web page hit counter
Senin, 18 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Beato Vincet Eugéne Bossilkov CP (1900-1952) : Darah Martir Uskup Nikopoli

1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “Penguasa bangsa-bangsa lalim boleh membunuh nyawa kita, tetapi mereka tidak akan dapat membunuh iman kita,” ujar Mgr Vincet Eugéne Bossilkov CP suatu hari

TAHUN 1947, Vincent Eugéne Bossilkov ditahbiskan sebagai Uskup Nikopoli, Bulgaria. Ia menggantikan Mgr. Vasco Séirécov (1975-1977). Sejak pengangkatan itu tugas utamanya adalah berada di tengah-tengah umat miskin, para penderita cacat, dan kaum marginal. Salah satu slogan pelayanannya adalah ‘melayani sampai terluka’. Ia hadir di perkampungan-perkampungan kumuh, penjara, panti rehabilitasi kejiwaan untuk menyapa mereka yang menderita. Ia hidup dan melayani mereka dengan gaya pastoral persahabatan.

Keyakinan terbesar Mgr Vincent adalah umat butuh gembala. Ada kerinduan terbesar di hati umat untuk didengarkan. Teriakan-teriakan mereka tak mungkin sampai ke telingah pemerintah yang kala itu berjibaku dirongrong rezim komunis Bulgaria. Harapan mereka hanya kepada Gereja. Umat Katolik yang kerap dikejar-kejar karena iman akan Kristus tak memungkinkan untuk ditinggalkan. Sebagai gembala, Gereja harus hadir sebagai “pahlawan” bagi mereka.

Ia menjadi saksi bisu jeritan hati umat yang terluka. “Apa artinya diriku jika mendengar umatku menderita tanpa gembala? Aku sadar, nyawaku taruhannya. Tetapi aku ingin mati bersama mereka. Karena dengan begitu, hidupku berarti,” ujarnya Mgr Vincent di akhir hidupnya.

Lambang Uskup Mgr Vincent Eugéne Bossilkov CP/www.bossilkov.org

Totalitas Gembala

Partai Komunis Bulgaria (Bâlgarska Komunisticheska Partiya/BKP) menunjukkan taring kekuasaan di Bulgaria tahun 1946-1989. BKP berkuasa saat koalisi Front Tanah Air mengambil alih kekuasaan tahun 1944, akhir Perang Dunia II (1939-1945). Lewat kudeta ini, Tsar Bulgaria hilang jejak. Tak tanggung komunis melebarkan sayap dengan mengendalikan angkata bersenjata Bulgaria. Sang proklamator komunis, Dimitar Blagoev menampilkan Marxis sayap kiri di Bulgaria.

Hal paling mendasar yang dilakukan Komunis Bulgaria adalah memutuskan pasokan kebutuhan dasar manusia. Segala upaya dibuat untuk bisa menghasilkan pangan, sandang, dan papan bagi komunis sendiri. Kebutuhan dasar ini, bagi komunis, bisa memutuskan pengaruh-pengaruh asing bagi Bulgaria. Dan salah satu kekuatan terbesar yang dihadapi komunis adalah Gereja Katolik. Gereja dianggap asing bagi komunis.

Baca Juga:  Misa Gregorian: 30 Hari Tanpa Terputus

Tentu anggapan ini memunculkan konsekwensi lain. Segala bentuk peribadatan di larang, termasuk para imam dan biarawan-biarwati dibubarkan. Banyak biara kosong dan dijadikan gudang pertemuan dan sarana umum bagi komunis. Di akar rumput, umat pun ditangkap dan dibunuh. Sebagian menghabiskan hidup di penjara.

Mgr Vincent melayani umat di saat kebutuhan dasar umat terengut. Kelahiran Belence, Bulgaria, 16 November 1900 ini merasakan begitu banyak penderitaan yang dialami umat. “Apa guna hidup bila tidak makan, tidak memiliki pakaian, dan tidak memiliki tempat tinggal?” tanyanya suatu hari. Ia yakin bila kebutuhan dasar ini terpenuhi, iman mereka semakin dikuatkan-bahkan menghadapi ancaman kematian sekalipun.

Mgr Vincent Eugéne Bossilkov CP /
www.bossilkov.org

Kesadaran ini membuat Mgr Vincent ingin menyerahkan hidupnya kepada umatnya. Keberanian Vincent mempertahankan iman Katolik bertujuan agar benih-benih iman di Nikopoli terus hidup dan berkembang. Ia tak peduli meski nyawa taruhannya. Baginya mati untuk Kristus adalah sebuah kemenangan.

Maka salah satu pastoral yang diwujudukan Mgr Vincent adalah pastoral kehadiran. Ia ingin umatnya merasakan secara nyata kehadiran pelayan-pelayan pastoral. Lebih dari itu, program pendampingan kepada umat juga diseruhkan kepada para imam yang berkarya di Nikopoli. Ia meminta mereka secara intens hadir dan melayani umat.

Rasa-rasanya pastoral yang diusung Mgr Vincent dianggap berlawanan dengan keinginan rezim komunis. Pihak komunis lalu berniat menghabiskan nyawa uskup pribumi ini. Tetapi Mgr Vincent seakan telah siap akan konsekwensi pelayanan. Seberat apapun penderitaan itu, baginya tak lebih berat perjuangan umatnya menahan lapar dan haus karena membela Kristus.

Siap Mati

Suatu saat, ia melakukan perjalanan ke Belanda. Sampai almamaternya Seminari Menengah Pasionis, ia memimpin Ekaristi besama Yacobus Cornelis Stoop  CP, seorang misdinar yang melayaninya (dikemudian hari Pastor Cornelis ditahbiskan imam lalu diutus oleh Kongregasi Pasionis bermisi ke Indonesia). Ia bercerita dalam kotbahnya kala itu bahwa dirinya telah siap menghadapi kematian. Meski konfrater memintaya untuk mengurung niatnya, tetapi Mgr Vincent sudah bulat tekadnya.

Baca Juga:  KWI dan Garuda Indonesia Jalin Kerja Sama "Community Privilege"

“Aku menghargai apa yang saudara kuatirkan. Tetapi apalah artinya diriku, jika mendengar dan melihat umatku menderita tanpa ada orang yang meneguhkan mereka. Aku tahu, jika aku kembali aku pasti dibunuh. Dan aku ingin mati bersama mereka yang aku gembalakan….”

Momen kematian itu datang saat dirinya kembali dari Belanda. Tepat 3 Oktober 1952, ia ditangkap. Dalam penyergapan itu, ia dipaksa melepaskan imannya, tetapi Vincent tak bergeming. Ia bahkan dengan tegas menolak ragam permintaan dan tawaran-tawaran menarik andaikata dirinya menyangkal imannya. Mgr Vincent tahu benar saatnya telah tiba.

Mendengar penangkapan ini, ribuan umat Nikapoli bersedih. Mereka menangisi figur kebapaan, gembala sejati, uskup mereka. Sebagai seorang gembala, ia terus meneguhan mereka dengan berkata, “penguasa bangsa-bangsa lalim boleh membunuh nyawa kita, tetapi mereka tidak akan dapat membunuh iman kita.” Kata-kata ini seakan membuktikan, Vincent telah siap menghadapi maut. Ia adalah gembala yang tak lari dari domba, meski kematian jalannya.

Ia wafat sebagai martir Kristus pada 5 Oktober 1952 dengan cara ditembak mati di Penjara Sophia, Bulgaria. Sayang hingga kini, jazadnya tak ditemukan. Kebengisan rezim komunis hanya meninggalkan kenangan indah akan uskup penyayang ini di hati umat. Tragedi ini menggores luka mendalam di hati umat. Banyak orang percaya, Gereja Bulgaria hingga kini tetap kokoh karena darah martir Mgr Vincent.

Terus Setia

Kesetiaan Vincent sudah terekam sejak kecil. Dalam keluarga, ia dikenal sebagai pribadi yang setia, semangat, dan saleh. Sejak kecil pula ia sudah berkenalan dengan para imam Pasionis. Pada zamannya, Bulgaria masuk dalam wilayah pelayanan Kongregasi Pasionis Propinsi Mater Sanctae Spei Belanda. Kedekatan dengan para Pasionis ini membentuk pribadinya untuk mencintai sesama. Spiritualitas pelayanan kepada orang kecil menjadi modal utama baginya menikmati ragam aturan di seminari.

Baca Juga:  Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat: Menjadi Kumpulan Orang Pilihan

Uskup yang ditahbiskan imam Pasionis 25 Juli 1926 ini selalu menunjukkan kesetiaan kepada tugas dan tanggungjawab yang diberikan. Ia seorang kritis dalam hal hidup rohani. Tetapi dibalik itu, ia seorang yang menentang penggembalaan yang menitikberatkan kekuasaan. Ia tak ingin kekuasaan menjadi alasan memperlakukan orang kecil semena-mena. Hatinya penuh cinta kepada setiap orang yang berharap padanya. Kesederhanaan dan kebapaannya membuat umat Nikapoli tak meragukan cintanya.

Pada 15 Desember 1952, Paus Pius XII dalam Ensiklik “On the Oriental Churches” berbicara tentang berita penganiayaan di Bulgaria. Ia menulis… “Bulgaria, sebuah negara yang sedang diterpa badai kekerasan yang direduksi menjadi kematian iman yang mendalam. Kita berdoa agar semuanya mengalami kebahagiaan abadi…”

Proses beatifikasinya dimulai dengan audiensi Kepala Negara Bulgaria Todor Zhikov dengan Paus Paulus VI pada 27 Juni 1975. Dalam audiensi itu, Todor menyodorkan wacana beatifikasi terhadap para martir Bulgaria. Paus Paulus pun mengapresiasi dukungan pemerintah terhadap beatifikasi itu.

Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan mengakui proses beatifikasinya tahun 1980. Paus Paulus II mengesahkan dektrit kemartiran sekaligus mengumumkan beatifikasi Mgr Vincent pada 1994. Mgr Vincent dibeatifikasi Paus yang sama di Roma 5 Maret 1998. “Kematian bagi banyak orang adalah peristiwa duka, tetapi tidak bagi Gereja Bulgaria. Vincent menjadi pembuka aliran surgawi di Bulgaria,” demikian pesan Paus Yohanes Paulus II.

Fr. Dismas Kwirinus CP/Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles