TAHUN ini YOUCAT Indonesia memasuki usia ke-6 tahun dan telah menyelenggarakan berbagai macam program. Salah satunya Training for Trainers (TFT). Program yang diadakan pertama kali di tahun 2018 ini merupakan program pelatihan pendampingan orang muda menggunakan YOUCAT bagi para pendamping Remaja Katolik (REKAT) dan Orang Muda Katolik (OMK).
TFT menawarkan metode “Know, Share, Meet, Express” dan pendampingan orang muda yang kreatif dan menarik. TFT juga berbagi variasi pengajaran melalui permainan, aktivitas, atau bahkan lagu. Sehingga program ini baik diikuti pendamping atau orang muda yang punya passion mendampingi dan menggerakkan orang muda.
TFT pertama diadakan di Surabaya. Acara ini diikuti 38 peserta dari sembilan keuskupan dan 15 paroki di Keuskupan Surabaya. Salah satu yang pernah mengikutinya adalah Yohanes Pemandi Effendy dari Kesukupan Agung Palembang (Kapal). Kelahiran Palembang 1975 ini akrab disapa Pyndhi.
Membantu OMK
Sebelumnya Pyndhi sudah mendengar istilah YOUCAT pada tahun 2015. Ketika itu seorang senior di Komisi Kepemudaan Kapal mendapatkan buku YOUCAT. Menurut Pyndhi saat itu memang kesulitan untuk setiap OMK memiliki bukunya. Jadi mereka mengakali dengan menuliskan ulang dan mengimplementasikan ke dalam permainan. “Di Palembang, kami sedang gencar sosialisasi YOUCAT. Beberapa kali saya dilibatkan. Nah, dari situ, Komisi mengutus saya berangkat,” jelasnya. Pyndhi pun berangkat ke Surabaya berbekal undangan dari YOUCAT Indonesia untuk bergabung di TFT pertama selama tiga hari dua malam.
Di TFT, Pyndhi jadi mengenal para penggiat YOUCAT dan para pendamping OMK dan sekolah minggu dari berbagai keuskupan. Rasa syukurnya pun diungkapkan ketika dihubungi melalui daring, Rabu,1/12/2021. Ia sangat senang dapat berbagi pengalaman dengan peserta lainnya. Tidak hanya itu, selama mengikuti TFT, ia juga mengenal metode khas YOUCAT.
“Saya baru pertama kali mendengar keempat hal itu ketika mengikuti TFT dan begitu saya pulang, saya terapkan di Kapal. Dalam kelompok kecil, saya memberikan suatu tema untuk dibahas. Setelah itu sharing dan membuat quotes atau kutipan dari kesimpulan. Kemudian dapat diposting di media sosial,” terang Pyndhi.
Menurutnya, metode ini sangat membantu. Orang muda lebih suka dianggap sebagai objek. “Dengan mengajak sharing, membuat mereka berani berbicara. Harapannya dengan kelompok kecil, masing-masing mengungkapkan. Dengan konsep sharing, mereka lebih senang dan mereka lebih senang berelasi dengan pendamping sebagai sahabat bukan sebagai guru dan murid. Kosep ini membantu orang muda zaman now,” ungkap umat Paroki St. Yoseph, Palembang ini.
Dirinya tidak terjun langsung sebagai katekis, namun ia berkarya di dunia bermain. Kebanyakan orang muda Kapal bisanya lebih antusias ketika bermain. Sehingga Pyndhi dan tim sedemikian rupa mengolah bahan yang ada menjadi sebuah permainan. Games yang sudah sering dimainkan ada ranking pertama, kuartet YOUCAT (disebut juga Kuartet Katekese) dan domino YOUCAT (dipopulerkan oleh Komisi Kateketik). Selain itu masih ada beberapa yang masih uji coba.
Ada baiknya jika TFT ini berkelanjutan. Bagi Pyndhi, nantinya tidak hanya Komkep yang bisa mengikuti. Sekretaris II Komkep Kapal ini juga berharap YOUCAT menjadi lebih hidup dan dikenal banyak kalangan.
Berbeda
TFT kembali diselenggarakan pada tahun 2019 di Surabaya. TFT kedua ini diikuti 22 peserta dari dua keuskupan dan 12 paroki di Keuskupan Surabaya. Kali ini Yoseph Stenly Agung Jemparut, sering disapa Stenly, turut menuturkan pengalamannya di TFT.
Ia mendapatkan perncerahan selama TFT khususnya dalam pendampingan orang muda. “Program ini berbeda dari pelatihan sebelumnya. Biasanya duduk dengar ceramah, tapi TFT, lebih banyak praktiknya. Jadi ada konsep dan nanti kami diminta membuat animasinya. Contoh, ada yang buat lagu, kartun dan sebagainya,” terangnya.
Ketua PMKRI 2016-2017 ini juga mendapatkan evaluasi mengenai pendampingan untuk orang muda. “Rata-rata generasi saya (dewasa) semua, jadi cara-cara penyampaiannya masih cara yang kuno, ternyata kurang update dengan gaya yang sekarang. Setidaknya perlu ada games. Ya, harus lebih kreatif dalam pewartaan. Setelah TFT saya mengubah pendekatan pendampingan orang muda. Lebih mengajak mereka mengeksplorasi diri. Misalnya, kami ajak bersepeda bersama, jalan-jalan, lalu setelah itu sharing pengalaman iman,” ungkap kelahiran Ruteng 1993 ini.
Selain YOUCAT, Stenly bersyukur dengan kehadiran buku DOCAT (Kumpulan Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang ditulis dengan gaya bahasa anak muda). Baginya, tantangan dan teman-temanya di dunia aktivis Katolik muda, diminta untuk membaca ASG secara penuh. Kehadiran DOCAT tahun 2016 menyuguhkan ASG dalam bahasa yang menjadi lebih dipahami oleh terutama kalangan muda. Menurut Stenly, program ini belum masif di ranah paroki-paroki.
Menurut Stenly, TFT ini belum begitu masif di Keuskupannya. “Di paroki saya memberi pengajaran untuk katekumen masih dalam bentuk presentasi. Ini salah satu yang bisa dieksplor lagi oleh YOUCAT Indonesia di Surabaya. Semoga nanti bisa kolaborasi dengan PMKRI, khususnya ASG,” tutur umat Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Labuan Bajo ini.
Mengenal Imannya
YOUCAT Indonesia tetap mengepakan sayapanya di tengah masa pandemi Covid-19. Tahun 2020 menginisiasi Online Study Group, yang terdiri dari 12 kelompok. Angkatan pertama ini menyelesaikan level 1 tahun 2021, kemudian melanjutkan ke level 2. Mulai membuka program Study Group untuk angkatan kedua untuk level 1. Berdasarkan buku Study Guide 1, Study Group YOUCAT merupakan salah satu program dari YOUCAT Indonesia yang menggunakan metode “Know, Share, Meet, Express” untuk mengundang orang muda mengenal dan memahami iman mereka.
Dengan mengenal imannya, harapannya mereka mencintai imannya. Sehingga ketika sudah mencintai, mereka bisa membagikan iman dengan mewartakannya melalui perjumpaan, menghadirkan iman yang hidup dan menghidupi iman yang nyata dalam masyarakat.
Olivio Leoartha, akrab disapa Vio, awalnya hanya iseng bergabung di Study Group. Ketika itu Vio sedang menunggu pengumuman masuk SMA. Bosan, enggak ada kegiatan lainnya. Rasanya tepat ketika YOUCAT Indonesia menyelenggarakan Study Group. Vio memutuskan bergabung. “Aku enjoy walaupun paling muda sendiri. Kakak-kakak lebih banyak yang usia kuliah dan pekerja. Tapi aku merasa enggak ada perbedaan. Ketika dinamika grup, apa yang aku rasain di sekoalah, mereka juga mengalaminya di tempat kerja. Bahasa Jawanya, sama-sama sambat,” ungkapnya sambal terkekeh ketika dihubungi secara daring.
Bagi kelahiran Bojonegoro 2004 ini, pengalaman sangat mengasyikan ketika menjadi fasilitator di Study Group angkatan pertama. Mereka bersenda gurau hingga malam kemudian ditutup dengan Doa Adorasi bersama.
Vio pun mengalami perubahan dalam dirinya. Awalnya, ia cukup cuek terhadap pengetahuan keimanannya. Sejak duduk di bangku TK, ia masuk ke sekolah negeri. Sudah menjadi sebuah kebiasaan di rumah, orangtuanya menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri.
Ia pun kerab mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari beberapa teman. Pengalaman itu dihadapinya sampai akhirnya ia bergabung dengan Remaja Katolik (REKAT). Pengetahuan keimanan yang ia dapat berpatok pada REKAT. “Study Group menyadarkan dirinya bahwa aku belum sepenuhnya tahu tentang keimananku. Perlahan aku mulai paham apa yang aku yakini. Dari situ, ketika aku menjalani dinamika sebagai murid Katolik di sekolah negeri, aku menjadi pribadi yang kuat,” tegasnya.
Vio mengenal YOUCAT sejak SMP. Saat itu pembina REKATnya adalah jebolan TFT Angkatan Pertama. Warna kover buku yang cerah membuatnya jatuh hati. “Juga dari kata pengantarnya. Aku kebetulan sudah baca sampai akhir sebanyak empat kali waktu itu karena aku harus ikut cerdas cermat YOUCAT. Namun ada satu hal uyang menarik juga. Aku baru tahu peran OMK. OMK sangat berperan dalam perkembangan Gereja. Paus Benedictus XVI mengatakan: jangan jadikan hal ini sebagai alasan untuk lari dari wajah Allah. Kami sendirilah Tubuh Kristus. Aku mulai sadar orang muda sungguh memiliki peran. Hal ini menjadikan aku enggak ada alasan buat enggak kenal Tuhan. Jadi bukan orang dewasa saja yang mengurusi Gereja, OMK pun harus terlibat,” tutur umat Paroki Santa Maria, Jombang, Jawa Timur ini.
Vio turut berharap agar YOUCAT Indonesia semakin aktif membuat program dan event, misal suatu hari nantu bisa digagas YOUCAT Day dan mengundang umat di stasi dan paroki.
Menjangkau Semua Daerah
Sejak 2003 Sesilia Wahyu Redjeki, akrab dipanggil Wahyuni, menjalani karyanya sebagai katekis. Di rumah, ia sebagai ibu rumah tangga yang mengajar les privat untuk murid SMP–SMA. “Praktis selalu berelasi dengan para remaja. Kebetulan sejak tahun 2002 saya pelayanan sebagai pembimbing komunitas OMK dan REKA,” ungkapnya.
Sebagai katekis, bagi Wahyuni bukan tugas yang gampang. Menurutnya, banyak orang yang menjadi Katolik hanya formalitas. Mereka tidak mengerti arti menjadi seorang Katolik. Sehingga seorang katekis harus mengerti sungguh bagaimana pengetahuan iman Katolik itu.
Awalnya Wahyuni sudah menjadi katekis untuk umat yang berusia kuliah ke atas. Namun karena keterbatasan sumber daya manusia, ia dipindahkan oleh pastor paroki ke bagian anak-anak dan remaja.
Tahun 2017 ia bertemu dengan seseorang suster yang memberikan YOUCAT. Ia senang sekali bisa menemukan buku YOUCAT: Katekismus Populer yang bahasanya sederhana dan tidak setebal KGK.
Wahyuni ingin ikut TFT namun sayang karena berbeda kota, kesempatan itu belum ada. Pintu lain terbuka, ia mendapatkan kesempatan bergabung di Study Group. “Saya bergabung di grup pembina OMK. Nah, waktu sharing kendala yang kami rasakan sama yakni bagaimana mengajarkan iman Katolik kepada kaum remaja. Kami belajar mulai dari dasar. Sekarang sudah tahun kedua,” tutur umat Paroki St. Mikael Bandung, Jawa Barat ini.
Baginya metode YOUCAT adalah metode yang terstruktur. Baik jika bisa diimplementasikan dalam kelompok kecil. Kegalauan Wahyuni sirna ketika YOUCAT for Kids terbit di tahun 2020 karena mengajar katekumen untuk anak–anak mesti disesuaikan lagi.
“Saya cukup bersyukur dengan adanya pandemi ini. Gerakan YOUCAT bisa menjangkau seluruh kota. Saya jadi punya teman dari luar kota di Study Group.
Semakin lebih luas dalam berkatekese dan sharing iman, pengalaman menjadi lebih luas. Enggak hanya di Surabaya saja,” pungkas kelahiran Bandung, Oktober 1974 ini.
Karina Chrisyantia/Felicia Permata Hanggu
HIDUP, Edisi No. 50, Tahun ke-75, Minggu, 12 Desembert 2021