“RIN, aku besok berangkat untuk urusan kantor. Kamu mau dibawakan oleh-oleh apa?”
“Seperti biasa saja Wan, sekotak bakpia kacang hijau.”
“Lha, kalau itu kan sudah menjadi bawaan wajib. Bagaimana dengan baju kaos nan trendy?”
“Gak deh, kayaknya bakpia saja sudah cukup. Terima kasih Wan!”
Begitulah sepenggal percakapan terakhirku dengan Arini sebelum bertolak ke Kota Yogyakarta. Aku kerap dibuat heran olehnya. Bagaimana tidak, tiap kali aku berdinas barang sehari-dua hari di kota kelahiran Ki Hajar Dewantara ini, permintaannya hanya satu: sekotak bakpia kacang hijau. Agaknya permintaan ini kuranglah elit, apalagi untuk ukuran wanita karier sepertinya. Seharusnya dia meminta oleh-oleh lebih dari sekotak bakpia kacang hijau itu. Misalnya, blouse batik ala Malioboro cocok bila dipadankan pada tubuhnya yang menawan. Ataupun kalung perak dari Kota Gede bisa menambah daya keanggunannya ketika berada di kantor. Soal harga, rasa-rasanya dompetku masih mampu menjangkau barang-barang tersebut. Toh, bakat ‘negosiasiku’ sebagai advokat muda adalah modal utama dalam proses tawar-menawar. Tapi sayang, dia pasti akan menolak semua itu. Hatinya hanya tertuju kepada sekotak bakpia kacang hijau.
***
“Bu, saya beli satu kotak bakpia isi kacang hijau.”
“Waduh, maaf Mas, persediaan bakpia di toko kami sedang kosong. Gethuk lindri dan enting-enting bisa juga lho dibawa ke kampung halaman sebagai oleh-oleh,” jawab pemilik toko dengan nada yang kalem.
“Wah maaf bu. Saya cuma cari bakpia kacang hijau. Mungkin saya akan cari di toko lain.”
“Eh nak…tunggu dulu,” sahut ibu itu dengan sedikit gelagapan. Rasa-rasanya ia tidak mau mengecewakanku sebagai pelanggan. Mungkin ia memegang teguh prinsip “pelanggan adalah raja”. Artinya, kepuasan pelanggan harus dinomorsatukan, sekalipun terkadang permintaan pelanggan tampak neko-neko. Semoga permintaanku ini tidak menyusahkan ibu pemilik toko tersebut.
Setelah menunggu beberapa saat, ibu itu keluar dari sebuah ruangan di sudut toko. Mungkin ruangan itu merupakan gudang penyimpanan persediaan barang dagangan toko tersebut. Dengan langkah terburu-buru, ia menyodorkan sebuah kotak yang terbungkus oleh kresek merah. Ketika kubuka, rupanya isinya adalah persis apa yang tadi kupesan. Kini, sekotak bakpia kacang hijau telah ada di di hadapanku. Namun, aku menerimanya agak sedikit keheranan karena ia tidak memberikan permintaanku sedari awal.
“Sebetulnya ini stok untuk besok. Tapi, karena ini akan diberikan untuk orang spesial, maka ibu keluarkan untuk Nak Wawan bawa pulang.”
Mataku terbelalak seketika. Bagaimana tidak, ibu ini mengetahui dua hal sekaligus. Pertama, ia tahu kalau namaku Wawan. Padahal, kami belum pernah berkenalan sebelumnya. Kedua, ia tahu juga kalau bakpia ini akan kuberikan kepada Arini, orang yang “maha spesial” dalam hatiku. Dengan sedikit lancang, aku memberanikan diri untuk bertanya perihal pengetahuannya itu.
“Ibu tahu dari mana semua itu? Apakah ibu seorang cenayang?” tanyaku polos bak seorang bocah baru melihat anak burung mengepakkan sayap.
“Aduh, Nak Wawan ini berlebihan. Lha wong ibu hanya orang biasa yang memiliki usaha toko kecil-kecilan. Kalau ibu seorang cenayang, mungkin dari dulu sudah menjadi kaya-raya karena bisa meramalkan nasib para artis dan politikus.”
“Tapi, kok ibu tahu nama saya dan peruntukan bakpia ini?”
“Pertama, ibu tahu namamu dari nametag yang berada di atas saku kemejamu. Kedua, ibu tadi melihat kesungguhanmu untuk meminta bakpia kacang hijau. Bola matamu menujukkan ekspresi kecewa karena tidak mendapatkan apa yang kamu cari. Maka, ibu bergegas untuk membawakan sekotak bakpia ini. Mungkin bagi orang lain, tidak kebagian sekotak bakpia hanyalah soal sepele. Tapi, ibu yakin makanan ini memiliki arti yang dalam buat Nak Wawan, yakni pengorbanan cinta untuk orang yang dikasihi. Perjuangkan cinta itu selagi kamu mampu!”
