HIDUPKATOLIK.COM – Lewat Sinode Para Uskup (2021-2023), Gereja membaharui diri. Berbagai isu sosial, ekonomi, politik, budaya, dan agama akan memperoleh makna baru dalam proses sinodal.
AGATHA Lidya Natania menjadi satu-satunya Orang Muda Katolik (OMK) dari Indonesia yang terlibat dalam Pembukaan Sinode Para Uskup Sedunia, Sabtu, 9/10/2021. Agatha bergabung dalam Badan Penasihat Pemuda Internasional (International Youth Advisory Body) bersama 20 OMK dari berbagai dunia pada. “Agatha akan mengusulkan ragam isu dan fenomena hidup menggereja khususnya yang berhubungan dengan dinamika pastoral OMK di Indonesia,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci, L. Amrih Jinangkung.
Dalam pesannya, Amrih Jinangkung menambahkan Badan Penasihat Pemuda Internasional adalah sebuah lembaga yang dibentuk sebagai Diskateri bagi Kaum Awam, Keluarga, dan Kehidupan (Dicastery for Laity, Family and Life) Gereja Katolik. Badan ini bertanggung jawab mempromosikan kehidupan dan kerasulan iman orang awam juga memperhatikan pastoral keluarga Katolik.
Mewakili OMK Indonesia, Agatha memiliki kewajiban untuk memberikan masukan berkaitan dengan kehidupan OMK yang sering kali diremehkan. “Saya berharap OMK tidak hanya didengarkan, tetapi menjadi aktor Sinode Para Uskup ini. Sebab OMK memiliki energi dan juga kreativitas dalam menyatukan banyak orang. Sayang kalau OMK meninggalkan Gereja karena merasa Gereja tidak mendengarkan suara mereka,” sebut staf di kantor ASEAN, Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) Indonesia ini.
Agatha berharap isu-isu sosial, ekonomi, politik, agama, budaya, dan fenomena menggereja OMK Indonesia di tengah arus zaman akan menjadi fokus perhatian serta poin-poin penting dalam proses Sinode di Gereja Indonesia.
Agama dan Politik
Isu agama dan politik sudah tentu menjadi diskusi di akar rumput dalam bersinode. Isu agama dan politik menjadi bagian dari kehidupan menggereja masyarakat Katolik Indonesia. Sejarah mencatat ada banyak elit Katolik dan tokoh-tokoh awam mengambil bagian dalam percaturan politik kekuasaan di tanah air.
Mengutip pernyataan pengamat politik Joseph Kristiadi dalam Rubrik Kolom, Majalah HIDUP edisi 34, 2018, sangat disayangkan bahwa fenomena politik kekuasaan yang mencederai kehidupan berbangsa juga telah menimpa masyarakat Katolik Indonesia. Salah satu fenomena yang menjadi perhatian serius saat ini dan sering menjadi fokus diskusi adalah politisasi yang tidak sehat terhadap agama. Proses menjadikan agama sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan sedang mendarah daging.
Agama pada dasarnya adalah rahmat, yang berasal dari luar manusia tapi menyentuh batin terdalam manusia. Bahasa teologis menyebut agama sebagai “rahmat Allah atau pengalaman akan Allah”. Manusia yang mengalami ini percaya akan Allah dan berada dalam disposisi merasa damai, aman, tenang, terlindung, bahagia, jujur dan penuh syukur. Sedangkan politik adalah strategi, kebijakan manusia untuk kebaikan bersama. Ketika politik bersentuhan dengan agama, politik hendaknya dijalankan atas dasar kebijakan dan strategi yang menjadikan agama yang dianutinya sebagai “rahmat atau hadiah” untuk penganut agama lain.
Kristiadi menjelaskan kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa relasi antara agama dan politik rancu dan tak seimbang. Kerancuan dan ketidakseimbangan relasi itu terletak dalam etika beragama dan etika berpolitik. Para pelaku kedua bidang ini saling menunggang untuk kepentingan dan tujuan masing-masing. Para penganut agama, teristimewa para tokoh agama dan pemuka agama, beroperasi di ranah politik untuk kepentingan agama. Sudah tentu isu-isu politik bernafaskan agama seperti ini akan menjadi perhatian Gereja Katolik Indonesia.
Kemiskinan
Selain politik dan agama, di beberapa keuskupan persoalan kemiskinan material masih menjadi fokus perhatian. Tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo bertemu para tokoh agama untuk membahas secara khusus pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kardinal Ignatius Suharyo yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan tak dipungkiri kemiskinan ini telah melilit wilayah-wilayah keuskupan yang mayoritas penduduknya Katolik.
Pada Nota Pastoral KWI tahun 2017 pada poin “Kekayaan dan Moral Religius” disebutkan masih ada kolekte hari Minggu di stasi-stasi pedesaan tidak lebih dari Rp100 ribu. Akibatnya para pastor yang bekerja di paroki “kering” memperoleh honor kecil untuk kesejahteraan hidupnya antara Rp300-500 ribu per bulan. Kebanyakan mereka harus mengemis bantuan dari umat-umat di kota-kota besar. Sementara didirikan gedung gereja yang megah, kontradiktif dengan statistik kesejahteraan hidup umat. Wajarlah para pastor paroki menciptakan kebijakan atau peraturan dan tuntutan iuran paroki yang memebani umat. Kesannya birokrasi di paroki dialami sebagai yang membebankan umat.
Hidup ekonomis umat Katolik yang bukan pegawai negeri di wilayah-wilayah yang mayoritas Katolik sangat lemah. Tidak heran jika banyak orang dari wilayah Timur Indonesia yang mayoritas beragama Katolik harus meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Ibu Kota. Ada harapan mereka bisa mengubah nasib di kota-kota besar Indonesia.
Dalam diskusi lintas angkatan Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng terkait isu-isu sentral pada Sinode Para Uskup di tingkat Gereja Lokal, Pastor Yongki Wowor, MSC setuju menyebutkan kemiskinan ini menjadi salah satu fokus pastoral yang serius bagi Gereja Indonesia. Namun menurutnya, kemiskinan sebenarnya bukan satu-satunya fokus perhatian Gereja Indonesia. Ada satu persoalan lain yaitu adanya kepincangan relasi antara kaum awam dan para klerus. Di keuskupan yang mayoritas umatnya Katolik terbaca juga bahwa ulah dan gaya hidup para klerus menjadi batu sandungan untuk hidup iman umat Katolik.
Misionaris Hati Kudus Yesus yang sekarang berkarya di Paroki Issoudun, Prancis ini memberi beberapa contoh konkret. Ada uskup dan imam yang menciptakan kubu sosial yang prouskup (awam Katolik dan sebagian klerus) dan kubu sosial melawan uskup. “Ini fakta yang terjadi dalam Gereja baik di wilayah Indonesia Timur maupun di Barat,” ujar Pastor Yongki.
Isu-isu yang beredar pun menyuburkan kondisi keterpecahan sosial dalam Gereja Katolik, ketika kejujuran, keadilan dan kebenaran terbenam dalam politik kekuasaan. Garis kekuasaan yang berada di tangan para klerus dan para awam tidak ditetapkan secara jelas. “Misalnya, ada dewan paroki yang merasa bahwa kekuasaannya lebih tinggi dari pastor paroki. Mereka mengambil keputusan sendiri tanpa diketahui pastor paroki. Begitu juga, ada pastor paroki yang tidak memahami dan menghayati secara penuh tugasnya sebagai iman. Jika ada umat yang meminta Sakramen Minyak Suci, pastor paroki berkeberatan dan menunda waktu untuk memberikannya,” ujar Pastor Yongki.
Korupsi dan Ekologi
Pada Sidang Tahunan KWI juga, para uskup mengeluarkan Seruan Pastoral “Stop Korupsi: Mencegah dan Membedah Perilaku Koruptif.” Seruan Pastoral ini ditindaklanjuti dalam Nota Pastoral yang akan menjadi pedoman bagi umat Katolik Indonesia dalam melawan korupsi dan menggeluti sikap antikorupsi.
Dalam sambutan pembukaannya, Pastor Siprianus Hormat,Sekretaris Eksekutif KWI saat itu, mengatakan, melalui Nota Pastoral ini diharapkan bisa menjadi partisipasi Gereja Indonesia untuk ikut memberantas korupsi. “Perilaku koruptif tidak lain hanya meninggalkan kesan mencari keuntungan untuk diri sendiri. Ini adalah perilaku yang bisa ditemui dalam hidup menggereja,” sebut Pastor Siprianus yang kini telah menjadi Uskup Ruteng.
Gaya hidup cari untung itu menurut Bula Paus Fransiskus “Misericordiae Vultus” (Wajah Belaskasih) telah menghancurkan masa depan orang miskin. Bukanlah rahasia lagi, bahwa korupsi telah menggerogoti oknum-oknum di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang juga terdapat orang Katolik. Gaya hidup cari untung ini ditopang oleh budaya kolusi, korupsi, dan nepotisme yang dihayati manusia Indonesia, termasuk orang Katolik hingga era reformasi ini. Malah kaum klerus pun dalam hirarki Gereja menghayati gaya hidup cari untung itu, seperti terdengar bahwa bendahara paroki yang adalah pastor memboyong dan membawa lari uang kolekte umat.
Di tempat terpisah ketika dihubungi Sr. Bernadeth Resirwawan, TMM menjelaskan selain korupsi, masalah lingkungan hidup dan penyebabnya akan menjadi sharing panjang pada Sinode di tingkat keuskupan nanti. Polusi atau pencemaran lingkungan baik itu polusi air, udara, dan tanah memerlukan waktu jutaan tahun agar bisa normal kembali. Sektor industri dan asap kendaraan bermotor adalah sumber pencemaran utama. Logam berat, plastik beracun, tumpahan minyak, atau gas beracun dari industri dapat merusak alam semesta menjadi pertimbangan wajib pada proses Sinode nanti.
Persoalan perubahan iklim sebagai hasil dari praktik manusia seperti emisi gas rumah kaca menjadi persoalan riil yang juga disebutkan Paus Fransiskus dalam Ensiklik Ladato Si’.
Salah satu konsekuensi dari perubahan iklim ini adalah produksi pertanian sering mengalami gagal panen dan memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan akibat terjadinya musim kering berkepanjangan.
Suster Tarekat Maria Mediatrix ini menambahkan faktor penyebab lain dari kurangnya perhatian terhadap lingkungan adalah adanya kelebihan populasi dan penipisan sumber daya alam, pembuangan limbah plastik dan sampah perkantoran, limbah rumah tangga, dan limbah sektor industri. Pada akhirnya pencemaran lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan keanekaragaman hayati baik spesies atau habitat.
Persoalan HAM
Sinode Para Uskup kali ini dijalankan dengan cara berbeda karena mengundang semua umat untuk berpartisipasi. Proses Sinode diawali dengan mendengarkan rekomendasi dari setiap keuskupan. Rekomendasi itu tidak lain menyasar persoalan di tengah wilayah gerejawi masing-masing. Tentu saja isu sosial dan realitas umat di setiap stasi, paroki, keuskupan, provinsi gerejawi, hingga pulau-pulau di Indonesia berbeda-beda.
Aktivis HAM di Tanah Papua, Pastor Johanes Jonga mengatakan sejak tabuhan tifa pewartaan Kerajaan Allah bergema, Tanah Papua yang waktu itu belum terkontaminasi dalam jaringan global perdagangan, percaturan politik, interaksi sosial, interaksi kebudayaan, dan lalu lintas informasi cyber, kini mengalami “wajah baru”. Gereja seakan ikut terjerat dalam arus perubahan zaman. Di satu sisi mendatangkan perubahan, tetapi di sisi lain masyarakat pribumi kurang diperhatikan.
Membaca sejarah Gereja sebagai fakta historis, dapat ditarik kesimpulan bahwa masuknya Gereja ke Tanah Papua membawa kemajuan tapi juga persaingan. Kabar Gembira tapi juga konflik, pemberdayaan masyarakat sekaligus penanaman ghetto keagamaan. Isu ketidakadilan sturuktural selama puluhan tahun belum menemukan titik temu hingga saat ini. Kebijakan pembangunan sentralistik terjadi di mana-mana. Bagi umat pribumi kebijakan tersebut telah menghisap kekayaan alam tanpa pengembangan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Pada umumnya industri yang berkembang di Merauke bersifat ekstraktif dan belum sampai pada tingkat produsen.
“Kenyataan sosial ini hendaknya menjadi perhatian Gereja-gereja di Tanah Papua. Sebenarnya ada banyak persoalan sebut saja penyediaan sarana-prasarana, kehadiran tenaga pendidik medis, akses pendidikan yang kurang, persoalan HAM seperti pembunuhan dan pembantaian masyarakat Papua, dan hak hidup atas tanah adalah segelintir persoalan yang hendaknya diperhatikan,” ujar Pastor Jonga.
Pembangunan Mental
Tidak jauh berbeda dengan situasi di Bumi Borneo. Para misionaris awalnya hanya menghadapi tantangan fisik di Kalimantan. Kini, tantangan yang menghadang adalah membangun mental dan mendidik umat untuk mandiri. Tantangan fisik dengan menerjang sungai dan hutan rimba dengan wilayah setiap keuskupan yang terbilang luas. Untuk melayani di sebuah stasi terjauh bisa memakan waktu hampir 10 jam. Tapi menurut Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus ini bukan menjadi persoalan untuk melayani umat Allah. Sebab panggilan itu dimaknai sebagai perutusan kepada semua bangsa yang belum mengenal Kristus.
