HIDUPKATOLIK.COM – DI tengah hiruk pikuk ucapan selamat, saya sejenak menarik diri untuk merenungkan perayaan Natal dan Betlehem. Pertanyaan mendasar saya adalah;
“Mengapa harus Betlehem yang menjadi tempat kelahiran Yesus.”
Atas pertanyaan ini tentu kita akan dengan mudah menjawab bahwa tempat itu memang sudah dikehendaki oleh Allah sendiri sebagaimana warta malaikat kepada para gembala; “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Yesus Kristus Tuhan di kota Daud.” (Luk 2:11). Dalam konteks ini kota Daud menunjuk pada kota Betlehem. Atau ada jawaban lain bahwa Yesus lahir di Betlehem sebagai penggenap dari Nubuat Nabi Mikha (Mik 5:1).
Namun hal yang menarik saya adalah; lahir di kandang, di tengah para gembala bersama hewan gembalaannya. Dari sini saya kemudian merefleksikan kelahiran Yesus di Betlehem adalah dialog kehidupan terutama dialog keutuhan ciptaan. Dalam refleksi; saya mengistilahkan kelahiran Yesus sebagai inkulturasi kehidupan, inkulturasi keutuhan ciptaan.
Natal yang adalah peristiwa kelahiran Yesus Kristus; “Emanuel”-Allah beserta kita adalah peristiwa inkarnasi Allah yang menjadi Manusia (Yoh 1:1-18). Allah menjadi sungguh Manusia kecuali dalam hal dosa adalah untuk berdialog, bersatu dengan situasi kehidupan manusia termasuk kebudayaan dan segala hal yang memberikan kehidupan bagi manusia dan ciptaan lain.
Natal adalah momentum dimana Yesus menegaskan tindakan inkulturatif-Nya dengan memperlihatkan kepada kita semua bahwa Yesus adalah Manusia yang berbudaya, Manusia yang menjaga dan merawat kehidupan ciptaan lainnya termasuk tanah dengan segala isinya. Yesus dengan kelahiran-Nya di Betlehem mempertegas betapa bernilainya tanah yang menjadi penegasan dari mana kita berasal dan juga kehidupan manusia dan ciptaan lainnya di masa depan. Maka Natal sejatinya adalah momentum awal Yesus memperjuangkan keutuhan ciptaan.
Sejenak kita kembali pada Perjanjian Lama di mana Perigi (Sumur) Betlehem menjadi penyelamat bagi Daud yang saat itu sedang dikepung oleh pasukan Filistin. “Sekiranya ada orang yang memberi aku minum air dari perigi Betlehem yang ada dekat pintu gerbang!” (2Sam 23:15). Meskipun kemudian Daud tidak meminumnya, namun ada satu sikap spiritual yang ditunjukan oleh Daud adalah dengan mempersembahkan air itu sebagai korban curahan (2Sam 23:16).
Air menjadi korban curahan Daud bagi Allah menunjukan bahwa Air adalah sumber kehidupan dari sang Pencipta. Air tidak hanya untuk diminum namun juga sangat dibutuhkan untuk persembahan, penyucian diri dan perayaan iman terutama dalam Sakramen Baptis.
Refleksi penting yang bisa diambil dari sini adalah bahwa kelahiran Yesus di Betlehem adalah untuk menjaga dan merawat air yang menjadi sumber kehidupan umat manusia dalam hal ini para gembala dan hewan gembalaan mereka. Dan dari persitiwa awal “inkulturasi” Yesus di Betlehem, Yesus kemudian menerangi pemaknaan air sebagai sumber kehidupan dengan menyebut Diri-Nya sebagai Air Sumber Kehidupan;
“Barangsiapa haus baiklah ia datang kepada-Ku” (Yoh 7:37-39).
Dari sini akhirnya kita bisa melihat makna penting kelahiran Yesus di Betlhem yaitu sebagai Air Sumber Hidup bagi semesta. Perigi (Sumur) Betlehem tidak hanya mengalami “perubahan” dalam diri Yesus Kristus namun dirawat dan djaga karena menjadi sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk ciptaan lainnya di Betlehem.
Betlehem sendiri berarti “rumah roti” semakin memiliki makna dengan kelahiran Yesus di sana, di tengah para gembala bersama hewan gembalaan mereka. Kelahiran Yesus mempertegas pentingnya “roti” yang adalah rumput bagi kehidupan hewan gembalaan para gembala. Betlehem adalah “rumah roti” tentunya berhubungan dengan makanan dan kehidupan. Rumput menjadi roti kehidupan bagi hewan gembalaan dan itu semakin dipertegas dengan kelahiran-Nya di kandang.
Kandang adalah tempat hewan gembalaan kembali masuk ke dalam rumah mereka tidak hanya untuk beristirahat tetapi untuk menikmati kehidupan. Kandang hanya memiliki makna ketika ada kehidupan dimana ada makanan secukupnya dalam hal ini “rumput” yang menjadi makanan bagi kehidupan mereka.
Betlehem yang adalah “rumah roti” mengalami peristiwa Inkulturasi dari kelahiran Yesus dimana Yesus sendiri menjadi Roti Hidup (Yoh 6:35) bagi semua ciptaan. Yesus menjadi Roti Hidup menjadi simbol perjuangan mempertahankan dan merawat keutuhan ciptaan. Yesus menjadi Roti Hidup dialami dan dirasakan oleh para gembala bersama hewan gembalaan mereka melalui rumput yang hijau dan bertumbuh subur.
Artinya kehidupan manusia, tanah dan ciptaan lainnya yang harus dipertahankan. Merusak semesta dan tanah Betlhem sama dengan merusak dan membunuh kehidupan. Ini menjadi sebuah inspirasi sekaligus spiritualitas pembelaan keutuhan ciptaan dimana Sang Roti Hidup memilih untuk lahir di Betlehem: “di rumah roti” dalam kerangka misi penyelamatan keutuhan ciptaan.
Mempertahankan dan merawat “rumput” yang adalah roti hidup bagi hewan gembalaan berarti juga mempertahankan kehidupan para gembala yang tentunya dari hewan gembalaan mereka bisa memperoleh kehidupan keluarga termasuk masa depan anak cucu mereka. Rumput yang subur memberikan kehidupan bagi hewan gembalaan dan hewan gembalaan memberikan kehidupan bagi para gembala.
Karena itu kelahiran Yesus ditengah para gembala sejatinya menjadi sebuah dukungan bagi mereka untuk bersama merawat tanah dan semesta Betlehem dari kehancuran dan kepunahan. Tanah memiliki peranan penting bagi tumbuh suburnya rumput dan mengalirkan air untuk kehidupan hewan gembalaan dan para gembala. Dari peristiwa kelahiran Yesus ditengah para gembala, para gembala pun mendapatkan peristiwa inkulturasi Yesus, dimana Yesus menyebut Diri-Nya sebagai Gembala Baik (Yoh 10:14) yang mengantar kita pada rumput yang hijau dan air yang tenang dan jernih (Mzm 23:2), pada “rumah roti”-Roti Kehidupan untuk mengalami sukacita dan kegembiraan bersama.
Natal dan Betlehem adalah dialog keutuhan ciptaan dari Allah yang menjadi seorang Manusia dan juga menjadi spirit perjuangan merawat ibu bumi: tanah, air dan hutan (rumput) sehingga Ia yang adalah Air Sumber Kehidupan, Roti Hidup dan Gembala Baik sungguh dialami oleh kita semua dalam satu rumah (kandang) kehidupan yaitu Keutuhan Ciptaan (Betlehem) melalui tangan-tangan peduli kita sebagai “gembala” di dunia ini.
Natal yang adalah kelahiran Yesus di Betlehem sejatinya adalah dialog dan kelahiran dunia baru dalam perjuangan dan usaha merawat keutuhan ciptaan. Merusak keutuhan ciptaan, sama dengan membunuh awal kehidupan di Betlehem, termasuk sama dengan menghancurkan Betlehem yang adalah “rumah roti”, rumah kehidupan bagi manuisa dan ciptaan lainnya. “Emanuel”-Allah beserta kita nampak dari penyertaan dan usaha mempertahankan keutuhan ciptaan dari setiap usaha pengrusakan, karena di dalam keutuhan ciptaan itu (Betlehem) Yesus lahir-Allah yang menjadi Manusia.
Pater Kopong Tuan, MSF (Manila)