HIDUPKATOLIK.COM – Mari kita sedikit berimajinasi melalui Injil Lukas.
Enam bulan setelah mengabarkan kepada Zakharia, bahwa Elizabet, istrinya, akan melahirkan anak laki-laki, kini malaikat Gabriel mengunjungi rumah Maria di Nazaret, Galilea, sekitar 104 Km Utara Jerusalem. Kepada Maria, ia langsung mengatakan: “Salam, engkau yang telah diubah menjadi karunia. Tuhan menyertaimu … engkau beroleh anugerah di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung di dalam perutmu (Yun. gastér), dan akan melahirkan seorang anak laki-laki. Hendaknya engkau menamai Dia, Jesus” (lih. Luk. 1: 28-31).
Tentu Maria terkejut. Memang, sesuai adat Yahudi, dalam usia 14 tahun, gadis Nazaret itu telah menjalani kiddushin, atau pengudusan (mirip ‘sakramen’), yaitu tahap pertama pernikahan Yahudi, bersama dengan Yusuf, mempelainya. Melalui kiddushin, keduanya telah disahkan sebagai suami-istri, dan menjadi ‘harta suci Kenisah’, yang tidak terceraikan. Hanya satu hal yang belum diperbolehkan, yaitu berhubungan badan. Sebab, tujuan kiddushin adalah menjadi semacam masa membangun relasi antar-rohani suami-istri. Aspek fisiknya baru bisa diwujudkan saat sudah menjalani nisu’in, tahap kedua pernikahan Yahudi, di mana ada pesta untuk menghantar kedua mempelai tinggal serumah. Tradisi menghendaki, dalam pernikahan, aspek rohani kiddushin harus dimatangkan lebih dahulu, agar bisa mendasari aspek fisik nisu’in.
Maka, dalam imajinasi, dialog berikutnya antara Maria dengan malaikat Gabriel, kira-kira begini. Kata Maria: “Malaikat Gabriel, bagaimana caranya aku hamil dan melahirkan anak? Aku memang sudah sah menjadi istri Yusuf melalui kiddushin, tetapi belum menjalani nisu’in, hidup serumah dengan suamiku?” (lih. Luk. 1:34-35).
“Roh Kudus dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungimu”, jawab malaikat. “Dan, Anak yang kaulahirkan itu akan disebut kudus, Putra Allah”, tambahnya.
Di sini, jawaban Gabriel menunjukkan bahwa warna kekudusan kiddushin—menjadi ‘harta kudus Kenisah’–, merupakan kerangka berita kehamilan Maria.
***
Keistimewaan kekudusan kehamilan Maria ini juga dilihat oleh Elisabet, saat ia menerima kedatangan Maria, sepupunya, di perbukitan Ein Kerem, sekitar 8 km arah Barat Yerusalem.
Memang, setelah malaikat Gabriel memberi tahu usia kandungan Elisabet, Maria bersama Yusuf—setelah mendapat peneguhan dari malaikat (lih. Mat. 1: 18-25), dan mungkin lalu mempercepat proses nisu’in–, bergegas berangkat ke Ein Kerem, yang jaraknya sekitar 144 km dari Nazaret. Kurang lebih, lima sampai enam hari, pasutri itu berjalan melewati perbukitan (lih. Luk. 1:39); demi keamanan, pasti mereka bergabung dengan sebuah rombongan.
Saat Maria tiba di Ein Kerem dan memberi salam kepada sepupunya, segera saja “anak dalam rahim (Yun. koilia) Elisabet melonjak. Dan, penuh dengan Roh Kudus, Elisabet berseru: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan, dan diberkatilah buah rahimmu (Yun. koilia). Siapakah aku ini, sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku” (lih. Luk. 1:41-43).
Sukacita Elisabet itu ditanggapi oleh Maria dengan Kidung Magnificat, di mana ia mengimani bahwa kandungannya adalah wujud “perbuatan-perbuatan besar penyelamatan dari Allah bagi manusia untuk selama-lamanya” (lih. Luk. 1:46-55).
Tiga bulan Maria dan Yusuf tinggal di Ein Karem sampai kelahiran anak Elisabet (lih. Luk. 1:56). Tatkala pulang ke Nazaret, mereka berjalan kaki lagi sejauh 144 km. Saat itu, usia kandungan Maria hampir empat bulan. Nanti, menjelang bulan kehamilannya yang kesembilan (lih. Luk. 2:6), Maria dan Yusuf harus kembali berjalan kaki lagi sejauh 129 km dari Nazaret ke Bethlehem selama sepekan, guna mematuhi perintah sensus Kaisar Agustus (lih. Luk. 2:1-5). Dalam imajinasi, total selama sembilan bulan kehamilannya, Maria (bersama Yusuf) telah berjalan sejauh 417 km, atau setara jarak Jakarta ke Kebumen, Jawa Tengah, lewat Puncak, Bandung, dan Purwokerto.
“Gastér dan Koilia”
Penginjil Lukas memakai dua ungkapan Yunani: gastér (lih. Luk. 1: 31) dan koilia (lih. Luk. 1: 42; 2:21), untuk menunjuk ‘kandungan’ Maria.
Ungkapan pertama, gastér artinya adalah perut. Dalam PB, delapan dari sembilan kali pemakaian kata itu, dipakai untuk menunjuk ‘kandungan perempuan’. Nuansa sebuah keinginan ada dalam kata itu. (Maka, gastronomi dimaknai sebagai seni makanan yang benar dan enak sesuai keinginan perut). Maka, di sini, melalui warta malaikat Gabriel: “engkau akan mengandung di dalam perutmu, ‘gastér’ (lih. Luk. 1:31), Lukas mau menekankan supremasi keinginan dan kehendak Allah dalam pribadi Maria. Kandungan Maria berasal dan terjadi atas kuasa Roh Kudus dan naungan Allah, bukan karya manusia. Ketika Maria menjawab: “Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”, maka ia menyetujui rencana Ilahi. Ia bahkan menempatkan dirinya sebagai ‘hamba Tuhan’ model Yes. 49:3, yaitu ”hamba Tuhan, yang olehnya, keagungan Allah dinyatakan” (lih. juga Yes. 50:4.10; 52: 13). Madah Magnificat, ‘jiwaku memuliakan Tuhan’, menjadi ungkapan keyakinannya atas anugerah iman bahwa dirinya ‘telah diubah menjadi karunia atau berkat oleh Allah’, seperti diwartakan oleh malaikat Gabriel (lih. Luk. 1:28).
Lalu, ungkapan kedua, koilia (lih. Luk. 1:42; 2:21), yang dalam 22 kali penampilan di PB, 13 di antaranya menunjuk ‘kandungan’, mengacu pada bagian bawah tubuh manusia, di mana terdapat liang (Yun. koilos), tempat janin hidup dan mendapat makanan. Bagi Lukas, dengan menyebut kandungan Bunda Maria sebagai koilia, ditunjukkan bagaimana aspek tempat menjadi yang utama. Ini mirip dengan nuansa yang terdapat dalam ungkapan Ibrani, rechem, ‘kandungan’ dalam PL, yang menunjuk pada tempat gerak Ilahi, khususnya gerak ‘mencinta yang dalam’ (Ibr. ‘racham‘) dari Allah. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer. 1: 5; bdk. Mzm 22:10; 71:6; 110;3, dan Ayb. 38:8). Rechem juga dipakai untuk menunjukkan gerak perlindungan, pertolongan, atau bela-rasa (compassion) Allah kepada kaum perempuan (lih. Kej. 20:18; 29: 31; 30:22, dan 1 Sam. 1:5.6).
Melalui ungkapan koilia (atau rechem) untuk kandungan Bunda Maria, Lukas menunjukkan, awal karya keselamatan dan kerahiman Allah pada manusia dimulai saat “salam Gabriel”, dan saat Maria mengatakan “Fiat voluntas tua” (Lih. Bulla Misericordiae Vultus/MV 11 April 2015, art. 3). Di sinilah credo, “Ia (Yesus Kristus) dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, dan menjadi manusia”, dari Syahadat Nicea-Konstantinopel (325 dan 381), memiliki maknanya yang terdalam. Maria mengandung Bayi Yesus sebagai awal sebuah perbuatan kasih (racham) Ilahi, yang turun ke Bumi dalam dunia kemanusiaan dan ciptaan Allah melalui rahim (rechem) seorang perempuan, yaitu Bunda Maria.
Dalam sejarah kekristenan, makna ‘Bunda Maria yang Mengandung’ itu diwartakan sendiri oleh Santa Perawan Maria melalui penampakannya kepada St. Juan Diego (1474-1548), seorang Indian Meksiko, pada masa Adven, 9, 10, dan 12 Desember 1531, di Bukit Tepayec, pinggiran Kota Meksiko. Dalam penampakan itu, pada pinggang Bunda Maria ada ikatan pita hitam (lih. Gambar), yang dalam tradisi busana perempuan Indian Aztec adalah tanda bahwa ia sedang mengandung, ‘está encinta’ (Spanyol)!
Kepada Uskup Meksiko, Mgr. Juan de Zumárraga y Arrazola (1468–1548), seorang Fransiskan, Juan mengatakan dalam bahasa daerahnya, Nahuatl, bahwa nama Bunda itu adalah “Tlecuatlecupe,” artinya ‘orang yang meremukkan kepada ular’. Ini mengingatkan pada kata-kata Yahwe kepada ular pada Kej. 3:15: “keturunan perempuan itu akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya”. Ular juga menjadi lambang utama agama Aztec, yang punya ritus mengorbankan manusia, terutama anak-anak, kepada dewa Huitzilopochtli, ‘pencinta jantung dan peminum darah’ di altar piramid tinggi mereka.
Sangat jelas, pesan dari penampakan ‘Bunda Maria yang Mengandung’ itu, ditujukan bagi penjajah Spanyol di Meksiko, serta juga untuk melawan tradisi pengorbanan manusia dari Suku Aztec. Penampakan ‘Bunda Maria yang Mengandung’ di Guadalupe memang akhirnya mendorong Kaisar Spanyol, Charles V (1500-1558), pada Agustus 1530 mengeluarkan dekrit larangan perbudakan terhadap suku Indian baik saat perang maupun saat damai. Pada 1537, Paus Paulus III (1468-1549) memperkuat dekrit tersebut dengan mengutuk dan melarang memperbudak orang-orang Indian Amerika.
***
Melalui salam dari malaikat Gabriel, Allah telah mengubah Maria menjadi sebuah karunia Ilahi untuk menyelamatkan manusia dengan melahirkan Putra Allah. Dengan memakai ungkapan gastér untuk rahim atau kandungan Maria, ditunjukkan asal usul dari Bayi yang dikandungnya. Dia berasal dan terjadi atas kuasa Roh Kudus dan naungan Allah. Di sinilah sikap Maria sebagai hamba Tuhan memiliki maknanya. Maria menjadi hamba yang berpartisipasi dalam penyelamatan manusia. Dari sini, kemudian muncul gagasan Bunda Maria sebagai co-redemptrix (penebus-bersama), yang ditanggapi dengan sangat hati-hati pada Kongres Internasional Mariologi di Czestochowa, Polandia, 18-23 Agustus 1996.
Kemudian melalui ungkapan koilia untuk kandungan Bunda Maria, diperlihatkan bahwa rahimnya menjadi perwujudan gerak kasih Ilahi, khususnya kerahiman-Nya kepada mereka yang terpuruk dan berdosa.
“Pandanglah ‘Bunda Maria yang Mengandung’ sebagai Tabut Perjanjian, di mana Kristus Sang Penyelamat secara konkret hadir dalam rahimnya”, kata Maurizio Calvesi (1927-2020), kritikus seni dan sejarahwan Italia. Benar juga.
H. Witdarmono, M.A.Rel. Stud. Khatolieke Universiteit te Leuven, Belgia
HIDUP, Edisi No. 50, Tahun ke-75, Minggu, 12 Desember 2021
Apakah maria mengandung yesus selama 9 bulan dan perutnya membesar ?
Apakah perut membesar karena mengandung yesus lalu melahirkan tetap perawan ?
Kalau tetap perawan lalu yesus lahr melalui apa ?
Kalau maria tetap perawan selamanya lalu status pernikahan dengan yusuf itu apa ?