.

“Jauh sebelum Indonesia terbentuk kesadaran ini sudah ada, dan kesadaran ini yang memampukan kaum muda untuk bergerak dan berinisiatif berjuang untuk membentuk bangsa Indonesia. Oleh karena itu kaum muda khususnya yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) tidak boleh sekalipun melupakan Sumpah Pemuda,” tandasnya.

Romo Markus pun menguraikan bahwa sejarah mencatat kongres pemuda beranggotakan wakil-wakil para pemuda yang datang dari berbagai wilayah Indonesia dengan latar belakang budaya, etnik, dan agama yang berbeda-beda.

Rapat kedua ini mengambil lokasi di Lapangan Banteng persisnya di dalam gedung pemuda Katolik, di mana seorang Wage Rudolf Supratman yang kebetulan juga seorang Katolik pertama kali memainkan melodi lagu Indonesia Raya yang digunakan hingga hari ini sebagai lagu Kebangsaan.

Juga ada fakta lain berkaitan dengan etik Indonesia bahwa pembacaan Sumpah Pemuda waktu itu dilakukan di asrama pemuda pemudi keturunan Tionghoa.

“Artinya 17 tahun sebelum proklamasi sudah ada kesadaran kolektif kaum akan pentingnya persahabatan dan persaudaraan lintas agama, lintas suku, lintas budaya, dan lintas etnik, yang mengantar mereka pada sesuatu yang besar,” ujarnya.

Menolak lupa sejarah, Romo Markus menekankan bahwa kemerdekaan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah kombinasi dari perjuangan bersama seluruh putra dan putri bangsa. Semua dengan caranya dan kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki, ada yang banyak ada yang sedikit, ada yang besar ada yang kecil tetapi berdasarkan/berbasis pada sebuah kesadaran politik.

“Kita perlu menguasai sejarah dan berpegang teguh pada objektivitas sejarah agar kita bisa mendasarkan diri di atas kebenaran. Dan ini sebuah permohonan untuk anak-anak muda katolik Indonesia,” katanya.

Lalu bagaimana sikon mereka yang saat ini sebagai orang yang hidup di luar negeri dan mengikuti perkembangan di Tanah Air dari waktu ke waktu?

Secara pribadi Romo Markus melihat bahwa relasi lintas agama, lintas budaya, dan lintas etnik, sebagai satu bangsa sampai saat ini masih terus berada di 2 kutub perasaan yaitu jauh dan dekat sekaligus. Tergantung dalam kondisi apa kita sedang berada.
“Saya pikir kesempatan seperti ini adalah kesempatan yang baik untuk kita
menyampaikan atau secara terbuka membenah diri dan berbicara secara jujur permasalahan-permasalahan yang kita hadapi dalam dialog nasional dalam kehidupan kita bersama,” ucapnya.

Dalam kesempatan ini, Romo Markus juga ingin menyampaikan apa yang ia amati selama ia tinggal di luar negeri. Ini, menurut dia, merupakan pekerjaan rumah yang betul-betul banyak. Yakni adanya pembentukan politik identitas berbasis agama semakin masif, indoktrinasi paham-paham radikal dan sektarian, narasi-narasi kebencian atas nama agama yang tersebar dimana-mana, pembangunan getho-getho yang Paus Fransiskus katakan sebagai tembok.

Selanjutnya kasus-kasus intoleransi agama yang mencemaskan, kekerasan dan radikalisme agama yang sampai membawa kepada terorisme, kekerasan atas nama agama, gerakan-gerakan oposisi politik pemerintahan yang resmi dengan mengusung alternatif berbasis satu agama, yang tidak mungkin menjamin kesatuan dan persatuan bangsa, gerakan-gerakan pengasingan budaya-budaya lokal dan masih banyak lagi.

“Yang kita butuhkan adalah sebuah konvivialitas, sebuah kehidupan bersama. Tetapi konvivialitas memiliki sebuah karakter yang lebih. Kata konvivialitas dari bahasa latin convivere atau hidup dengan atau hidup bersama bersama berarti membangun hubungan persaudaraan, persahabatan, rasa saling hormat dan saling percaya dengan semua orang dalam masyarakat, dan bersedia berbagi dengan mereka semua sumber daya yang tersedia, alam, kandungan, kandungan alam, manusia, kebahagiaan material dan spiritual,” beber Romo Markus.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apa landasannya? Romo Markus melanjutkan, “Karena kita adalah bagian dari satu sama lain, kita bergantung dari satu yang lain. Kita adalah saudara dan saudari walau berbeda dalam agama, budaya, etnik cara pandang orientasi politik, kita satu dalam kemanusiaan.”

