HIDUPKATOLIK.COM – Oleh KAJ, tahun 2021 dibingkai sebagai Tahun Refleksi. Apa yang telah diperbuat lima tahun sebelumnya dan rencana lima tahun ke depan.
PANDEMI Covid-19 memberi petaka sekaligus juga memberi berkah, tergantung bagaimana sudut pandang kita memaknainya. Keterbatasan-keterbatasan yang muncul karena PSPB atau PPKM dari pemerintah, di satu sisi membatasi, namun di sisi lain membuka peluang.
Gereja Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) telah menyikapinya secara positif, yakni memanfaatkan kondisi tersebut dengan membuat tahun 2021 sebagai Tahun Refleksi. Merefleksi atas perjalanan Arah Dasar 2016-2020 dan mendefiniskan diri (lagi) atas arah dasar yang akan dipakai dalam lima tahun berikutnya (2022-2026).
Tim perumus mempunyai lebih banyak waktu untuk menyerap, mengevaluasi dan memformulasikannya dengan berbagai kegiatan, dari seminar online sampai membuat lomba tulisan Quo Vadis KAJ?
Kegiatan-kegiatan ini melibatkan banyak pihak dan dari berbagai kompetensi. Usaha-usaha yang sungguh patut diapresiasi. Hasilnya adalah sebuah rumusan singkat dan padat makna di dalam dua paragraf: Keuskupan Agung Jakarta sebagai Persekutuan dan Gerakan umat Allah yang berlandaskan spiritualitas ekaristis berjuang untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi demi cinta kepada Tanah Air dengan melaksanakan nilai-nilai Ajaran Sosial Gereja dalam setiap sendiri kehidupan.
Paragraf kedua lebih sebagai konfirmasi, yang diambil surat rasul Paulus kepada umat di Korintus (1 Kor. 15:58) disertai permohonan doa kepada Bunda Maria dan Santo Yusuf. Sub-sub tema yang ada dalam tema besar Ardas 2022-2026 kemudian diuraikan oleh anggota Tim Perumus atau ahli yang ditunjuk untuk menuliskannya. Sampai kata “setiap” dan “sendi” pun diuraikan maknanya (Lihat Gagasan Dasar Ardas KAJ 2022-2026).
Kegamangan Menempatkan Diri
Terlepas dari kewajiban internal untuk selalu mendefinisikan diri ke arah lima tahun mendatang, disebutkan di dalam tulisan Bapak Uskup Ignatius Kardinal Suharyo, munculnya percakapan tentang identifikasi umat Gereja KAJ sebagai komunitas alternatif atau sebagai komunitas kontras.
Positioning yang kemudian diambil adalah bahwa komunitas Gereja Katolik (harus) menjadi komunitas alternatif atau kontras di tengah-tengah komunitas lain di dalam pergaulan masyarakat Indonesia.
Untuk mewujudkannya – sebagai konsekuensi logis – umat perlu mempunyai watak yang bersifat alternatif dan kontras. Watak tersebut adalah peduli dan cinta Tanah Air dengan pedoman perilaku mengacu kepada Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Muncul asumsi atas percakapan tematik di atas, apakah selama ini komunitas Gereja Katolik sesungguhnya belum menemukan positioning sosial-politik-kenabian yang pas di dalam pergaulan dengan komunitas kebhinnekaan masyarakat lain di Indonesia? Apakah Gereja perlu mendefinisikan (lagi) posisi tersebut?
Apabila jawabannya ya, hal ini bisa menjadi salah satu point menarik untuk mengevaluasi implementasi Arah dan Dasar KAJ 2016-2020 secara lebih komprehensif.
Seperti kita ketahui bahwa tema dasar Arah Dasar KAJ lima tahun sebelumnya adalah pengamalan Pancasila. Titik sentralnya adalah mengamalkan Pancasila, dan tentunya nilai-nilai Pancasila.
Di sini Gereja KAJ menempatkan diri sebagai komunitas yang mengamalkan Pancasila, bersatu dengan kelompok masyarakat lain yang mendukung ideologi Pancasila, dan secara otomatis akan bertentangan dengan kelompok masyarakat yang ingin mengganti ideologi Pancasila tersebut.
Pengamalan Pancasila itu dilakukan dengan berlandaskan semangat inkulturatif, terlibat dalam persaudaraan inklusif, melalui tata pelayanan pastoral yang sinergis, dialogis, partisipatif dan transformatif.
Gagasannya adalah bela rasa dan keterlibatan serta kesatuan. Apakah ada komunitas alternatif atau kontras lain yang berada di luar nilai-nilai atau ideologi Pancasila?
Penulis mencoba menghubungkan gagasan Arah Dasar KAJ lima tahun sebelumnya dengan lima tahun ke depan, namun barangkali tidak perlu ada hubungannya karena setiap zaman mempunyai tantangan-tantangannya sendiri.
Perubahan Platform
Gerakan yang ingin diluncurkan sebagai pedoman cara bertindak umat Gereja KAJ ke depan adalah perjuangan untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi berdasarkan platform Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Mengasihi, peduli dan bersaksi adalah terminologi klasik yang sudah banyak didengar, dibahas dan diulas karena bersifat biblis, kemudian ditambah kata “semakin”. Yang “baru” adalah pedoman bertindaknya, yakni ASG.
Dengan demikian umat perlu mengetahui isi dari ASG. Rencana strategis setiap tahunnya perlu untuk dipikirkan agar watak komunitas alternatif dan kontras itu bisa terdefinisi dan terwujud nyata.
Secara garis besar ASG adalah refleksi dan ajaran/doktrin Gereja sekaligus, atas keadaan sosial masyarakat yang kompleks, di mana Gereja mengambil posisi sebagai prokeadilan, hormat kepada martabat manusia, prokesejahteraan bersama, prosolidaritas dan subsidiaritas, lebih peduli kepada yang lemah dan miskin serta bertanggung jawab atas keutuhan alam ciptaan.
ASG yang pertama adalah Ensiklik Rerum Novarum yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tanggal 15 Mei 1891, sebagai reaksi dan refleksi atas kondisi kelas pekerja yang tereksploitasi pada waktu itu.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai ASG dan implementasi dari nilai-nilai tersebut akan membuat Gereja berhadapan dengan sistem atau kepentingan penguasa atau pemerintah yang bisa saja berbeda atau bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Sebuah konsekuensi yang cukup menantang apabila dilakukan, baik ke dalam maupun ke luar, terlebih ketika timbul conflict of interest ketika para pelaku sistem yang tidak sesuai dengan platform atau nilai-nilai ASG adalah anggota Gereja sendiri. Karena tantangan yang amat besar ini barangkali rumusan Arah Dasar KAJ 2022-2026 ini menyematkan kata “berjuang” yang sulit untuk dibuat parameternya.
Diskrepansi antara das Sein dan das Sollen perlu diukur sebelumnya, untuk tidak pada akhirnya menjadi rumusan saja. Namun kalau itu sudah menjadi pilihan –- atas dorongan Roh Kudus — memang harus dilaksanakan apapun konsekuensi yang harus ditanggung oleh umat KAJ, karena Gereja harus hadir di tengah keprihatinan dan harapan masyarakat dimana gereja berada.
Dalam konteks platform ASG sebagai the way of proceeding, perbuatan atau aksi nyata lebih diperlukan daripada kata-kata. Rumusan “semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi”, barangkali lebih pas kalau dirumuskan dengan “semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin beraksi”, meskipun bersaksi bisa berarti kata dan tindakan.
Berasal dari Dalam
Beberapa waktu sebelum Yesus mulai mewartakan penderitaaNya, Ia bertanya kepada murid-muridNya: “Kata orang siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia, dan ada pula yang mengatakan Yeremia, atau salah satu dari para nabi”.
Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”. Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!”. Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus, sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan BapaKu yang di sorga” (Mat. 16:13-17).
Menarik untuk mengikuti struktur narasi Injil sinoptik, di mana pertanyaan yang sangat personal dari Yesus kepada para murid-Nya itu disampaikan sebelum pewartaan penderitan-Nya.
Dapat ditafsirkan bahwa apabila ingin mengikuti Yesus sampai kepada penderitaan-Nya, seseorang terlebih dahulu harus benar-benar mengenal siapakah Yesus itu menurut dia secara pribadi. Harus ada pemahaman dan relasi yang sangat personal dan dekat dengan Yesus sendiri. Relasi pribadi dengan Yesus inilah yang akan memancar keluar dan terbawa dalam hubungannya dengan seluruh ciptaan.
Perjuangan umat Gereja Katolik KAJ untuk semakin mengasihi, semakin peduli dan semakin bersaksi demi cinta pada Tanah Air dengan melaksanakan nilai-nilai ASG dalam setiap sendiri kehidupan, perlu atau harus berawal dari dinamika cinta personal dengan Yesus sendiri.
Raphael Udik Yunianto
HIDUP, Edisi No. 52, Tahun ke-75, Minggu, 26 Desember 2021