HIDUPKATOLK.COM – DENGAN kaki telanjang, pakaian yang jauh sekali dari kemewahan, keluarga Mahuze menyambut kedatangan patung Kanak-kanak Yesus di rumah, tepatnya di sebuah “gamav aha”. Gamav aha adalah sebuah bangunan kecil yang sengaja dibangun di samping atau di halaman rumah Suku Marind, di Wendu, Merauke, Papua. Di dalam gamav aha ini telah disediakan ‘altar’ kecil, tempat meletakkan patung yang diarak dari rumah ke rumah, dan untuk seterusnya diantar ke gereja paroki. Tak hanya di rumah Mahuze. Di rumah-rumah yang lain, jika tak punya gamav aha, di wilayah paroki ini juga hal yang sama terjadi. Dalam kesederhanaan, kesahajaan, ketakberdayaan, mereka menyambut ‘kedatangan’ Sang Juru Selamat yang disimbolkan dalam rupa patung kanak-kanak.
Peristiwa yang secara tradisional dirayakan di Wendu ini mengingatkan kita pada kedatangan Malaikat Tuhan kepada para gembala di Betlehem. Malaikat yang mengabarkan berita sukacita, Sang Juru Selamat telah lahir. Kepada kaum terpinggirkan (kaum anawim) ini, Allah membawa kabar sukacita dan keselamatan tersebut.
Peristiwa Natal adalah perayaan Allah yang menjadi manusia (Immanuel) kita. Allah yang tinggal di antara orang-orang atau kaum yang tersisih dari yang tersisih, terpinggirkan dari yang terpinggirkan karena pelbagai problematika dunia yang melilit dan membelenggu.
Maka perayaan atau momen Natal selalu mengajak setiap orang (kita) yang merayakannya untuk melihat diri kita sendiri. Sejauh manakah telah menunjukkan kedatangan Tuhan itu dalam diri kita melalui perhatian atau bela rasa terhadap orang-orang yang terpinggirkan itu?
Dua tahun terakhir kita dibelenggu oleh pandemi Covid-19. Dampaknya amat dirasakan, terutama orang-orang yang menjadi korban pemutusan atau kehilangan pekerjaan atau persoalan ekonomi yang menyertainya kemudian. Bagaimana kita menunjukkan solidaritas terhadap orang-orang tersebut? Dan, baru saja erupsi Gunung Semeru menambah daftar panjang korban-korban bencana alam yang terjadi sepanjang tahu 2021 ini di tengah pemulihan kita dari pandemi ini. Bagaimana kita mengungkapkan sikap keberpihakan kita kepada mereka?
Tentu saja kita juga termasuk bilangan dari kaum anawim itu. Siapalah kita di hadapan Allah. Sebutir debu pun tidak sampai. Namun Allah juga begitu mencintai kita sehingga Ia mengirim Putera-Nya untuk menyelamatkan kita. Di Natal ini, kita kembali diingatkan akan keberadaan kita di hadapan Allah. Agar kita semakin layak di mata-Nya, kita pun dipanggil untuk menunjukkan kerinduan akan kedatangan Tuhan, menerima kabar sukacita sebagaimana diperlihatkan para gembala di Betlehem.
Sekali lagi, semangat bela rasa merupakan frase yang paling tepat menggambarkan bagaimana kita menyambut dan merayakan Natal ini. Kendati kita masih diliputi oleh ketakutan karena pandemi Covid-19, kita dipanggil dan diutus untuk ikut mewatakan kabar baik, kabar sukacita kepada setiap orang yang kita jumpai. Caranya? Tentu saja sesuai dengan kemampuan dan keberadaan kita masing-masing. Seperti umat di Wendu, saat mereka menerima patung Kanak-kanak Yesus, sesaat berikutnya, mereka pun ‘mengarak’nya dengan sukacita.
HIDUP, Edisi No. 51, Tahun ke-75, Minggu, 19 Desember 2021