Berikutnya, kata Romo Markus, conviviality artinya hidup rukun dengan alam dan sesama manusia tanpa harus meremehkan perbedaan dan keragaman suku, agama, sosial dan budaya. Di dalam perbedaan ini kita semua bekerja sama untuk kebaikan bersama yang menguntungkan semua pihak tanpa kecuali.

“Untuk kita umat Katolik dokumen Konsili Vatikan ke-2 Nostra Aetate sebagai dasar kebijakan kita, dasar dinamika keterbukaan kita terhadap umat beragama lain sudah menekankan ini dengan jelas,” tuturnya.

Lebih lanjut dijelaskan satu-satunya Romo asal Indonesia di Kepausan Vatikan ini, menurut Paus Franciskus, konvivialitas yang dimaksudkan dengan hidup secara bersama secara rukun dan damai adalah barometer yang pasti untuk mengukur sehatnya relasi antarsesama manusia, sehatnya sebuah bangsa, sehatnya relasi perorangan, relasi antarkelompok, maupun antarbangsa di satu sisi dan antara manusia dengan alam semesta dan juga dengan Tuhan Sang Pencipta di sisi lain.

Sebuah masyarakat yang diwarnai oleh anonimitas, lanjut Romo Markus, yang diwarnai oleh ketidakpedulian ignorance karena tidak ada atau melemahnya relasi pribadi dan sosial satu sama lain, yang ada hanya sebuah masyarakat complicated dengan egoisme sebagai karakternya. Maka tidak heran kalau bangsa tersebut atau masyarakat tersebut tidak pernah menikmati apa yang kita sebut kerukunan dan perdamaian.

Masalah Seputar Konvivialitas

Lebih jauh Romo Markus menguraikan bahwa masalah-masalah seputar konvivialitas yang saling berkaitan di atas tidak hanya memengaruhi keramahtamahan sebuah masyarakat, kelemahlembutan sebuah masyarakat dan pemeluk tradisi-tradisi berbagai agama dan anggota dari kelompok budaya dan etnik, juga sekaligus memperlambat laju dialog antaragama atau malah membuatnya stagnan.

Dalam situasi seperti itu, masih kata Romo Markus, mungkin sebagian orang menyerah dan mencari jalan sendiri untuk luput seperti yang kita lihat pada gerakan-gerakan sektarian. Fratelli Tutti ingin menekankan tanggung jawab kolektif kita bersama, manusia di berbagai belahan dunia dan juga termasuk Indonesia dari berbagai generasi. “Dan juga dimaksudkan di sini saudara dan saudari adik-adik PMKRI. Membangun persaudaraan kolektif dan universal adalah jalan,” ucapnya.

Romo Markus pun mengingatkan akan dokumen yang terbit sebelumnya persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama, yang terbit di Abu Dhabi pada tanggal 4 Februari 2019 juga turut menekankan atau membuka jalan, memberikan cara yang baik untuk membangun persaudaraan yakni dengan dialog, membuka diri untuk berbicara, dan bertemu dengan orang lain, saling memahami saling menghormati, menyebarkan budaya toleransi, menerima orang lain apa adanya dengan segala perbedaannya.

Tiga Poin Paus

Berikutnya Romo Markus menyinggung intisari pesan Paus Franciskus pada hari perdamaian sedunia karena di sana Paus menekankan tiga poin yang relevan untuk kehidupan bangsa Indonesia, dan semua yang ingin membangun persaudaraan, perdamaian dan kerukunan hidup bersama.

Awal tahun ini, persisnya 1 Januari 2022, lanjut Romo Markus, Paus Franciskus menyampaikan pesan perdamaian untuk seluruh dunia merupakan sebuah perjuangan yang serius. Kesuksesan di satu tempat ditantang pada saat yang sama oleh kasus-kasus intoleransi dan kekerasan atas nama agama di tempat-tempat lain.

“Dan, di antara dua ekstrem ini kita hidup dan berjuang. Beliau memberikan tiga jalan yang sangat penting untuk sampai pada perdamaian dan kerukunan yang kita dambakan bersama. Yang pertama dialog antargenerasi, yang kedua diajak untuk membuka diri menerima dan berbicara dengan kaum muda, sebaliknya kaum muda juga diminta diajak untuk membuka diri dan berbicara berdialog dengan orang tua,” ucapnya.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Di era komunikasi digital dan global ini, Romo Markus berpikir dan mengajak para pemuda untuk menggunakan kemungkinan yang ada, termasuk teknologi internet dan media media sosial untuk membangun relasi sosial yang konklusif dengan siapa saja. Saling mengenal dan membangun persaudaraan dan persahabatan terutama dengan mereka yang tidak sepaham dan seiman dan seagama.

“Kasih akan membawa kita kepada keterbukaan, karena kita adalah orang-orang yang beriman dan kasih lahir dari pengenalan, seperti yang kita kenal dikenal maka disayang. Yang kedua, pentingnya pengajaran dan pendidikan. Kita semua tahu pendidikan dalam bahasa Inggris education yang berakar pada dua kata bahasa Latin edu care yang berarti melatih dan membentuk, dan edu cure artinya membawa seseorang keluar dari kegelapan keluar dari ketidaktahuan, keluar dari kesempitan menuju sebuah dunia yang lebih luas, menawarkan kepadanya sebuah cakrawala baru, sebuah perspektif baru yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Mengetahui dan merangkul yang lain yang berbeda di dalam kemajemukan.”

“Pendidikan seperti kita tahu bersama memampukan kaum muda untuk melihat to see, menilai to judge dan mengambil tindakan to act, yang tepat untuk sebuah kepentingan yang lebih besar dan mulia,” jelasnya.

Romo Markus pun teringat kata-kata bijak Presiden AS yang ke-26 Theodore Roosevelt yang mengatakan mendidik seseorang hanya sebatas pikiran, sebatas indoktrinasi sebatas pengajaran, namun tidak menyentuh atau mendidik dalam hal moral kepribadian adalah mengajarkan sebuah ancaman bagi masyarakat luas.

Indoktrinasi adalah musuh peradaban karena itu adalah sebuah bentuk kolonialisme spiritual. Orang disandera di dalam kebergantungan dan aksi-aksi ritual masal tanpa argumen tanpa bisa berpikir dan tanpa bisa memposisikan diri secara merdeka.

“Saya mengajak kaum muda Katolik PMKRI Indonesia untuk sejauh-jauhnya atau sebisa-bisanya menjauhkan diri dari segala bentuk indoktrinasi dan brainwashing karena di sini seperti dikatakan oleh Roosevelt moral manusia tidak bertumbuh dan berkembang. Orang tidak bisa berpikir secara mandiri tidak bisa memposisikan diri secara merdeka lalu pada gilirannya mereka menjadi ancaman bagi sebuah konvivialitas. Ancaman bagi bangsa dan negara padahal kita membutuhkan ini, sebuah koeksistensi sebuah kehidupan yang rukun dan damai, penuh spirit perdamaian dan persahabatan saling menghormati, saling memahami, satu dalam perbedaan unity in diversity.

Pertama, lanjut Romo Markus, menciptakan dan memastikan lapangan pekerjaan. Survey internasional sering mengidentifikan dan menekankan vunerability atau kerentanan pemuda terhadap kekerasan dan agresivitas-agresivitas destruktif di dalam masyarakat sebagai sesuatu yang kerap berkaitan erat dengan faktor kemiskinan multidimensi dan berujung pada alienasi sosial.

Lalu pada tataran ini, lanjut dia, kaum muda yang hidup teralienasi sangat mudah putus asa, mudah menciptakan musuh-musuh sosial dan mudah pula dimobilisasi untuk gerak dalam gerakan-gerakan massal yang sektarian dan destruktif.

Berhadapan dengan krisis sosial pada kaum muda di atas solusi yang lazim dilakukan adalah membuka lahan pendidikan seluas-luasnya bagi anak-anak dan pemuda, membuka lapangan kerja dan pelatihan-pelatihan skill, dan mereka kaum muda yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi diajak untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan dan melawan segala bentuk indoktrinasi.

Catatan terakhir

Terakhir, Romo Markus mengingatkan kaum muda untuk menanamkan rasa terima kasih di dalam diri bahwa kita boleh memiliki Indonesia sebagai bangsa.

Indonesia, tandas Romo Markus, adalah hadiah dari Tuhan yang luar biasa. Negara yang indah dan luas kaya manusia dan budaya. Kaya kandungan alam, kaya suku dan agama, kita semua harus menanamkan rasa syukur kepada pemberi hadiah. Kepada Tuhan dan kepada mereka yang yang sudah berjuang sebelum kita.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

“Karena hemat saya, rasa terima kasih adalah awal dan dasar dari komitmen yang lebih besar untuk menjaga dan merawat bangsa Indonesia yang paling urgent dan paling mendesak saat ini tentu saja yang sudah ditekankan sejak lama, merawat dan menjaga 4 pilar bangsa Indonesia. Dan, saya yakin PMKRI, anak-anak muda memiliki kompetensi dan kapasitas yang luar biasa untuk membentuk berbagai jaringan baik selevel maupun yang ke bawah atau pun yang ke atas untuk bersama-sama menjaga bangsa Indonesia,” katanya.

Kedua, sambung Romo Markus, jangan takut perbedaan. Paus Franciskus juga sering demikian karena perbedaan-perbedaan bukanlah sebuah ancaman untuk kita. Perbedaan-perbedaan adalah sumber kekayaan sumber keindahan dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga perbedaan tersebut.

Sedangkan ketiga, kita semua sepakat bahwa kita sejatinya lebih cocok mencari pertemanan dan persaudaraan dengan mereka yang sepaham dengan kita yang mudah diajak untuk berbicara, mudah diajak untuk berteman tetapi ini adalah
sesuatu yang standar, dan kalau orang lain juga bisa melakukan sesuatu yang standar, apa yang lebih yang bisa kita tawarkan sebagai orang Katolik dalam nada analogis juga ditantang oleh Yesus Kristus sendiri.

“Di dalam persahabatan saya, pertemuan saya dengan orang-orang yang berpikiran lain yang tidak sepaham dengan kaum moderat dan liberal, banyak yang mengaku bahwa mereka secara tidak sengaja, tidak rencana, tergelincir masuk ke dalam kelompok-kelompok radikal dan konservatif. Dan jika mereka tahu bahwa ada kehidupan lain yang lebih bagus mereka kadang menyesal lalu berbalik. Inilah sesuatu yang memberikan kita kans untuk merangkul mereka, dan mungkin mereka juga mengalami nasib yang sama tapi ingin berbalik dan tidak bertemu dengan orang yang bisa mengajak mereka.”

Keempat, kata Romo Markus, PMKRI adalah bagian dari gereja Katolik Indonesia. Gereja Katolik adalah agama yang resmi diakui di Indonesia. Oleh karena itu setiap anggota PMKRI dan kita semua adalah seperti yang dikatakan oleh Uskup Agung Soegijopranoto, 100% Katolik 100% Indonesia. Konsekuensinya kita tidak saja memiliki hak dan kewajiban seperti semua warga lainnya, tetapi Romo Markus menekankan juga memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang penuh terhadap kehidupan bangsa ini, terutama menyangkut perdamaian dan kerukunan lintas agama sebagai cita-cita kita bersama karena tanpa perdamaian dan kerukunan kita tidak akan maju, kita tidak akan berkembang.

Kelima, dari Yesus Kristus, umat Katolik menerima utusan yang satu dan yang sama menjadi garam dan terang dunia. Inilah yang sebenarnya kita maksudkan dengan to be blessing for the whole world. Menjadi berkat untuk seluruh dunia atau bagi umat manusia, menjadi terang dan garam dunia di tempat tugas kita masing-masing.

Yang terakhir, menurut Romo Markus merupakan pesan Paus Franciskus yang masih baru yang disampaikan tanggal 26 Januari 2022 lalu. Beliau membahas khusus tentang tokoh atau pribadi Santo Yosef di dalam sejarah keselamatan manusia. Paus menekankan bahwa Santo Yosef begitu sukses dalam menerima tantangan, terbuka untuk menerima tanggung jawab dan sukses dinobatkan Tuhan menjadi santo menjadi Bapa piara Yesus Kristus oleh karena tiga hal ini. Pertama, karena Santo Yosef berdoa orare, karena bekerja laborare, termasuk juga studi are, studi. Dan yang ketiga karena Santo Yosef mengasihi amare.

“Jadi tradisi Benediktian ora et labora ditambahkan oleh Paus Fransiskus di sini menjadi 3: ora, labora, et ama berdoalah, bekerjalah atau belajarlah dan kasihilah atau cintailah. Karena semakin kita menjadi katolik sejati artinya berakar di dalam iman kita kita akan semakin sukses menjalin persaudaraan dengan orang lain dan mereka yang tidak sepaham dan tidak seagama dan tidak seiman dengan kita.

Karena inilah yang kita butuhkan untuk kehidupan bersama di dalam satu bangsa satu nusa Indonesia,” demikian Romo Markus Solo Kewuta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles