HIDUPKATOLIK.COM -NATAL adalah sebuah perayaan sukacita. Di seluruh penjuru dunia, dalam keunikan tradisi dan kultur setiap bangsa, dalam kondisi sosial ekonomi yang berbeda, setiap tahunnya, umat Kristiani pastinya akan mengangkat perayaan Natal sebagai momen yang selalu menancapkan kesan mendalam.
Sosok Sinterklass, tukar menukar hadiah, perjamuan makan bersama keluarga, semuanya itu hanyalah sebagian kecil dari aksesoris perayaan Natal. Sebenarnya, masih banyak ekspresi Natal di berbagai kultur yang tidak sempat terekspos media.
Terlepas dari tradisi perayaan Natal yang akan selalu berkembang dari generasi ke generasi, kita perlu menyadari, dua milenia yang lalu, Natal sesungguhnya adalah peristiwa kelahiran seorang Anawim, yaitu Yesus, di tengah kaum Anawim lainnya.
Kaum Anawim
Dalam Perjanjian Lama, kaum Anawim mengacu pada kelompok orang yang ‘miskin’ dalam berbagai segi. Anawim yang dalam bahasa Ibrani berarti ‘mereka yang ditundukkan,’ selalu dihubungkan dengan kaum yang terpinggirkan, rentan ditindas secara sosial maupun ekonomi, dan sering diperlakukan tidak adil. Penindasan dan ketidakadilan memposisikan mereka sebagai kasta rendah dalam tatanan masyarakat zaman itu.
Meski demikian, mereka memiliki keutamaan yang unggul, yaitu mampu berpasrah kepada Allah dan mudah menerima segala peristiwa yang terjadi, entah baik atau buruk. Mereka adalah gambaran nyata orang yang miskin dalam roh, pelayan yang sejati dan rendah hati, dan hamba yang mempercayakan sepenuhnya kepada Tuhan.
Karena sudah kenyang dengan penderitaan dan ketidakadilan, kaum Anawim lebih memiliki hati yang peka dan berbelas kasih terhadap sesama. Kepekaan hati itu pula lah yang membuat mereka mampu merasakan kebaikan dan karya Tuhan yang agung dalam peristiwa yang sederhana.
Penginjil Lukas mengisahkan kelahiran Yesus sebagai peristiwa penting bagi kaum Anawim. Pertama-tama, karena semua yang terlibat dan menyaksikan kelahiran itu, adalah kaum Anawim.
Maria sendiri termasuk Anawim. Ia mau menerima perannya dalam rencana keselamatan Allah dengan segala resikonya sebagai ibu Yesus (Luk.1:38). Ketika mengumandangkan madah Magnificat (kidung para Anawim), ia mengakui, Allah telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadanya meskipun ia adalah orang yang rendah (Luk. 1:49).
Seperti Maria, Yusuf juga seorang Anawim. Penginjil Matius menggambarkan Yusuf sebagai orang yang setia, terbuka dan jujur ketika menanggapi karya penyelamatan Allah dalam diri Yesus. Ia diminta untuk mempercayakan seluruh apa yang terjadi di masa depan ke dalam tangan Allah. Sebagai Anawim, Yusuf memasrahkan diri pada penyelenggaraan ilahi.
Para gembala adalah kaum Anawim yang harus disebut dalam peristiwa kelahiran Yesus. Dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi pada zaman itu, gembala adalah kaum terpinggirkan dari kaum terpinggirkan.
Kemiskinan dan ketidakpastian selalu membelit hidup mereka setiap hari. Hidup mereka tergantung dari upah penggembalaan yang tidak menentu. Ketika sebagian besar penduduk Israel pada waktu itu mengalami ketakutan, kemarahan, ketidakpastian, keterbatasan, dan keputusasaan di bawah penjajahan kekaisaran Romawi, hidup para gembala ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Menariknya, justru Allah melalui para malaikat-Nya mewartakan kabar sukacita kelahiran Yesus pertama-tama kepada mereka. Mengapa Allah tidak memberitahukan kelahiran Sang Juru Selamat kepada seorang gubernur Romawi atau Raja di Yehuda, dan dari situ mereka mengumumkan kepada seluruh rakyat? Bukankah lebih efektif dan efisien? Mengapa para gembala? Ada apa dengan Allah?
Sukacita Anawim
Santo Paulus pernah berkata, “Apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1 Kor. 1:28). Kiranya, ini adalah salah satu petunjuk alkitabiah untuk menjawab pertanyaan di atas. Cara berpikir Allah berbeda dengan cara berpikir manusia.
