HIDUPKATOLIK.COM – Sebenarnya direncanakan Paus Fransiskus sendiri akan hadir dalam konferensi tentang perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia, yang berlangsung 1 hingga 13 November 2021. Akan tetapi, akhirnya Kardinal Pietro Parolin, sekretaris negara Vatikan, yang memimpin delegasi Vatikan. Delegasi Vatikan sendiri cukup besar, melibatkan beberapa kelompok Gereja yang punya kepedulian soal situasi perubahan iklim. Maka media Vatikan mengatakan, Vatikan ada di mana-mana, sebab selain terlibat di ruang sidang resmi, delegasi Vatikan juga ikut serta bersama kelompok-kelompok yang ikut berdemonstrasi di jalanan dan memberikan lobby serta tekanan dari luar siang resmi.
Paus Fransiskus sendiri memberikan suara dan tekanannya sebelum dan selama konferensi itu berlangsung. Pada tanggal 29 September 2021, Paus memberi pesan kepada kelompok kaum muda Youth4climate yang sedang berkumpul di Milan, Italia. Di dalamnya dia memberi tekanan bahwa solusi tehnis dan politis belaka tidaklah cukup tanpa kesadaran tanggungjawab dari masing-masing, proses pendidikan serta model pembangunan yang berpusat pada persaudaraan akan rumah bersama ini, juga kesatuan harmonis dengan lingkungan. Sebelumnya Fransiskus juga memberi pesan yang sama kepada parlemen Eropa, hak akan lingkungan yang sehat saat ini adalah pula hak asasi manusia yang paling mendasar. Karenanya semua diminta untuk memikirkan nasib seluruh bumi, bukan sekedar kepentingan, terutama ekonomi dan politik, sesaat dan kawasan belaka.
Konferensi Iklim bagi Paus
Paus Fransiskus memandang penting dan mendesak pertemuan di Glasgow tersebut. Pada tanggal 9 Oktober 2021 di depan para anggota parlemen yang berkumpul dalam kerangka persiapan konferensi iklim di Glasgow, Fransiskus. Paus menantang para politisi agar bekerja demi kepentingan umum, membuahkan kebijaksanaan bagi kesejahteraan bersama, terlebih bagi kehidupan generasi mendatang. Di situlah komitmen akan pelestariaan lingkungan serta pendidikan bagi kesadaran ekologis dibutuhkan. Memang hati dan kebiasaan perlu berubah kalau kita bicara soal keprihatinan akan lingkungan.
Di awal Oktober Paus Fransiskus berkumpul di Roma bersama para pemuka semua agama, sejumlah 40 orang, berbicara terutama tentang krisis iklim. Dalam pertemuan tersebut dikeluarkanlah dokumen “Sacred People Sacred Earth”. Mereka mengakui adanya krisis nilai, etika dan spiritual yang menyertai krisis lingkungan saat ini. Tidak mengherankanlah kalau Paus menegaskan perlunya agama-keyakinan semakin hadir sebagai pembawa harapan bagi kehidupan dan masa depan bumi. Harapan itu adalah harapan kasih, dan kasih senantiasa inklusif, terlebih terhadap mereka yang miskin. Untuk itu perlu didorong pola hidup yang tidak sekedar untuk memiliki. Solidaritas dan tanggungjawab itulah kata kunci untuk itu. Pandemi ini bagi para pemuka agama semakin menumbuhkan kesadaran akan kerapuhan bumi ini dan keretakan sosial, antara lain sebagai dampak eksploitasi bumi. Krisis adalah saatnya untuk mengayunkan langkah bersama membangun dunia yang lebih baik, menumbuhkan budaya pemeliharaan akan rumah bersama kita.
Di sela-sela pertemuan G20, Fransiskus pun membicarakan persoalan tersebut dalam pembicaraan dengan Presiden Biden dari AS, Perdana Mentri Modi dari India dan Presiden Moon dari Korea Selatan. Paus tidak menutupi kecemasannya bahwa pertemuan di Glasgow tidak sanggup membuahkan hasil yang berarti. Waktunya sudah mendesak, maka kepada para pemimpin bangsa-bangsa perlu sungguh diingatkan akan komitmen akan masa depan bumi dan dunia kehidupan ini. Faktor ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa pelestarian lingkungan merupakan salah satu prioritas penting dari masa kepausan Fransiskus, karena juga selalu disinggung dalam ekshortasi maupun ensikliknya, terutama Laudato Si dan Querida Amazonia. Malahan ketika berbicara tentang panggilan kesucian, Gaudete et Exsultate, dia menyinggung pula krisis lingkungan sebagai tantangan maupun panggilan kesucian manusia.
Tanggal 29 Oktober 2021 Paus memberi pesan lewat radio BBC program “Thought for the Day”. Di dalamnya Paus mengatakan bahwa perubahan iklim dan Covid-19 telah menyingkapkan kerapuhan kita serta keraguan akan sistem ekonomi yang berlangsung serta cara kita menata masyarakat. Kita sedang mengalami krisis, demikian tandasnya. Maka dia mendesakkan adanya langkah efektif bagi krisis ekologi dan masa depan dunia. Hal itu hanya mungkin dengan kerjasama semua pihak. Tampaknya dia mencemaskan masih kuatnya tarik-menarik kepentingan sempit, sehingga bisa mementahkan upaya dan langkah bagi pemeliharaan dunia kehidupan.
Dalam sambutan dalam konferensi iklim yang dibacakan oleh Kardinal Pietro Parolin, Paus Fransiskus mengingatkan para pemimpin untuk memikirkan dunia yang akan diwariskan kepada anak-cucu. Tidak ada alternatif. Satu-satunya langkah ada menaati kesepakatan Paris tentang iklim, dan baginya sekarang inilah saat untuk bertindak. Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dalam kesempatan itu Paus juga mengingatkan akan hutang ekologis yang kita wariskan kepada generasi mendatang, akibat cara hidup kita yang kurang tepat, merusak lingkungan, menaikan tingkat polusi serta panas bumi.
Tanggal 9 November Paus menulis surat kepada umat Katolik Skotlandia, negara penyelenggara konferensi tersebut. Dalam surat tersebut selain minta maaf tidak bisa datang ke Glasgow, dia juga mengingatkan bahwa kegagalan dalam membangun kesepakatan menata dunia lebih baik akan menghadapi hukuman Tuhan, umat manusia gagal menjaga dan mengembangkan bumi ciptaan Allah ini. saat ini adalah saat untuk berani membuat keputusan konkret, waktunya sudah pendek dan tidak bisa ditunda lagi. Tampaknya surat tersebut dikirimkan karena Fransiskus mencermati adanya tanda-tanda kurang beraninya para pemimpin mengambil sikap tegas serta tindakan jelas terkait perubahan iklim.
Tantangan
Pengamat menyebutkan bahwa delegasi terbesar dalam konferensi iklim ini adalah dari para industri bakan bakar fosil. Kenyataan ini sudah menjadi tanda bahwa perundingan akan sangat alot. Kepentingan profit ekonomi menjadi dominan. Negara-negara maju tidak mau melepaskan keenakan yang sudah dinikmati dari hasil perusakan bumi ini. Sementara itu ketidakpedulian akan kaum miskin, yang paling menjadi kurban dari kerusakan alam, tetap diabaikan. Kita masih sulit untuk berubah dan bertindak progresif, solidaritas antar bangsa dan kelompok masih sulit dijalin. Itulah keprihatinan Paus Fransiskus.
Pertobatan ekologis sangat diperlukan. Namun kita masih belum mau berubah, belum berani melangkah maju. Pola hidup konsumtif yang berlebihan dari sebagian kecil warga membuahkan krisis lingkungan, demikian Thomas Insua dari Laudato Si movement dalam konfensi tersebut. Namun karena ini bersangkutan dengan hidup kaum minoritas yang menguasai mayoritas besar kekayaan bumi ini, maka komitmen tidak dibuat. Bila tidak hati-hati segala pertemuan atau janji ekologi hanya akan tinggal sebagai “bla, bla, bla”, demikian ungkap aktivis muda lingkungan Greta Thunberg. Maka betapapun desakan sangat kuat muncul dari luar ruangan sidang, dan mayoritas kaum muda, belum ada langkah besar dari konferensi iklim tersebut. Namun kabar gembiranya, semakin banyak orang muda sadar akan adanya krisis lingkungan dan lantang mendesakkan perubahan.
Bumi ini bukan sekedar planet, namun terlebih ciptaan Allah. Demikian seru Joshtrom Kureethadam, ketua seksi “ecology and creation” dikasteri penegakan pembangunan manusia integral Vatikan. Dalam preferensi sikap seperti itu pilihannya adalah Gereja menyuarakan mereka yang terpinggirkan, tak bersuara dan menjadi kurban dari kerusakan lingkungan. Jeritan bumi adalah pula jeritan kaum miskin, jeritan hati Allah akan ciptaan-Nya.
Di tengah kenyataan bencana banjir, longsor, pembabatan hutan, kerusakan lingkungan dewasa ini kita diajak bersama Gereja untuk semakin menanamkan kepedulian akan lingkungan dan menumbuhkan kesadaran akan adanya krisis ekologi dewasa ini.
Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ
Teolog, Tinggal di Girisonta, Ungaran Semarang, Jawa Tengah
HIDUP, Edisi No. 49, Tahun ke-75, Minggu, 5 Desember 2021