HIDUPKATOLILIK.COM – SEORANG ayah, pelanggan majalah ini mengisahkan pengalamannya saat mengunjungi anaknya yang tengah menempuh pendidikan tinggi di sebuah negara di Benua Biru. Saat tiba di tempat tinggal sang anak, ia tak menemukan sebuah buku pun di meja atau almari. Ia terheran. Kuliah kok enggak ada buku?! Ia membayangkan ketika menjadi mahasiswa sekian puluh tahun lalu. Kamarnya pasti dijejali aneka buku di sana-sini. Bahkan tak ada tempat untuk meletakkan kaki. Karena ingin tahu, ia menanyakan, di mana sang anak menaruh buku-bukunya. Tahu bahwa sang ayah menyimpan keheranan, sang anak langsung menghidupkan perangkat komputer jinjingnya dengan segala keterhubungannya. Ia menuntun sang ayak mencari jenis buku apa yang dicari.
Singkat cerita, sang hanya bisa melongo, ketika sang anak kini tak lagi membaca buku-buku cetak. Di era digital ini, buku cetak tidak lagi menarik minat murid, pelajar, dan mahasiswa. Selain dari sisi kepraktisan, harga buku cetak jauh lebih tinggi dari buku-buku digital. Buku digital (e-book) jauh lebih murah dan lebih mudah pula diakses. Demikian halnya dengan perpustakaan. E-library kini telah menjadi tren di seluruh dunia.
Maka, ketika kita merayakan “100 Tahun Penerbit-Percetakan Kanisius”, muncul pertanyaan, bagaimana ‘masa depan’ para penerbit-percetakan di masa mendatang? Budaya baru yakni budaya digital kini tak terpisahkan lagi dengan kehidupan kita, tanpa kecuali. Para generasi muda, kaum milenial sudah terbiasa dengan kultur ini. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang tak tertandingi lagi turut mempengaruhi dan mempercepat transformasi tersebut. ‘Dipecut’ oleh pandemi Covid-19 sejak akhir 2019, transformasi kini sudah mejangkau hingga ke pelosok dengan amat cepat. Anak-anak di pedalaman yang tadinya masih tergolong tertatih-tatih mendapatkan buku manual, kini harus terjun ke dunia digital. Para pendidik pun ikut berdinamika di situ.
Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan era digital ini, harus diakui, menjadi blessing tersendiri. Karena itu, dunia penerbitan dan percetakan pun segera melakukan tranformasi bagi penerbit-percetakan yang belum melakukannya. Dan, yang sudah melakukannya, perlu terus-menerus melakukan adaptasi dan inovasi. Jika tidak melakukan adaptasi dan inovasi, jangan berharap akan dilirik oleh warga digital ini. Tak perlu disebutkan lagi, berapa banyak penerbit-percetakan yang terpaksa banting stir jikalau tidak mau digilas perubahan ini. Yang gulung tikar juga tak terbilang. Bila masih bisa mengombinasikan antara cetak dan digital, tentu saja karena masih ada generasi yang belum terbiasa dengan produk-produk digital. Suatu saat ‘generasi cetak’ ini juga akan kian berkurang, dan ‘habis’ dalam arti yang seluas-luasnya.
Maka, transformasi, tak sekadar transfomasi bentuk, memang tak terelakkan lagi. Visi dan misi lembaga pun perlu titinjau agar tak tergerus arus zaman. Sekali lagi, perlu adaptasi dan inovasi disertai kesadaran baru akan perubahan yang begitu cepat dan tak bisa diprediksi ke depan. Harus diakui, yang disebut terakhir ini bukan perkara yang sederhana dan mudah dilakukan.
HIDUP, Edisi No. 03, Tahun ke-76, Minggu, 16 Januari 2022