Bukan tanpa maksud, Allah telah memilih para gembala sebagai saksi pertama atas kelahiran Juru Selamat. Mungkin saja, mereka menjadi pilihan pertama Allah karena merekalah yang paling membutuhkan sukacita yang penuh pengharapan. Atau, karena mereka mempunyai kepekaan yang tinggi sehingga mampu mengimani bahwa dalam diri bayi Yesus yang rapuh dan lemah, terpancar sumber pengharapan dan pembebasan mereka. Atau, mungkin karena Allah menginginkan Yesus lahir dalam kondisi kaum Anawim. Bagaimana persisnya, tak seorang pun tahu.
Namun, yang jelas, sama seperti Maria dan Yusuf, Yesus lahir sebagai seorang Anawim juga. Dalam refleksinya, Santo Paulus mengatakan, Yesus Kristus mengosongkan dirinya dengan melepaskan status kesetaraan dengan Allah untuk menjadi seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:6-7).
Jelas, Yesus lahir dalam dunia kaum Anawim. Tanpa kuasa dan kekayaan apapun. Tanpa perayaan meriah. Hanya ada keheningan di sebuah tempat yang sebenarnya tidak layak untuk melahirkan seorang bayi. Terbaring di atas palungan, tempat makanan ternak. Di sini, Natal adalah momen Putera Allah menjadi satu dengan orang miskin dengan menjadi sungguh-sungguh miskin, seperti para gembala yang mengunjunginya.
Dengan lahirnya Sang Putera dalam kemiskinan, Allah kiranya ingin mewartakan kabar sukacita, bahwa Dia akan selalu ingat dan tidak pernah akan meninggalkan mereka yang kerap tidak diingat dan diperhitungkan oleh mereka yang berkuasa, yaitu orang miskin dan terpinggirkan, kaum Anawim.
Anawim Adalah Kita?
Perayaan Natal tahun ini tampaknya tidak akan jauh berbeda dengan tahun lalu. Pandemi Covid-19 masih menghantui kita. Mutasi virus yang tidak tahu kapan berhentinya, hanya membangkitkan kecemasan, ketakutan dan ketidakpastian.
Meski demikian, sebagian besar sudah mulai bangkit dari kelelahan psikis dan kesulitan ekonomi karena dampak buruk pandemi. Hampir semuanya telah menjadi ‘kaum anawim’ karena penindasan dari pandemi ini, penjajah tak terlihat yang telah menaklukkan dan mematahkan semangat orang. Meski begitu, selalu ada sisi positif dari sebuah kenyataan pahit. Salah satunya dapat dilacak dari perayaan Natal ini.
Dengan merayakan Natal dalam suasana yang jauh lebih sederhana, kita sebenarnya sedang dianugerahi kesempatan (kairos) untuk menyatukan diri dengan suasana perayaan Natal yang dihadiri kaum Anawim di Betlehem dua milenia yang lalu. Mereka merayakan kelahiran Sang Putera dalam kemiskinan dan penderitaan hidup. Ada sisi yang menarik di sini.
Dalam kondisi tersebut, mereka toh mampu menemukan semangat, sukacita dan harapan baru, hanya dengan menyaksikan kelahiran seorang bayi. Meski hidup dalam penderitaan, mereka tidak terjebak dalam keputusasaan yang berlarut-larut. Mengapa bisa seperti itu? Sebab mereka percaya, Allah tetap menyertai mereka. Allah adalah harta karun abadi bagi seorang Anawim.
Perayaan Natal bukan sekadar mengenang kembali kelahiran Sang Putera. Perayaan ini juga dapat menjadi momen untuk membangkitkan kembali spirit Anawim dalam diri kita. Sebagaimana Yesus yang lahir sebagai Anawim, kita pun perlu melahirkan spirit Anawim tersebut: berani memasrahkan diri kepada Allah, mampu menemukan sukacita sekecil apapun dalam penderitaan hidup dan peka akan kasih dan perhatian-Nya yang terselip dalam peristiwa hidup yang sangat sederhana.
Paus Leo I pernah berkata demikian: “Penyelamat kita telah lahir hari ini: marilah kita bersukacita. Karena tidak ada tempat bagi kesedihan ketika kita merayakan hari kelahiran Sang Hidup, yang menghancurkan ketakutan akan kematian dan membawa kita pada sukacita abadi yang dijanjikan. Tak seorang pun dilarang untuk berbagi kebahagiaan ini.”
Akhirnya, Natal adalah momen sukacita, terutama bagi kaum Anawim, kita semua, yang dalam hidup berani mempercayakan semuanya kepada Allah.
“Jelas, Yesus lahir dalam dunia kaum Anawim. Tanpa kuasa dan kekayaan apapun. Tanpa perayaan meriah. Hanya ada keheningan di sebuah tempat yang sebenarnya tidak layak untuk melahirkan seorang bayi.”
Romo Albertus Purnomo, OFM, Ketua Lembaga Biblika Indonesia
HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Desember 2021