HIDUPKATOLIK.COM – Rasa-perasaan menjadi sesuatu yang umum dalam hidup kita sebagai manusia. Bisa jadi, kita dapat mengalami berbagai perasaan yang berbeda hanya dalam satu hari atau bahkan hanya dalam satu jam saja. Kadang-kadang kita mampu menamai beberapa perasaan yang muncul.
Tetapi, kita justru sering tidak peduli dengan apa yang muncul dalam perasaan kita. Kita abai dan acuh tak acuh dengan perasaan yang muncul silih berganti. Apalagi perasaan yang muncul sudah terburu-buru kita persepsikan secara negatif sehingga dengan mudah kita menolak perasaan tersebut atau segera memendamnya. Perasaan lama-lama dilupakan dan kehilangan nilainya dalam kehidupan kita.
Saya pun juga sering mengalami hal tersebut baik secara tidak sengaja maupun sengaja. Saya menganggap perasaan yang muncul sudah begitu adanya dan tidak perlu untuk diperhatikan. Kehadiran rasa-perasaan akan terus melekat dalam kehidupan dan lama-kelamaan menjadi sesuatu yang wajar. Begitulah rasa-perasaan. Apa yang sebenarnya dekat, menjadi kian menjauh dari kesadaran dan kian dilupakan.
Situasi tersebut semakin subur ketika saya masih menjalani masa-masa SMA berasrama yang mewajibkan siswanya untuk rutin menuliskan jurnal harian. Kewajiban menuliskan jurnal harian di satu sisi memang membenihkan sikap reflektif.
Tetapi, ketika setiap kali saya mendapati hari-hari yang menuntut banyak waktu untuk mengurusi berbagai macam hal, kegiatan menulis jurnal harian justru menjadi beban dan tampak seperti ‘tugas asrama’. Dengan demikian, kegiatan jurnal harian yang sesungguhnya dapat digunakan untuk mengasah kepekaan batin, dikerjakan demi menghindari teguran atau surat peringatan dari pengasuh asrama.
Jurnal yang dikerjakan dengan bayang-bayang kewajiban pada akhirnya hanya berupa tulisan peristiwa kronologis dengan dibubuhi pemaknaan yang dipaksakan di sana-sini. Tentunya, belum tentu tulisan-tulisan tersebut menggambarkan dengan autentik rasa-perasaan dari pengisahan pengalaman yang dituliskan. Bahkan, saya pernah menyebut perasaan ‘bersyukur’ setiap hari dalam satu bulan. Bukankah ini suatu kejanggalan? Padahal dalam hari-hari tersebut, saya justru mengalami gejolak berbagai perasaan karena menghadapi suka-duka dari berbagai momen yang berbeda-beda. Sekali lagi, karena dikerjakan dalam tekanan dan bukan dalam ketulusan dan kesungguhan, perasaan-perasaan autentik yang muncul direduksi menjadi perasaan bersyukur yang mungkin dapat mewakili semua perasaan yang ada.
Titik balik dari keadaan tersebut terjadi ketika saya mengalami pendidikan tambahan selama dua tahun di asrama yang berbeda. Tempat yang hening, asri, dan jauh dari kontak dunia luar membantu saya untuk masuk dan menelisik kedalaman diri saya yang apa adanya. Di tempat tersebut, saya dibimbing dengan baik oleh para pengasuh yang sungguh kompeten dalam mengembangkan pribadi-pribadi yang bergumul untuk berjumpa dengan Tuhan melalui keseluruhan aspek kedirian mereka.
Selama menyepi dan menepi di tempat tersebut, saya diminta untuk belajar dan berlatih menyatakan dengan lugas dan jelas rasa-perasaan dalam diri saya baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, rasa-perasaan yang diungkapkan pun tidak terbatas pada perasaan yang muncul saat itu, tetapi juga perasaan yang muncul dalam peristiwa-peristiwa di masa lampau.
Kedengarannya mungkin mudah, tetapi saya sungguh berjuang keras untuk menamai rasa-perasaan yang ada dalam diri saya, khususnya pengalaman-pengalaman di masa lampau. Biasanya rasa-perasaan dari pengalaman-pengalaman di masa lalu tidak mudah diingat bukan saja karena rentang waktu peristiwa sudah terjadi begitu lama, tetapi juga karena pengalaman-pengalaman tersebut sengaja dilupakan. Pengalaman tersebut biasa dilupakan karena menyakitkan atau memuat memori-memori negatif yang menghadirkan rasa tidak nyaman.
Dengan suasana yang mendukung dan kehadiran para pendamping yang sabar membimbing, saya perlahan-lahan mau dan mampu membiasakan diri memasuki pengalaman-pengalaman hidup saya. Saya juga dibantu untuk menamai dan memeluk rasa-perasaan yang pernah saya persepsikan secara ‘negatif’, seperti: marah, cemburu, kecewa, sedih, takut, tertekan, minder, dan sebagainya.
Di momen-momen itulah segala emosi dalam diri saya yang ternyata sudah lama ditekan dan dipendam bisa dibebaskan atau diungkapkan. Dengan memerdekakan rasa-perasaan yang terkungkung tersebut, saya mulai merasakan diri saya yang dengan rendah hati dan terbuka untuk menerima dan belajar dari pengalaman-pengalaman yang tidak mudah dalam hidup saya.
Salah satu hal penting dalam proses saya untuk berjumpa, memeluk, dan belajar dari rasa-perasaan yang muncul dalam pengalaman-pengalaman hidup adalah sikap untuk menatap dan merasakan cinta Tuhan yang sebenarnya sudah ada dan akan terus tercurah. Tanpa menghadirkan cinta Tuhan dalam momen-momen hidup yang saya alami, proses memeluk, belajar, dan membebaskan rasa-perasaan dari pengalaman yang tidak mudah dalam hidup menjadi sesuatu yang mustahil.
Kesadaran akan cinta Tuhanlah yang akhirnya membuka perspektif dan cara memandang saya terhadap berbagai peristiwa dalam hidup saya. Dengan mengenali rasa-perasaan yang muncul saat ini dan masa lalu, saya bisa semakin dekat dan memahami diri saya apa adanya yang ternyata terbentuk dan dirajut oleh berbagai pengalaman hidup di masa lampau. Dengan demikian, saya berharap bisa lebih memahami gejolak perasaan dalam diri saya sehingga senantiasa mampu bersikap dan mengendalikan diri saya dengan baik dalam menjalani peziarahan hidup ke depannya.
Melalui pengalaman sederhana ini, saya semakin meyakini bahwa rasa-perasaan adalah rahmat yang sudah dan akan terus ada dalam perjalanan hidup manusia. Saya juga merasakan bahwa Tuhan menyapa dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya melalui rasa-perasaan. Rasa-perasaan menjadi sarana berelasi antara aku dengan Tuhan, aku dengan diriku sendiri, dan juga Tuhan dengan aku. Seperti yang dituliskan dalam Injil, “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21), rasa-perasaan kita adalah rahmat yang sungguh berharga dan sungguh dekat dengan diri kita.
Semoga kita semua pun mau belajar dan menimba rahmat dari rasa-perasaan kita seperti yang dikatakan Yesus, “Yang menerima pelajaran dari hal Kerajaan Sorga itu seumpama tuan rumah yang mengeluarkan harta yang baru dan yang lama dari perbendaharaannya” (Mat. 13:52). Karena itu, dengan belajar sesuatu yang sederhana, kita pun sekaligus belajar dan berlatih sesuatu yang besar dalam hidup kita.
Albertus Aryo Anindito
Mahasiswa Filsafat, STF Driyarkara Jakarta