HIDUPKATOLIK.COM – BERBICARA tentang waktu, kita tidak asing lagi dengan pernyataan, “Loh, kok kayak cepet yah?”, ketika sudah berada di penghujung tahun. Persis dengan apa yang saya alami ketika menuliskan refleksi ini. Duduk diam menatap secarik kertas bertuliskan tanggal, bulan, dan tahun membuat saya menggelengkan kepala dan menggumam, “Kok 2021 udah mau beres lagi yah. Perasaan baru kemarin tahun baruan di Novisiat, sekarang udah mau akhir tahun lagi.” Yup! Waktu memang terasa sangat cepat.
Tapi, kita tidak mungkin mengatakan bahwa waktu di tahun ini berjalan lebih cepat daripada tahun sebelumnya. Waktu tahun ini dan sebelumnya masih sama, tidak ada yang berubah. Satu hari sama dengan dua puluh empat jam, satu jam sama dengan enam puluh menit, dan satu menit sama dengan enam puluh detik. Yang berubah di sini bukan waktunya, melainkan perasaan kita yang berjalan dalam waktu itu. Maka, di sini saya menekankan kata “terasa”.
Kita mungkin pernah mengalami peristiwa, saat waktu terasa sangat cepat ketika sedang asik-asiknya melakukan atau mengerjakan sesuatu. Atau sebaliknya, waktu terasa sangat lambat ketika kita tidak menikmati apa yang kita lakukan atau kerjakan. Maksud saya, waktu yang terasa cepat atau lambat itu seolah bergantung pada perasaan kita. Selain itu, waktu juga terasa sangat cepat ketika kita sudah melewatinya. Semuanya jadi terkesan relatif. Akan tetapi, ada satu hal dari waktu yang bisa dipastikan dan tidak akan berubah sampai kapanpun, yakni gerak waktu itu sendiri.
Waktu terus berjalan. Detik menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi minggu, dan seterusnya. Ia sedikit pun tidak pernah menoleh ke belakang. Ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya, termasuk kita. Saya lantas bertanya apa saja yang sudah saya lakukan selama ini, khususnya di tahun 2021. Apakah hari-hari saya penuh dengan makna dan berguna bagi sesama, atau justru sebaliknya, merana dan tak berdaya meratapi kenyataan hidup yang biasa-biasa saja. Maka dalam kesempatan ini saya ingin melihat kembali perjalanan hidup saya selama setahun dan mencoba menuliskannya dalam sebuah refleksi yang singkat.
Tahun Baru yang Tidak Biasa
Riuh bunyi trompet dan gemerlap kembang api memenuhi mewarnai cakrawala malam hari yang semula gelap dan sepi. Suara sorak-sorai ribuan manusia menggema di seluruh penjuru kota, menyambut datangnya tahun baru yang senantiasa dinantikan. Betul-betul ramai dan penuh sukacita. Namun sayang, semua itu hanyalah imajinasi yang menari-nari di dalam pikiran saya. Ya, hanya sebatas imajinasi yang tidak bisa terealisasi saat ini.
Sudah setahun lebih pandemi melanda dunia. Karenanya, tahun baru kali ini terasa tidak biasa. Sepi dan sunyi. Seperti kota mati yang ditinggalkan beberapa tahun lamanya. Atmosfer tahun baru sama sekali tidak terasa. Tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Akan tetapi, saya sempat bertanya-tanya dan merenungkan, apakah dengan tidak adanya hiruk pikuk dan hingar bingar tahun baru (normal), saya kemudian tidak bersukacita dan bersemangat? Saya kira tidak seperti itu. Semangat tidak berasal dari yang luaran, sekalipun yang luaran terkadang dapat memicu semangat. Semangat dan sukacita itu berasal dari dalam. Ini hanya perkara bagaimana saya memaknai sebuah peristiwa yang saya alami.
