web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

“The Power of Menulis”: Untuk Kenali Diri dan Temukan Passion

5/5 - (3 votes)

 HIDUPKATOLIK.COM – Menulis. Bagiku, menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Inilah jawabanku kalau-kalau suatu saat ada yang bertanya padaku perihal menulis. Bermain dengan kata-kata yang kaya akan makna itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Aku menyadari, butuhlah waktu kurang lebih empat ditambah dua tahun untuk memampukanku membuat kalimat berbunyi (make sense). Betapa perihal menyusun kalimat menjadi berbunyi tak bisa diabaikan, karena itulah kunci untuk menulis.

Bicara soal menulis, aku jadi teringat dengan dua peristiwa dalam hidupku yang sangat berarti. Peristiwa pertama tentang belajar susunan kalimat atau biasa yang dikenal dengan pelajaran SPOK (dibaca Es Pe O Ka) di SMA Seminari Mertoyudan. Ada dua guru yang mengajarkan materi ini, yaitu Pak Naryo dan Pak Walyadi. Mereka berdua punya ciri khasnya masing-masing dalam mengajar, tapi lebih dari itu keduanya bagiku sangat inspiratif.

Pak Naryo itu punya kekhasan cara mengajar, yakni dengan mengutip kalimat dari Kitab Suci untuk dianalisis (mana subjeknya, mana predikatnya, mana objeknya, dan sejenisnya). Murid-muridnya diminta untuk menganalisis sejauh yang mereka bisa (aku pun mengalami proses ini). Ketika sudah ada salah satu murid yang menjawab benar ataupun belum ada yang bisa menemukan jawaban benarnya, barulah Pak Naryo menjelaskan konsep-konsep struktur kalimat dan semacamnya.

Oh ya, seingatku, untuk pelajaran pembuka, Pak Naryo meminta murid-muridnya untuk menganalisis satu kalimat legendaris. Aku agak lupa persisnya, tetapi kurang lebih seperti ini, “Inilah kapal api yang sedang berlayar.” Sederhana, tetapi cukup menjebak menurutku. Sepertinya tidak hanya angkatanku, angkatan sebelumnya mungkin mengalaminya, karena kalimat itu juga jadi cerita legendaris di antara para muridnya.

Berganti ke sosok selanjutnya, Pak Walyadi. Pak Walyadi juga punya kekhasannya dalam mengajar. Ia suka mengambil kalimat-kalimat spontan yang terungkap dalam kelas. Misalnya, ada temanku yang mengucapkan kalimat seperti berikut, “Belum dikerjakan, kok, Pak.” Nah, kalimat inilah yang akan jadi pembahasan selama satu jam pembelajaran. Ada yang bertugas menuliskan kalimat itu di papan tulis. Yang lainnya bertugas untuk menganalisis SPOK-nya.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Di sini, aku menangkap, Pak Walyadi mengajak para murid-nya untuk bersikap kritis dan punya sense of language dalam berkomunikasi dan menulis. Bisa kukatakan itulah kekhasan cara mengajarnya: tak sering memberikan materi formal dalam one way learning. Ia selalu menerapkan metode diskusi dan mencoba menumbuhkan kemandirian berpikir dari para siswanya. Ia menyadarkanku (juga mungkin teman-temanku) bahwa tak ada satu kebenaran mutlak dalam berbahasa; selalu ada banyak pilihan untuk mengungkapkan kata nan sarat makna.

Dua sosok inilah yang bagiku sebagai “pahlawan” karena mengajarkan bagaimana berbahasa dengan baik, yang juga memengaruhi kemampuanku dalam menulis.

Aku selalu kagum, kagum pada orang-orang yang mempunyai kesukaan dan minat besar pada menulis. Selidik punya selidik, ada beberapa manfaat dari kegiatan menulis. Pertama, dengan menulis, seseorang dapat menyampaikan dan menyebarkan informasi kepada orang lain. Kedua, dengan menulis, seseorang dapat mengekspresikan gagasannya secara leluasa tanpa ada yang perlu membatasinya. Ketiga, dengan menulis, seseorang sebenarnya ingin berkomunikasi dengan orang lain lewat bertukar pendapat dan pemikirannya.

Aku tidak ingin berhenti mengulas sampai sini saja. Kucermati kegiatan menulis tak terlepas dari berbagai konteks dan bidang. “Gelap di luar dan hening di dalam. Dengus napas istriku teratur. Lampu tempel sudah kumatikan. Hanya dingin malam yang menyeruak dari celah dinding bambu membuat aku menarik selimut melewati dada.” Ketika membaca cuplikan tulisan ini, yang terbayang adalah suatu cerita (entah tulisan cerita pendek atau bagian dari novel). Aku perlu mengklarifikasi kalau tulisan itu diambil dari cerita pendek Koran Kompas yang berjudul “Gelap, Gelap Sekali” karya Aba Marjani (Bandung, 21 Agustus 2009). Berbeda nuansa dan bidangnya jika membaca tulisan ini: Sebuah riset yang dilakukan oleh BMKG di tahun 2015 mengenai dampak perubahan iklim terhadap suhu udara selama 10 tahun, menunjukkan adanya peningkatan rata-rata suhu minimum di Pulau Nias. Ini cuplikan berita dari DetikNews perihal dampak perubahan iklim bagi petani muda di Indonesia (Senin, 1 November 2021 pukul 15.42 WIB).

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Kalau begitu, berarti setiap orang punya gaya menulis yang berbeda-beda. Ada yang suka mengungkapkannya dengan nuansa puitis dan simbol-simbol yang sarat makna. Ada yang suka memerankan diri sebagai pendongeng, yang mengajak pembacanya berjelajah dengan sejuta alur cerita yang menarik. Ada yang suka membuat tulisannya bernuansa reflektif. Ada yang suka membuat tulisan akademis untuk menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan.

Sepertinya, tidak sedikit orang yang mengenal quotes ini: “Dengan kegiatan menulis, sebenarnya seseorang dapat mengenal dirinya sendiri sekaligus mengungkapkan siapa dirinya.” Kurang lebih poinnya seperti itu. Aku lantas bertanya-tanya dalam hati apa yang dimaksud dengan menulis sebagai pengenalan dan pengungkapan diri: apakah dilihat dari kecenderungan bidang mana yang diminati untuk jadi topik tulisan? Atau apakah dilihat dari caranya mengungkapkan pilihan kata dan struktur kalimatnya? Atau ada yang lainnya? Rasa-rasanya, menulis sebagai sarana untuk mengenal dan mengungkapkan diri inilah yang tak jarang membuatku kesulitan untuk menulis. Menurutku, menulis untuk tujuan seperti ini melibatkan keseluruhan diri (entah itu pikiran, perasaan, maupun kehendak), yang mungkin saja tak semua orang sadar akan hal ini. Menulis seperti ini dapat membuka banyak peluang untuk menerima keanekaragaman pemikiran dan unsur diri, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Bicara tentang menulis sebagai sarana refleksi pribadi, aku teringat akan filsuf Yunani kuno yang mengungkapkan seperti ini, “Hidup yang tidak direfleksikan itu tidak layak untuk dihidupi” (Sokrates). Mungkin ada yang sudah tahu tapi juga ada yang belum tahu. Sedikit berbagi tentang kisahnya, Sokrates ini tidak pernah menuliskan pemikirannya sama sekali, tapi malahan muridnya, yaitu Plato (juga seorang pemikir/filsuf), yang menuliskan sebagian besar pemikiran dan perkataan Sokrates. Plato menuliskan pemikirannya atas dasar kekaguman karena cara pandang yang beda dari orang-orang sezamannya. Sokrates menekankan pencarian kebenaran dalam pengetahuan melalui suatu proses, layaknya seorang Ibu yang berproses untuk melahirkan anaknya. Kiranya, seperti itu jugalah proses pengenalan dan pengungkapan diri. Sosok Sokrates yang menuliskan refleksi pribadi dalam kenyataan hidupnya bisa jadi salah satu panutan.

Sampai saat ini, sebagai bagian dari Gen-Z aku masih terus mencari gaya menulis seperti apa yang bisa mencerminkan siapakah diriku. Apakah aku bisa menyebut cara menulis seperti ini menulis sebagai pengungkapan passion? Bisa jadi. Tapi, bagaimana kalau ternyata masih belum menemukan passion dalam menulis? Tidak ada yang salah. Menghadapi kebingungan sangatlah wajar. Setiap orang mempunyai hak untuk mengalami proses ini sesuai dengan keunikannya masing-masing. Begitu juga dengan aku. Dan mungkin saja begitu juga dengan teman-teman muda yang masih mencari passion-nya dalam kegiatan menulis.

Jadi, masihkah menulis sulit bagiku? Tergantung…

Agustinus Lanang Panji Cahyo
Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta, Jurusan Filsafat 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles