web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menjadi Sehati, Senasib, dan Sepemikiran

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Kasih tidak pandang buluh. Kasih diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan, kapan pun dan di mana pun.

TIDAK ada jaringan. Ini yang pertama kali disadari oleh beberapa peserta “Learning Event & Pertemuan Tahunan Jaringan Nasional Caritas Indonesia” ketika tiba di sebuah lapangan yang sangat luas yang terletak di Desa Ape Maliko, Kec. Sindue. Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. Smartphone tidak ada sinyal.

Perjalanan darat dilakukan para peserta  dari Kota Palu sekitar 45 kilometer jaraknya dan ditempuh kurang lebih selama 2 jam. Suasanya sejuk dan sunyi. Bisa dibilang jauh sekali dari hiruk pikuk kota.

Berdasarkan data, ada empat dusun dan satu tempat pengungsian yang dihuni masyarakat Suku Kaili Rai yang sejak bencana gempa Palu tahun 2018 menetap secara berpindah-pindah di kawasan hutan sekitar Desa Ape Maliko.

Lokasi pembangunan 20 hunian untuk masyarakat Kaili Rai, Palu. (HIDUP/Karina Chrisyantia)

Para peserta pun mulai berpencar mengunjungi rumah-rumah warga di dusun-dusun. Mereka bertolak ke rumah-rumah yang berwarna krem dan atapnya warna biru. Menyapa sang penghuni rumah. Kebanyakan para peserta bertanya, “bagaimana rumah barunya?” dan tidak sedikit dari penghuni rumah yang bibirnya membentuk bulan sabit sembari memamerkan giginya berucap “sangat senang”.

Tidak Datang Lagi

Hendrik, salah satu warga Dusun II, Desa Ape Maliko, ikut mengembangkan senyum sukacitanya ketika dikunjungi. Sambil melihat rumah yang dihuni sekarang jauh lebih layak, ia sempat mengingat kejadian setelah ia pulang dari Jayapura. “Saya dan keluarga posisi ada di Jayapura ketika gempa Palu terjadi. Setelah kembali ke sini rumah kami hancur. Di rumah ini hanya ada ibu mertua.  Ya, karena rumah itu dari kayu-kayu jadi ketika ada gonjangan langsung ambruk,” terangnya. Begitu juga dengan Selfin. Walapun dengan malu-malu menjawab pertanyaan, intinya hati senang dan tenang mempunyai rumah yang layak.

Bahagia dirasakan oleh semua warga desa termasuk masyarakat Suku Kaili Rai yang sedang menunggu rumahnya selesai dibangun. Masyarakat ini aslinya tinggal di bukit-bukit, namun akibat gempa Palu, bukit tersebut terbelah. Todi, sang kepala suku, turut menceritakan. “Rumah rusak semua. Kami langsung turun dari gunung, seminggu setelah gempa dan sampai sekarang kami tinggal di tempat ini. Jadi sudah 3 tahunanlah,” ungkapnya sambil menunjuk lokasi tendanya. Sayangnya, tempat ia tunjuk bukan sebuah tempat yang layak untuk ditinggali. Rasa haru muncul ketika melihat dengan mata kepala sendiri di mana mereka tinggal.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

“Tak punya lampu juga di sini, jadi kami kalau malam hanya pakai senter,” tambah Ponerimu, salah satu masyarakat Kaili Rai. Todi, Ponerimu dan masyarakat lain membuat tenda dan gubug sendiri. “Ya, kami saling bantu-bantu bangun tenda supaya ada atap. Tapi sudah mulai bocor-bocor kalau hujan. Kegiatan kami di sini berkebun, tanam coklat dan lain-lain,” jelas Todi. Menurutnya selama ini mereka hanya mendapatkan bantuan tenda dari UNHCR dan sembako. “Dorang (mereka) baku ganti (bergantian) datang batanya (bertanya), minta data sambil foto-foto keadaan di sini, tapi dorang tidak pernah datang lagi,” ungkap Todi.

Belum Diperhatikan

Caritas PSE Manado aktif melayani para penyintas sejak hari pertama terjadinya gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi di Palu dan sekitarnya. Berbagai macam layanan telah diberikan pada para penyintas, bekerja sama dengan jaringan Karin, Caritas Internasional (CI) dan berbagai pihak yang terlibat dalam layanan Caritas PSE Manado di Sulawesi Tengah.

Ozagma Lorenzo Simorangkir (kanan) mendampingi Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ (tengah) ketika mengunjungi Selfin (kiri), penerima manfaat di Dusun II, Desa Ape Maliku, Palu. (HIDUP/Karina Chrisyantia)

Karina bersama Caritas PSE Manado juga berusaha menjawab kebutuhan  para penyintas dalam hal hunian, total hunian yang telah dibangun bagi para penyintas hingga saat ini sebanyak 649 unit. Tujuan program ini demi pemenuhan kebutuhan hunian yang nyaman, aman dan bermartabat bagi para penyintas.

Direktur Caritas PSE Manado periode sebelumnya, Romo Clemens Joy Derry menuturkan sejauh ini ada tiga progam rumah hunian, pertama pembangunan 261 hunian dan jamban yang layak bagi terdampak bencana di Kabupaten Sigi (Desa Tuva, Desa Rogo, Desa Poi, Desa Jono Oge) dan Kota Palu. Kedua, Program Hunian EA 04/2020 mencakup dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Program Hunian EA 06/2021 merupakan lanjutan dari program EA 04/2020, yakni pembangunan 60 hunian transisi dan jamban yang layak di Desa Ape Maliko, Kab. Donggala.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

“Kami sadar, banyak lembaga-lembaga sosial itu membantu yang terlihat saja. Bayangkan masyarakat Kaili Rai ini sudah tiga tahun bertahan di tenda dan gubuk-gubuk terbuat kayu. Ini amat memprihantinkan. Beberapa datang ke sana tapi belum ada yang bantu,” terang Romo Joy.

Bagi Romo Joy, Gereja Katolik melalui Caritas turut mengambil andil dengan memperhatikan yang belum diperhatikan. Kepedulian tidak memandang siapa pun. “Soal solidaritas ini, walaupun dengan Suku Kaili Rai, awalnya agak susah komunikasi, karena ada perbedaan budaya, cara berpikir, bukan menjadi penghalang bagi kami membagikan kasih.  Justru karena mereka terpencil dan membutuhkan sudah selayaknya dibantu. Menaik kan martabat mereka. Misal, kesusahan data seperti tanda pengenal penduduk dan sebagainya, hal itu sepatutnya dibantu sebagai Caritas,” tuturnya.

Bantuan yang Caritas salurkan sudah masuk dalam kebutuhan dasar mereka. Berdasarkan pengalaman Romo Joy, mereka juga memiliki kerinduan mempunyai tempat tinggal yang layak. “Maka saya berharap ke depan, Caritas PSE Manado selalu punya hati, peduli dan mau begerak bersama. Sehati, senasib dan sepemikiran.”

Bukan Obyek

Bulan Mei 2021 pertama kali Program Coordinator EA 06/ 2021 Caritas PSE Manado Ozagma Lorenzo Simorangkir, kerap disapa Ozag, datang ke Desa Ape Maliko untuk assessment bersama Anton Tangkuna, seorang pendeta Gereja Pantekosta di Dusun III.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

“Rombongan kami menggunakan mobil menyusuri jalan menuju hutan. Ketika melihat ada orang-orang yang bermukim tenda lusuh dan gubuk-gubuk kayu, siapa yang enggak terenyuh. Kami berhenti di dekat pengungsian, dan beberapa orang langsung masuk ke tenda-tenda karena takut. Anton menyampaikan kalau mereka enggak bisa bahasa Indonesia. Mereka tadinya tinggal di sekitar bukit, karena terbelah akbibat gempa, mereka menjadi trauma dan akhirnya turun. Mereka memilih tinggal di bawah pohon-pohon kelapa,” ungkap Ozag.

Romo Clemens Joy Derry (paling kanan) mendampingi Mgr. Rolly Untu, MSC; Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ; dan Mgr. A.M. Sutrisnaatmaka, MSF mengunjungi salah satu area likuifaksi di Petobo, Palu Selatan.(HIDUP/Karian Chrisyantia).

Kerap kali organisasi kemanusiaan hanya mencari mereka yang di jalan-jalan utama, yang terlihat, lalu untuk dipublikasikan. Prinsip Caritas berbeda bagi Ozag. Caritas menyasar kepada orang-orang yang tak diperhatikan. Para penyintas bukan obyek tapi subyek. Seperti yang diungkapkan Romo Joy, Caritas mengajak bergerak bersama mereka dan sifatnya mendampingi bukan menggurui. Sebelum program berjalan Caritas PSE Manado dan KARINA melakukan beberapa kali sosialisasi kepada kepala desa dan warga. “Tidak hanya bangun rumah tetapi juga mendampingi sampai yang detail-detail,” ujar Ozag

Awalnya mereka tidak mau berinteraksi karena takut. Ozag sempat merasakan kesukaran karena mereka enggan diajak kerjasama. “Kami butuh ditribusi barang menggunakan mobil, sedangkan jalan di sana belum bisa dilewati kendaraan. Kami sempat meminta pihak warga untuk bantu kami juga membuat jalan agar bisa dilewati mobil. Saat berproses, kami sadar, mereka juga tidak ada peralatannya. Akhirnya kami dukung dengan sekop, cangkul, dan sebagainya,” ujarnya.

Namun, lama-lama ada perubahan, khususnya masyarakat Kaili Rai, mereka mau berinteraksi. Sekarang, Ozag merasa sudah seperti keluarga dengan mereka. Misalkan saja ketika mereka punya makanan, walaupun seadanya, mereka menawari tim yang di lapangan. “Jadi seperti orang baik bertemu dengan orang baik,” tutup kelahiran Medan ini.

Karina Chrisyantia dari Palu, Sulawesi Tengah
HIDUP, Edisi No. 46, Tahun ke-75, Minggu, 14 November 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles