HIDUPKATOLIK.COM – KAU duduk mencangkung di ruang tunggu Rumah Sakit Umum Pusat Tangshan, China. Meski tampak lengang, tatapanmu tertancap pada pemandangan yang terpampang di luar jendela. Bulir-bulir salju tiada henti menghambur, menyelimuti pekarangan. Semua tampak putih dan beku.
Sesekali kau rada berkelejat, membendung nyeri yang menggerogoti tulang punggungmu. Setiap musim dingin tiba, penderitaanmu bertimbun. Terlebih, waktu tak terkendali menebas daya tahan tubuhmu hingga ringkih dan renta. Alhasil, kau terpaksa bolak-balik ke rumah sakit.
“Entah sampai kapan aku begini,” gugatmu tatkala batinmu amat penat.
Antrean pasien masih berkelok. Kesabaranmu tak henti diuji. Sesekali, seberkas seringai menghiasi wajahmu yang mulai menggelambir lantaran usia. Berulang kali kau menghela napas dalam. Dingin di luar sana masih sanggup menembus tulang kendati kau telah mengenakan pakaian berlapis.
Kau lega sewaktu giliranmu mendekat. Hingga akhirnya, tiba juga saatnya kau menjalani pengobatan dengan short wave diathermy. Deep heating itu mampu menerobos jaringan tubuh hingga kedalaman lima centimeter. Setiap musim dingin, kau pasti melakukannya; setidaknya sepuluh kali. Bisa 20 kali bahkan 25 kali dalam rentang waktu singkat. Hal itu telah kau lakoni sedari belia.
“Bagaimana Pak Cheng? Kumat lagi?” sapa petugas fisioterapi dengan suara renyah.
“Iya… langganan paling setia,” balasmu dibarengi sesabit senyum kecut.
Sekitar setengah jam kau tengkurap di sebuah ranjang sementara bagian tubuhmu yang bermasalah diterapi. Sejurus berselang, rasa hangat menjalar di punggungmu, memangkas nyeri.
Pada masa senja, kau tetap setia meniti pematang hidupmu yang muram dan kelabu. Toh, rasa syukur menyelinap di hatimu karena Dinas Sosial masih menyalurkan dana untuk menopang hidupmu. Kau selalu berupaya untuk tidak nelangsa.
***
Tahun 1975.
Kau tengah gigih mendaki puncak kehidupan. Kau telah menyimpul temali asmara dengan Siu Lie, dara pujaan yang sepadan di sisimu. Demi tiang nafkah rumah tangga yang baru dibangun, kau boyong Siu Lie dari Shanghai ke Tangshan.
Tangshan adalah sebuah kota pesisir di bagian timur Provinsi Hebei, dekat Beijing. Pertumbuhan ekonomi melesat di situ. Kota industri itu menyuguhkan masa depan yang cemerlang. “Perusahaan batubara tempatku bekerja sangat berkembang,” ujarmu meyakinkan Siu Lie. Istrimu melepas senyum mendengar kata-kata yang menjanjikan itu. Ucapanmu itu menghampar nyata. Perolehanmu tak sekadar memadai sementara Siu Lie pandai menyumbat pengeluaran. Alhasil, kau bisa segera memiliki kediaman sendiri
“Aku ingin punya rumah yang menyenangkan,” ungkapmu kepada Siu Lie.
“Itu tugasku untuk membuat rumah kita nyaman,” janji Siu Lie.
Kebahagiaanmu lengkap tatkala Siu Lie mengandung. Sembilan bulan berselang, lahirlah Lie Tiong Gie, putra dambaanmu.
“Gie mirip aku,” serumu dalam luapan bahagia seraya terus memandangi paras buah hatimu.
“Dia penerusmu, kelak,” balas Siu Lie dengan mata bercahaya.
Selasa malam –27 Juli 1976– menjelang pergantian hari, Gie rewel. Buaian hangat dibarengi dendang merdu sang ibu tak kuasa memungkasi rengekannya. Hingga akhirnya, bayi yang baru bisa merangkak itu terlelap dalam dekapanmu. “Dia kelelahan. Seperti ada sesuatu yang menggelisahkannya,” ujarmu seraya mengelus-elus kepala Gie.
Dini hari mulai merayap tatkala kau dan Siu Lie baru saja terbenam dalam tidur yang gelisah. Alkisah, pada pukul 03.42 waktu Tangshan, sebuah kilatan cahaya putih yang menyilaukan terlihat di cakrawala. Lantas, sekitar satu jam kemudian, bumi berguncang dahsyat diiringi gemuruh yang mencekam selama 23 detik. Gempa berkekuatan 7,8 skala richter seketika menghancurkan kota Tangshan. Enam belas jam berselang, terjadi gempa susulan yang serupa dahsyatnya dengan sebelumnya, sekitar 14 detik. Bencana itu diyakini sebagai gempa bumi terbesar pada abad ke-20. Korban tewas mencapai 242.476 orang dan sekitar 164.000 orang terluka parah.
Sesungguhnya sebelum bencana itu terjadi, alam telah mengirimkan sederet pertanda. Sayangnya, warga kota Tangshan cenderung mengabaikan kejanggalan itu. Semisal, permukaan air sumur di Tangshan naik turun berkali-kali dalam sehari, lalu ada gas yang menyembur dari sumber air di permukiman. Tikus-tikus berlarian pada siang bolong, ikan-ikan di akuarium pun berlompatan. “Beberapa hari sebelum gempa, cuaca sangat panas,” kenangmu dengan tatapan menerawang.
Perilaku manusia pun terimbas. Malam sebelum gempa, ada pertunjukan layar tancap tidak jauh dari rumahmu. Anehnya, amarah orang-orang yang menonton mudah tersulut pada saat itu. Berulang kali film dihentikan gara-gara gesekan emosi penonton.
Gempa menyebabkan kawasan di sekitar episentrum hancur lebur. Aliran listrik sontak terputus sehingga upaya penyelamatan korban berlangsung sangat sulit dan terkesan lamban. Begitu banyak korban terkubur oleh reruntuhan bangunan. “Mirip dampak bom sewaktu Perang Dunia II,” simpulmu.
Segala rencanamu serta mimpi-mimpi indahmu tentang esok seketika luruh. Kau kehilangan Siu Lie dan Tiong Gie. Demikianlah, prahara keji itu meluluhlantakkan kehidupan begitu banyak insan di Tangshan.
***
Selama berbulan-bulan tubuhmu terpasak di tempat tidur rumah sakit akibat kiamat sesaat di Tangshan. Tulang punggungmu remuk akibat tertimpa reruntuhan tembok. Aktivitasmu langsung terkunci. Hidupmu tergantung pada uluran kasih orang lain. Namun, tiada yang sanggup memasung benakmu. Ia mengembara tak tentu arah. Tak jarang pikiranmu tersesat dalam labirin emosi.
Setiap hari kau menanti keajaiban datang. Siu Lie dan Tiong Gie kerap menghampiri dalam mimpi-mimpimu. Namun, hingga empat dasawarsa terlintasi, tak kunjung ada kabar baik tentang mereka. “Semoga mereka masih hidup,” desismu di antara kecamuk harapan yang tak berkesudahan.
Tak terhitung kali kau harus menjalani operasi dan pengobatan. Yang paling menyakitkan, kau harus menjalaninya dalam cengkeraman sepi. Tiada lagi sosok Siu Lie yang menggenjot semangatmu. Tiada lagi celoteh Tiong Gie yang menyulut sukacitamu.
“Tetap bersemangat ya, Pak Cheng!” kata dokter mengingatkan. Tetapi, bagaimana kau sanggup mengumpulkan puing-puing semangat yang berserakan tatkala penyulutnya tiada? Nyatanya, seiring waktu bergulir, semangatmu tak pernah lagi berpijar sebagaimana ketika Siu Lie dan Tiong Gie mewarnai keseharianmu.
Kini, 45 tahun telah berlalu…
Pengalaman mengerikan itu masih melekat di dinding kepalamu. Trauma terlanjur menghunjamkan jejaknya. Belum lagi rasa sakit masih semena-mena mendera punggungmu. Sementara waktu terus menyeretmu menuju lorong senja. Tiada pilihan lain bagimu, kecuali bertahan di Tangshan.
Kau kerap termangu membayangkan pengujung hayatmu.
“Aku tidak tahu sampai kapan begini…,” tuturmu seraya menghembuskan napas panjang berulang. Kau terus meniti jalan terjal penderitaan yang tak kunjung berujung.
Pagi itu, semesta mengusung suasana cerah. Musim panas kembali menebar kehangatan.
“Aku ingin berjemur,” ujarmu. Entah mengapa, gelisah tak kejuntrungan menyesahmu pada pagi itu. Sejurus berselang, kau telah berhimpun dengan orang-orang yang tengah bersimbah peluh di sebuah lapangan terbuka. Tiba-tiba, matamu menatap tiada berkedip. Dahimu mengernyit, mengundang sebaris kerut sewaktu seorang pria setengah baya mendekatimu. Sejenak kau tertegun memergoki wajahmu yang seakan terpantul pada paras pria berpostur tegap itu.
“Tiong Gie?” sapamu dengan suara selirih bisik.
Mendadak tubuhmu bergetar, lantas kau ambruk…
Oleh Maria Etty
HIDUP, Edisi No. 49, Tahun ke-75, Minggu, 5 Desember 2021