Karena itu, saya mencoba memaknai tahun baru yang tidak biasa itu dengan cara yang lebih positif. Saya bisa memulainya dengan rasa syukur atas kesehatan yang diberikan oleh Tuhan, kesempatan untuk tetap bergembira bersama saudara satu komunitas sekalipun tidak megah dan meriah di tengah situasi pandemi, dan yang terpenting adalah rahmat panggilan yang senantiasa mengalir dalam hidup saya. Hal yang saya sadari dari fenomena ini adalah pada dasarnya hidup tidak akan selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Semua orang tahu itu. Namun, perkara mencari makna dari peristiwa yang tidak diinginkan merupakan sebuah perkara yang lain. Di sini saya justru diajak untuk melihat karya Allah yang tersembunyi di dalamnya. Faktanya (setidaknya menurut saya), di balik sebuah bencana atau peristiwa yang tidak diinginkan, saya masih menemukan banyak hal yang patut disyukuri, yang kemudian mungkin juga dapat menjadi sumber sukacita tersendiri.
Tidak Mudah, tapi Tak Masalah
Dalam menjalani hidup, saya terbiasa bersikap realistis terhadap realitas yang saya alami. Saya ingin jujur terhadap diri saya sendiri dan alam semesta yang menjadi saksi atas perjalanan hidup saya, bahwasanya menjalani hidup ini tidaklah mudah. Orang-orang mungkin berkata bahwa mudah dan sulit itu relatif. Tapi, sekurang-kurangnya saya mengakui bahwa selama kurang lebih satu tahun terakhir ini saya menghadapi banyak tantangan yang tidak mudah. Tantangan itu entah berasal dari dalam, seperti kekeringan rohani dan demotivasi hidup, atau dari luar, seperti tugas, tuntutan, dan tanggung jawab.
Kendati demikian, saya tetap berusaha menghadapinya dan melihat semua itu sebagai cara Allah dalam rangka mendidik saya. Apalagi jika mengingat identitas saya sebagai seorang biarawan Krosier yang memiliki semangat In Cruce Salus, kesulitan hidup harus saya lihat sebagai jalan menuju “keselamatan” dan sukacita. Lagi dan lagi, mempraktikan itu semua memang tidak semudah menuliskannya di atas secarik kertas seperti sekarang ini. Dibutuhkan spiritual quotient (SQ) yang tinggi untuk mencapai itu semua.
Untuk meningkatkan SQ, saya harus meningkatkan kesadaran dalam hidup dan terus berefleksi. Dengan begitu, saya harusnya mampu mengatakan, “Tidak mudah, namun tak apa”. Maksudnya, dengan menyadari hidup dan terus berfleksi, saya bisa menemukan makna dan nilai yang berharga dalam sebuah permasalahan. Ketika menghadapi permasalahan, saya tidak lagi mengeluh dan menyerah, melainkan bersyukurdan bersukacita Bahkan lebih jauh lagi, saya bisa menemukan Allah di balik semua itu. Hingga akhirnya, permasalahan dalam hidup tidak lagi dipandang sebagai permasalahan, melainkan latihan untuk terus berkembang dan maju ke arah yang lebih baik lagi.
Saya rasa permasalahan dalam hiduplah yang pada akhirnya mendewasakan saya sebagai manusia. Lagipula, Jika tanpa masalah hidup ini akan terasa ‘garing’. Tidak ada tantangan dan akan cepat bosan. Seperti halnya bermain gim. Gim yang terlalu mudah akan membuat saya cepat bosan. Sebaliknya, jika tingkat kesulitannya semakin tinggi, saya semakin tertantang untuk memainkannya dan menaklukannya. Semoga prinsip seperti itu benar-benar dapat saya terapkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Semoga permenungan ini memberikan kekuatan baru bagi saya dan bagi siapapun yang membacanya agar tetap semangat menjalani hidup sekalipun menghadapi banyak cobaan. Semoga, semoga, dan semoga di tahun yang akan datang saya semakin berkembang dan maju ke arah yang lebih baik lagi, serta mampu menjadi seorang pribadi yang tahan banting dan tangguh terhadap tantangan zaman.
In Cruce Salus
Fr. Fransisxus Surya Tirta Lesmana, OSC, tinggal di Biara Skolastikat OSC, Bandung