Ketika hendak menyodorkan beberapa lembar uang sebagai bukti sahnya proses transaksi, ibu itu langsung membungkuk sembari mengatupkan kedua tangannya. Kami pun saling melempar senyum, sebelum akhirnya aku beranjak dari toko untuk menyusuri syahdunya malam Kota Yogyakarta. Dengan lega, kutenteng kresek merah ini untuk kupersembahkan kepada orang yang paling kusayangi, Arini. Sungguh, ini sebuah peristiwa keajaiban yang takkan kulupakan.
***
“Bi, apakah Arini ada di rumah?” tanyaku kepada Bi Sutiyem yang mengurusi keperluan rumah keluarga Arini. Memang, rumah ini terlalu besar bila hanya diurus Arini seorang diri. Kebetulan orangtuanya telah ikut bersama kakak Arini yang berada di luar kota. Oleh karenanya, Bi Sutiyem adalah satu-satunya orang yang paling tahu betul kondisi dari Arini. Seringkali Arini mencurahkan perasaan kepadanya bila menghadapi berbagai persoalan. Dari urusan keluarga, pekerjaan, hingga asmara, Bi Sutiyem tahu semua. Bahkan, pertikaian yang membuat hubungan kami sempat renggang, Bi Sutiyem adalah orang pertama yang mengetahuinya.
“Non Arini sedang dirawat di rumah sakit. Kemarin ia jatuh di kamar mandi dan hidungnya mengeluarkan banyak darah.”
“Hah, bagaimana bisa? Arini sakit apa, Bi?” tanyaku dengan sedikit keheranan karena tidak seperti biasanya ia tidak tahu kondisi Arini.
“Maaf den, untuk itu Bibi juga tidak tahu. Yang jelas, Non Arini dirawat di Rumah Sakit Harapan Sentosa, ruangan Aster 5.”
Mendapatkan informasi itu, segeralah kunyalakan mesin sepeda motorku untuk menuju tempat Arini dirawat. Kebetulan aku pernah ke rumah sakit itu untuk melakukan check-up kesehatan. Tidak ketinggalan, bakpia pesanan Arini kubawa sebagai oleh-oleh sekaligus hantaran orang sakit. Semoga makanan ini mampu memberi sedikit penghiburan baginya.
“Wan, akhirnya kamu datang juga,” sapanya dengan nada lirih.
“Kamu sakit apa, Arini?” tanyaku dengan hati tidak tega. Terus terang, tak kuasa aku melihat kondisinya seperti ini. Wajahnya pucat pasi bagaikan mayat hidup. Matanya nanar bagaikan tiada lagi harapan untuk bangkit. Seketika itu juga air mataku meleleh dan membasahi kedua pipiku. Hingga akhirnya, dokter memberikan informasi tentang penyakit Arini kepadaku. Ia divonis leukimia stadium akhir. Celakanya, dokter mengatakan bahwa ia sudah sangat terlambat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Sel kanker telah meliputi hampir seluruh bagian tubuhnya. Tidak terkecuali dengan otaknya. Maka, secara medis Arini hanya mampu bertahan paling lama sekitar 3 bulan lagi. Itu pun kalau dokter dan tim medis bisa memperlambat penyebaran sel kanker yang menggerogoti tubuh Arini yang malang. Tentu, satu-satunya cara yang tepat saat ini adalah memohon keajaiban dari Sang Pemberi Hidup itu sendiri.
“Wan, maafkan aku ya. Untuk hal ini, aku terpaksa tidak jujur mengatakannya kepadamu.”
“Mengapa Rin? Bukankah kamu dan aku sudah saling berjanji untuk tidak pernah menutup-nutupi masalah yang kita hadapi?”
Arini tidak menjawab pertanyaanku. Malahan ia menanyakan bakpia yang ia pesan. Lantas, ia menyuruhku untuk menaruh bakpia itu di atas rak kecil samping ranjangnya. Ia berjanji untuk memakannya pada hari esok.
“Wan, percayakah kamu akan sebuah keajaiban?”
Seketika itu juga aku teringat akan keajaiban di toko oleh-oleh itu. Entah keputusanku rasional atau tidak, yang jelas sejak perjumpaan dengan ibu itu, aku percaya akan adanya keajaiban. Aku mengharapkan bahwa ini bukan kali terakhirku untuk membelikan Arini sekotak bakpia kacang hijau. Toh, bukankah pengharapan adalah cara yang jitu untuk menghantarkan seseorang pada pemenuhan keajaiban? Semoga!
Oleh Frater Gabriel Mario L., OSC