web page hit counter
Sabtu, 2 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

St. Filippo Smaldone (1848-1923) : Rasul bagi Orang Bisu Tuli

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COMTujuan hidupnya hanya satu: menjadi “mulut” dan “telinga” bagi orang bisu tuli.

 KACAU balau, itulah potret kondisi Italia tatkala Filippo Smaldone menghabiskan masa kecilnya. Ia lahir di Napoli, Italia, pada 27 Juli 1848. Selain situasi masyarakat yang mengenaskan, tak banyak informasi tentang keluarga dan masa kecilnya.

Kemelut politik dan krisis ekonomi saat itu berakibat bobroknya tatanan sosial dalam masyarakat Italia. Kekuasaan diperebutkan demi prestise dan kepentingan pribadi penguasa.

Bahkan, Gereja pun terkontaminasi oleh kebobrokan akhlak yang menjamur di masyarakat. Harapan bahwa Gereja bisa menjadi penengah, kandas dan kondisi pun menjadi kian buruk. Banyak orang kecil menjadi korban dan tersingkir. Kemiskinan pun merajalela. Situasi itu terekam dalam memori Smaldone.

Cita-cita Mulia

Di tengah gonjang-ganjing geopolitik, ekonomi, sosial, dan kebisuan Gereja, tumbuh kerinduan Smaldone untuk mereformasi keadaan itu. Ia bertekad menjadi imam agar bisa mengabdikan diri demi perbaikan Gereja.

Tak heran, Smaldone mulai membekali diri dengan banyak keutamaan kristiani. Kepekaan hatinya makin tajam. Ia mudah tersentuh melihat derita orang yang tersisihkan dari masyarakat.

Demi kerinduan hatinya, Smaldone masuk seminari di Napoli. Formasi studi filsafat dan teologi ia lakoni penuh semangat. Namun, dorongan kuat dalam hatinya untuk segera berkarya di tengah orang miskin terus bergema. Alhasil, ia pun meluangkan sebagian besar waktu untuk melayani orang bisu-tuli dari keluarga miskin. Waktunya banyak tersita untuk mereka yang tak digubris oleh pemerintah Italia.

Karena keterlibatannya merasul di tengah orang bisu-tuli di Napoli, Smaldone kehilangan banyak waktu menyelesaikan studinya. Ia pun dianjurkan untuk melanjutkan studi di Keuskupan Agung Rossano-Cariati agar bisa fokus dalam formasi calon imam. Berkat kesetiaan dan kegigihannya dalam panggilan, ia berhasil menyelesaikan pendidikan calon imam di sana. Rahmat tahbisan imamat ia terima pada 23 September 1871.

Baca Juga:  GEREJA DI MUSIM DINGIN

Pasca tahbisan imam, Pastor Smaldone kembali terjun dalam pelayanan bagi penyandang bisu tuli. Kecintaan pada tanah kelahirannya mendorongnya untuk kembali ke Napoli. Pada 1876, pastor muda itu direinkardinasikan lagi sebagai imam Keuskupan Agung Napoli.

Smaldone mulai berkatekese di tengah orang miskin, dan mengunjungi yang sakit. Kecintaannya pada orang miskin kian menggila. Apalagi saat itu, wabah pes merebak di Napoli dan sekitarnya. Ia makin menambah intensitas kunjungan pastoralnya. Kesehatannya sendiri ia abaikan. Akibatnya, penyakit menular itupun menjangkiti dirinya. Ia terkena pes.

Godaan untuk lari

Smaldone mengalami masa sulit. Keinginan merasulnya yang menyala-nyala harus terhalang oleh penyakit pes yang ia derita. Namun ia tak patah arang. Devosinya pada Bunda Maria dari Pompei yang sudah ditekuni sejak lama, menjadi satu-satunya harapan yang tersisa. Pompei ialah sebuah kota di Italia.

Ia pun makin tekun berkanjang dalam devosi, mohon rahmat kesembuhan. Ketika raganya sudah sekarat, Tuhan mendengarkan jeritan pintanya. Melalui devosi pada Bunda Maria dari Pompei, Smaldone sembuh. Baginya, ini adalah mukjizat. Tuhan masih memberinya kesempatan untuk melanjutkan karyanya.

Setelah sehat, Smaldone meningkatkan pelayanan pastoralnya. Ia memutuskan untuk mengajar penderita bisu tuli. Banyak hambatan ia temui. Anak-anak bisu tuli merasa frustrasi karena pengajarannya. Pada saat itu, sulit bagi mereka untuk belajar. Keterbatasan metode, sarana dan prasarana, membuat perkembangan mereka sangat lambat. Kondisi ini menampar tekad Smaldone untuk menjalankan pendidikan bagi anak bisu tuli. Ia pun depresi berat.

Pada suatu saat, Smaldone merasa tak lagi bahagia menjalani kerasulannya diantara penderita bisu tuli. Ia pun tergoda untuk banting stir, merevisi orientasi mimpinya selama ini. Terbersit dalam benaknya untuk menjadi misionaris, keluar Italia.