Mgr. Agus justru melihat pembangunan mental umat adalah sebuah kenyataan yang saat ini dihadapi hampir semua uskup di Kalimantan. Gereja Kalimantan diharapkan mampu mempersiapkan para imamnya untuk menghadapi mental umat yang masih mementingkan uang, kurang bersemangat dalam kehidupan gerejani, termasuk hal-hal mistik. Rasa kekeluargaan dan gotong royong serta iman kepada Kristus terkikis dengan budaya ini.
Situasi mirip terjadi di Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Makassar. Fokus utama adalah membangun kesadaran akan martabat manusia yang semakin hari berkembang di dunia moderen. Kepekaan sosial sebagai warga Gereja untuk menghargai martabat sesama menjadi tantangan menarik di Keuskupan Amboina, Manado, dan Makassar. Bagi Gereja martabat manusia terkait sangat erat dengan dimensi sosial dan moral yang mendapat inspirasi dari Injil.
Pembelaan martabat manusia mempunyai muatan untuk membaharui manusia dan masyarakat, mengembangkannya dan membebaskan manusia dari akar-akar dosa, menumbuhkan kesadaran akan keadilan sosial, menghormati manusia dan hak-hak asasinya.
Solidaritas dan Dialog
Di Regio Nusa Tenggara (Nusra), Gereja sedang membangun solidaritas di antara Gereja-Gereja Kristen. Gereja-Gereja perlu saling memperhatikan dalam sikap keterbukaan dan saling bekerja sama agar dalam keragaman dan perbedaan, tetap lahir persekutuan persaudaraan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Dialog di antara Gereja-Gereja Kristen akan menjadi “jembatan” penghubung bagi misi Kerajaan Allah. Gereja terpanggil bukan untuk menjadi orang beragama tetapi terpanggil untuk bersama Allah bekerja dalam rencana dan kehendak Allah bagi keselamatan dunia ciptaan-Nya.
Di sisi lain ada harapan terbangunnya solidaritas antar Gereja, Nora Fuun umat Paroki Reinha Rosario Katedral Larantuka secara terang-terangan menyebutkan persoalan kesetiaan panggilan kaum berjubah menjadi perhatian serius. Janji selibat merupakan salah satu tantangan terberat yang harus dijalani para imam. “Meski menjadi wilayah yang subur panggilan, tapi tidak dipungkiri banyak cerita soal selibat datang dari wilayah ini,” tulis Nora saat dihubungi, Jumat, 29/10/2021.
Cerita usang yang tak kalah menarik dari Pulau Sumatera adalah bagaimana umat Katolik bertahan dan memberi kesaksian hidup di tengah pluralitas. Beberapa kali terjadi penolakan dari umat beragama lain saat mendirikan gereja. Berhadapan dengan agama-agama lain, kesaksian hidup tentang keselamatan dan pewahyuan ilahi lebih diperhitungkan daripada kata-kata, karena nilai-nilai Injil dan pengalaman hidup Kristiani lebih transparan bagi misi Kerajaan Allah di dunia.
Dalam sejarah misi Gereja Indonesia, tampak bahwa kesaksian hidup Kristiani merupakan cara efektif untuk mewartakan Injil, lebih-lebih setelah pemerintah melarang penyebaran agama kepada orang-orang yang sudah memeluk agama tertentu. Hal ini juga berlaku bagi kehadiran Gereja di tengah mayoritas suku Batak, Minang, dan Melayu di Pulau Sumatera. Ada harapan bahwa Sinode di tingkat keuskupan dapat mengangkat persoalan intoleransi dan radikalisme yang masih kerap terjadi di Pulau Sumatera.
Sama dengan pastoral di Sumatera, dari Pulau Jawa pastoral dialog menjadi konsep baru dalam aktivitas pastoral Gereja pasca-Konsili Vatikan II yang harus diterapkan saat ini. Dialog lahir dari visi Allah sendiri, yang berdialog dengan setiap individu untuk mengungkapkan kehendak penyelamatan-Nya. Tindakan Allah yang demikian harus menjadi inspirasi bagi Gereja dalam aktivitas misionernya.
Diharapkan dari dialog ini persoalan intoleransi dan radikalisme serta kebencian terhadap Gereja Katolik bisa diminimalisir dan terciptanya suasana penuh damai. Dialog adalah instrumen untuk mencari kebenaran dan saling berbagi dalam kebenaran. Untuk menjalin hubungan antar agama yang paling baik adalah dengan mengembangkan sikap terbuka terhadap umat beriman yang lain, kesediaan untuk mendengarkan, saling menghormati dan memahami dalam perbedaan mereka.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 45, Tahun ke-75, Minggu, 7 November 2021