HIDUPKATOLIK.COM – Sepanjang hidupnya, ia terus menjadi penyambung lidah bagi kaum disabilitas. Ia ingin kaum disabilias memiliki hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya.
ANAK dengan kondisi disabilitas sangat rentan mengalami kekerasan baik fisik, psikis, dan seksual, bullying, stigma, hingga pemasungan. Hal ini dialami Ignatius Kikin P. Tarigan di masa kecilnya. Kikin merasakan sendiri bertapa sulitnya terlahir sebagai seorang disabilitas. Pengalaman mendapat stigma dari masyarakat, dipandang sepele dalam melakukan aktivitas, sampai ejekan dan bullying pernah dialami kikin. “Hingga hari ini saya harus setia mendampingi anak ketiga yang sama-sama penyintas disabilitas,” ujar Kikin.
Sebutnya, ia tak ingin anaknya dipukuli, ditendang, dicubit, diludahi, didorong, atau kekerasan secara verbal yang pernah dialaminya. Sebab pengaruh perundungan bisa mengakibatkan depresi, kesepian, cemas, merasa harga dirinya rendah, merasakan sakit di tubuh, tidak ingin sekolah karena takut, atau paling tragis berencana untuk bunuh diri. “Saya tak ingin pengalaman yang saya alami menimpah orang lain khususnya anak saya,” ceritanya.
Pengalaman ketidakadilan yang dialaminya di masa kecil memotivasi dirinya untuk harus bangkit. Ada optimisme untuk melawan stigma yang masih dialami oleh para penyandang disabilitas. Ada pesan kuat kepada mereka, walau terlahir sebagai difabel tetapi berharga di mata Tuhan. “Saya akan terus berjuang untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap kaum disabilitas. Sebab perjuangan melawan stigma ini tidak mudah.”
Si Gagu
Para penyandang disabilitas, tidak sekadar mendapat tempat di hati Kikin, tetapi gambaran dirinya dengan segala keterpurukan yang pernah dialami. Mereka adalah potret diri Kikin yang lemah. “Saya ingin memotivasi mereka agar masyarakat mengenal mereka karena kemampuan yang melekat pada diri mereka, bukan karena keterbatasan,” ujar Kikin.
Kikin bercerita di usia 0 sampai 7 tahun, dirinya tidak bisa berbicara dengan baik sehingga ia sering dijuluki si gagu. Kikin terlahir dengan kekurangan cleft lip and palate atau labioplatoschizis,sering dikenal dengan langit-langit mulut yang pecah. Hal ini membuatnya sulit berbicara dan mengucapkan kalimat dengan benar.
Untung baginya memiliki orangtua yang tak putus harapan, hidup dengan optimisme. Saat menginjak usia 5 tahun, orangtua mencarikan solusi agar langit-langit mulut Kikin bisa dioperasi di Jakarta. Syukur pergumulan tersebut terjawab di meja operasi.
Setelah operasi selesai, Kikin bisa menikmati pendidikan khusus di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan menjalankan therapy di kawasan Sentiong, Jakarta Pusat. Hal yang sama terjadi pada anak ketiganya yang juga mengalami kekurangan cleft lips and palate hingga dioperasi dan menjalani therapy. Saat ini sedang bersekolah di SLB YPAC Medan, Sumatera Utara. “Saya belajar dari kegigihan orangtua dalam memberi optisme dan semangat hidup kepada saya. Kini saya ingin menjadi orangtua yang baik untuk memberi harapan hidup kepada anak saya yang mengalami kondisi yang sama,” ujar Kikin.
Kikin menambahkan, dalam Undang-undangan No 8 tahun 2016, pasal 5 tercantum dengan jelas hak-hak penyandang disabilitas. Maka setelah menjadi Komisioner Disabilitas, ia ingin memperjuangkan pemenuhan hak mereka. Meski begitu, sebut Kikin, dalam mengoptimalkan perjuangan para penyandang disabilitas, dibutuhkan kolaborasi dan kerja sama antar lembaga, organisasi kemasyarakatan.
Di Indonesia, lanjut kelahiran 07 Mei 1971 ini, kebutuhan utama para penyandang disabilitas adalah soal penyamaan hak mereka dengan warga lainnya. Mereka harus bebas dari tindakan diskriminasi atau stigma masyarakat, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi, mendapat keadilan dan perlindungan hukum, serta aksesibilitas akan pelayanan publik lebih mudah. “Untuk hal ini masih sangat minim mengubah pandangan masyarakat tentang kehadiran kaum disabilitas. Masih sering terjadi diskriminasi dan tindakan kekerasan lainnya,” ujar Kikin.
Mukjizat Yesus
Sebelum menjadi komisioner, Kikin sudah terlibat menjadi aktivis disabilitas. Ia beberapa kali tampil menjadi pembicara dan selalu mengajak masyarakat untuk menerima kaum disabilitas. Ada kesempatan, Kikin selalu tampil memberi motivasi kepada kaum disabilitas yang merasa terpuruk dalam hidupnya.
“Tujuan saya hanya satu ingin menjadi penyambung lidah kaum disabilitas itu sendiri,” sebut Kikin sambil melanjutkan, kisah penyandang disabilitas adalah kisah peradaban, kisah yang tertuang dalam Kitab Suci, Yesus banyak melakukan penyembuhan 2000-an tahun lalu. Mukjizat Yesus harus mewujud di saat ini dengan memberikan pemenuhan terhadap hak-hak penyandang disabilitas. “Saya pikir tidak harus menjadi Yesus, tapi cukup menjadi diri sendiri dengan tampil untuk melayani dan memberi diri bagi mereka yang tersisih dalam hidup.”
Tugas ini tidak mudah. Kikin merasakan menjadi komisioner tidak serta merta menyelesaikan masalah kaum disabilitas. Sebagai penyambung lidah kaum disabilitas, Kikin berharap kerja sama semua pihak baik keluarga, masyarakat, Gereja, dan juga pemerintah untuk mengangkat derajat kaum disabilitas. Keluarga menjadi unit pertama yang harus terbuka, setia mendampingi, memberi motivasi, dan pendidikan dasar akan nilai-nilai kemanusiaan tentang kaum disabilitas. “Setiap anak harus dibekali dengan pengetahuan terhadap kaum disabilitas, pengetahuan tentang kemanusiaan, makna kehadiran mereka di tengah-tengah dunia,” ungkap Kikin.
Sementara masyarakat, dan pemerintah harus memberi ruang yang terbuka lebar bagi kaum disabilitas. Mengajarkan kepada sesama manusia akan pentingnya memahami kesetaraan dalam menjalankan kehidupan. Tidak ada perbedaan antara orang yang terlahir tidak sempurna dan yang terlahir sempurna secara fisik.
Database Disabilitas
Khusus untuk Gereja Katolik, perlu pengetahuan yang baik kepada umat. Harus ada materi Kursus Persiapan Perkawinan tentang kemungkinan menghadapi anak yang disabilitas. Hal ini agar calon orangtua sejak awal memiliki langkah-langkah konkret ketika dikarunia anak yang tidak sempurna. Setiap pasangan harus mampu menerima disabilitas sebagai anugerah keragaman Ilahi dan akhirnya harus mampu mendidik mereka memahami peran mereka di tengah masyarakat.
Kikin menambahkan, Komisi Nasional Disabilitas sendiri bukanlah lembaga pelaksana kebijakan, melainkan peran pemantauan atas pemenuhan hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, program penguat utama adalah koordinasi pengembangan data base penyandang disabilitas yang terintegrasi dengan para pihak yang memiliki kepentingan.
Misal, di daerah-daerah yang mayoritas Katolik harus memiliki data base umat Katolik penyandang disabilitas. Pola ini bisa dibuat di agama-agama lainnya sehingga fokus pemenuhan kebutuhan kaum disabilitas terpenuhi. “Tidak dipungkiri, organisasi keagamaan seperti pemuka agama bisa tampil melayani mereka, termasuk kaum influencer yang bisa membantu pemerintah dalam hal perbaikan data base,” sebutnya.
Kikin berharap keterlibatannya di Komisi Nasional Disabilitas sebagai kesempatan untuk mengajak masyarakat semakin hari mengenal kaum disabilitas sebagai ciptaan Tuhan. Setiap manusia adalah ciptaan sempurna-Nya. Kesalahan dalam cara pandang, memberi perlakuan serta dalam penghargaan adalah masalah klasik yang harus diputus. “Kita perlu menemukan keunggulan setiap penyandang disabilitas serta menerima mereka sebagai anugerah Tuhan yang sempurna,” demikian Kikin.
Yusti H. Wuarmanuk
Ignatius Kikin P. Tarigan S.
Tanggal Lahir :07 Mei 1971.
Paroki : St. Yoseph, Lawe Desky, Aceh Tenggara
Pendidikan
- SLB Kramat Sentiong Jakarta Pusat
- TK – SD – SMP : Jakarta
- SMA Negeri 2 Tanjungkarang, Bandar Lampung
- Fakultas Pertanian – Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah
- Magister Manajemen Agribisnis, Institute Pertanian Bogor
Pengalaman Organisasi
- PP PMKRI : Ketua Presidium 1998 – 2000
- Komisi Kerawam KWI : Anggota : 2003 – 2008
- DPP ISKA : Sekretaris Jenderal 2010 – 2012
- PP Pemuda Katolik : Dewan Pakar : 2018 – 2021
Pekerjaan
- Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND)
- Ketua Yasadhana Indonesia, Pringsewu, Lampung
- Ketua DPP Serikat Rakyat Indonesia, Jakarta