HIDUPKATOLIK.COM – Pastor, saya liat di sebuah film tentang sepasang suami istri. Karena sang istri tidak bisa mengandung, lalu fertilisasi sel sperma, disemaikan di rahim perempuan lain, lalu sesudah lahir, anak itu diserahkan kepada pasutri tadi (sebelumnya sudah ada perjanjian di antara mereka). Secara hukum Gereja, bolehkah melakukan hal seperti ini? (Warren, Bogor)
SEJAK Louise Brown, ‘the first test tube baby’ lahir di Inggris tahun 1978, diperkirakan sekitar 8 juta orang lahir melalui metode pembuahan dalam tabung (In Vitro Fertilization – IVF). Bahkan diperkirakan 1 – 2% anak-anak di Amerik Serikat dikandung melalui metode ini (Bdk. J.T Keane Americamagazine, 2020). Meski sangat mahal, banyak pasangan yang kesulitan memperoleh anak memandangnya sebagai solusi, termasuk dengan meminjam sel sperma dan telur, bahkan rahim dari orang lain.
Pertama-tama Gereja Katolik selalu memandang pasangan seperti ini dengan penuh belas kasih. Gereja juga menghargai usaha-usaha yang dilakukan ilmu pengetahuan untuk mengatasi masalah ini. Namun sebagai penjaga wahyu dan martabat manusia, Gereja wajib menilai dengan cermat apakah suatu metode tidak melukai integritas martabat manusia dan makna perkawinan. Sikap Gereja nampak misalnya dalam Dokumen Kongregrasi Ajaran Iman: Donum Vitae (1987) dan Dignitatis Personae (2008).
Metode pembuahan dalam tabung (In Vitro Fertilization – IVF) dalam pandangan Gereja mempunyai problem moral yang sangat serius. Ada dua alasan: pertama terkait pembuahan sebagai tujuan perkawinan dan kedua adanya problem moral dalam proses IVF itu sendiri. Dalam iman kita, anak adalah anugerah Allah dan bukan ‘buatan’ manusia. Anugerah itu diberikan dalam ikatan cinta kasih pernikahan, melalui tindakan seksual suami istri yang pada kodratnya bertujuan mengukuhkan cinta dan terarah pada keturunan. Dalam tindakan cinta dan pemberian diri itu pembuahan pun menjadi buah cinta suami istri (Bdk KHK 1061, KGK 2378). Di sinilah masalah pertama: IVF melepaskan pembuahan dari aktivitas seksual perkawinan. Suami istri lebih berperan sebagai sumber material saja, dan pembuahannya dilakukan orang lain.
IVF sendiri tidak sesederhana yang dibayangkan. Proses IVF menuntut banyak percobaan. Ada cukup banyak embrio yang dihasilkan; dipilih embrio mana yang layak ditanamkan dalam rahim, sementara yang tidak layak dibuang, atau dibekukan untuk ditanam pada percobaan berikut atau ‘diberikan’ pada orang lain, sebelum akhirnya sisanya dibuang. Seringkali di dalam sebuah rahim ditanamkan serentak beberapa embrio, yang diamati perkembangannya. Ahli akan menentukan embrio yang patut dipertahankan dan mana yang tidak. Proses ini disebut selective reduction.
Ini menghasilkan masalah serius. Gereja meyakini bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan. Embrio-embrio itu, bahkan yang cacat sekalipun, mempunyai hak hidup sebagai manusia. Tak seorang manusia pun berhak mengatakan seorang layak hidup atau tidak. Jadi sangat menyedihkanlah memberikan hidup pada satu manusia dengan mengorbankan banyak saudara kembar yang lain. Selama problem ini masih ada, proses ini akan terus mengancam integritas martabat manusia dan tak dapat diterima.
Intinya Gereja tetap peduli pada pasangan dengan gangguan fertilitas, namun serentak Gereja juga sangat care pada makna pernikahan dan integritas martabat manusia. Karena itu, sambil mengajarkan iman bahwa anak adalah anugerah ilahi dan menekankan panggilan khas orangtua sebagai partner prokreasi Allah, Gereja mendukung riset alternatif ilmiah lain yang berusaha mengatasi masalah infertilitas seseorang. Saya anjurkan carilah informasi tentang NaProTechnology, misalnya, yang dikembangkan oleh Saint Paul VI Institute. Mari berdoa agar ke depan dapat ditemukan metode yang lebih tepat.
HIDUP NO.04, 23 Januari 2022
Pastor Gregorius Hertanto, MSC
(Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara)
Silakan kirim pertanyaan Anda ke:
re**********@hi***.tv
atau WhatsApp 0812.9295.5952. Kami menjamin kerahasiaan identitas Anda.