Baca Juga:  “Melody in Harmony”: Asah Bakat Seni, Tingkatkan Kolaborasi, Tumbuhkan Cinta Budaya Indonesia pada Gen Z

Smaldone pun berdeliberasi dengan pembimbing rohaninya, yang terus meneguhkan karyanya saat itu. Akhirnya, semangat misioner di tengah orang bisu tuli kembali berkobar. Ia sadar, misi sejatinya adalah apa yang sedang ia tekuni di Napoli.

Santo Filippo Smaldone (duduk, kanan) bersama anak-anak bisu dan tuli/
www.pastoralvocacionalsmaldoniana.org

Setelah mendapat siraman rohani dari bapa rohaninya, Smaldone makin total menekuni misinya saat itu. Totalitas pelayanan itu menuntunnya untuk merangkul banyak pihak terlibat. Ia berkarya bersama sebuah komunitas yang terdiri dari para pastor dan kaum awam. Selama bertahun-tahun, ia bergumul dalam kerasulan di tengah orang bisu tuli bersama komunitas itu.

Pada 25 Maret 1885, Smaldone hijrah ke Lecce, Italia. Di sana, ia mendirikan institut bagi pendidikan bisu tuli bersama Pastor Lorenzo Apicella dan sekelompok suster yang ia latih sendiri.

Institut di Lecce itulah cikal bakal Kongregasi Suster Salesian dari Hati Kudus, yang dikemudian hari ditetapkan sebagai rumah induk kongregasi. Kongregasi baru ini cepat bertumbuh. Pada 1897, dibuka institut yang sama di Roma dan Bari, Italia.

Karena tenaganya sangat diperlukan, cakupan pelayanan pun diperluas. Smaldone membuka pendidikan untuk anak tuna netra, yatim piatu, dan yang dibuang oleh keluarganya.

Meski badai tantangan menerpa, Smaldone selalu berpegang pada semboyan “Tuhan mengirim kita cobaan dan kesengsaraan untuk pelunasan hutang kita pada-Nya.“ Cobaan datang silih berganti. Secara eksternal, Dewan Kota menolak karyanya. Sementara secara internal, ia harus menerima kenyataan pahit: superior pertama tarekat baru yang ia dirikan, mengundurkan diri. Tragedi ini berdampak visitasi apostolik panjang dari Tahta Suci atas tarekat itu.

Smaldone tak pupus harapan. Ia berjuang melayani anak didiknya. Secara khusus, ia menyusun dasar formasi religius para suster secara menyeluruh. Badai tantangan pun pelan-pelan berlalu.

Baca Juga:  Renungan Harian 2 November 2024 “ Kebangkitan Badan"

Keberhasilannya membawa Smaldone disegani pemerintah dan Gereja. Ia menjadi pembimbing rohani dan bapa pengakuan bagi para pastor, seminaris dan perbagai komunitas religius. Ia mendirikan Eucharistic League of Priest Adorers dan  Women Adorers. Bahkan Ia dipercaya sebagai Superior Kongregasi Misionaris St Fransiskus de Sales dan ahli hukum Gereja di Katedral Lecce.

Tarekat suster yang ia dirikan pun menuai panenan di ladang perutusan seluruh semenanjung Italia, Eropa, bahkan hingga lintas benua: Brazil, Moldavia, Paraguay dan Rwanda. Uskup Lecce Mgr Gennaro Trama (1856-1927) mendukung penuh pemekaran tarekat ini.

Pastor Teladan

Kerja keras dan dedikasi pada pelayanan orang miskin, membuat raganya dihinggapi berbagai penyakit. Menjelang usia 75 tahun, 4 Juni 1923, Smaldone wafat karena diabetes akut dengan komplikasi penyakit jantung di Lecce. Saat sakit hingga wafatnya, ia dirawat para suster didikannya.

Pada 8 Mei 1996, Johanes Paulus II menganugerahinya gelar Beato. Gereja menghargai keteladanan Pastor dari Lecce ini karena totalitas pengabdiannya pada orang miskin, terutama penyandang bisu tuli.

Sepuluh tahun kemudian, 15 Oktober 2006, Benediktus XVI menggelarinya Santo. Bapa Suci menyebut Smaldone sebagai imam yang berjiwa besar, hormat pada Ekaristi, dan setia dalam doa. Predikat pelayan kaum miskin, terutama penyandang bisu tuli, terpatri dalam dirinya. Bagi Smaldone, Tuhan hadir dalam diri anak-anak penyandang bisu tuli. Maka ketika orang bersujud pada Tuhan di hadapan Sakramen Mahakudus, sudah seharusnya ia bersujud di depan penyandang bisu tulis. Gereja menobatkannya sebagai “Rasul bagi Orang Bisu Tuli”, dan menetapkan 4 Juni sebagai pestanya.

Yusti H. Wuarmanuk

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles