Penghujung Juni 2016
Kamis. 8.00 pm
“Kopi atau the, Mas?”
“Teh sajalah, takutnya enngak bisa tidur kalau minum kopi. Tehnya juga yang tawar saja,” jawab Mas Danin menimpal pertanyaanku.
“Kenapa selalu yang tawar?” tanyaku penasaran.
“Manisnya kan sudah ada di kamu.”
“Ah kamu bisa aja, genitmu ternyata belum hilang, Mas Danin”
Percakapan singkat itu membuka pertemuanku dengan Mas Danin pada sebuah malam yang lenggang. Di rumah kontrakan yang sudah dua tahun ini kutinggali bersama teman-tamanku tak ada suara berarti. Jalan sepi yang ada di depan rumah hanya sesekali disambangi kendaraan bermotor. Dari dalam beberapa kamar yang tertutup, terdengar suara perabotan yang sedang beradu dengan ubin. Mungkin teman sedang sibuk merapikan kamarnya. Maklumlah beberapa waktu ini penghuni indekos lebih banyak berkutik dengan urusan pribadi, bersiap-siap kembali ke kota dan kampung halaman karena libur semester sudah dimulai.
Beberapa hari yang lalu, aku memang mengundangnya untuk sekadar berkunjung ke rumah ini. Tempatku juga cukup welcome untuk menerima tamu dari luar. Bisa dikata kalau di rumah ini aturannya tidak terlalu ketat. Tak ada batasan jam malam untuk kunjungan tamu. Makanya aku lebih memilih rumah ini bersama tiga orang rekanku. Setidaknya suasana rumah ini cukup sesuai dengan kecenderunganku yang lebih luwes dan sering keluyuran. Lagipula, tempat ini juga sangat tenang. Jauh dari jalan utama uang bising.
“Ini tehnya, Mas. Kamu loh yang pertama minum teh ini. Kalau enngak ada kamu pasti bungkus tehnya belum terbuka.”
“Oh ia ya? Memangnya di sini enggak ada yang minum teh?” tanya Mas Danin penasaran.
“Enggak ada, Mas. Semuanya peminum kopi. Kata teman-teman kalau minum teh lambungnya bisa bocor,” jawabku sambil cengengesan. Kali ini aku yang sedikit bercanda sembari meminum kopi yang kubawa bersama teh untuknya.
“Oh ia ya, baru kali ini aku dapat penghuni kos dengan selera yang sama. Kalian memang saling mencari sesama peminum kopi atau kebetulan saja?”
“Enggak gitu, Mas. Pergulatan hiduplah yang menyamakan selera kami.”
“Maksudmu dengan pergulatan hidup?”
“Tahulah Mas, kalau kita di bangku kuliah. Butuh lebih banyak energi supaya kuat lembur. Kalo enggak kuat begadang, yaa… tahu sendirilah. Tugas enggak selesai. Ujung-ujungnya ngeles sama dosen dengan berbagai alasan. Tambah rumit kan. Mending begadang ngerjain tugas dari pada harus berurusan sama dosen.”
“Oalah….benar juga sih. Memang setiap orang punya alasan sendiri untuk menyukai kopi. Alasanmu lebih logis, dari pada seseorang yang menyukai kopi hanya karena tergila-gila dengan sebuah judul film.”
Malam itu aku semakin menyadari kalau Mas Danin adalah seorang pria yang sangat asyik diajak ngobrol. Entah mengapa otak kami semakin terkoneksi satu sama lain. Selera humor yang receh sering kali menjadi bumbu pembicaraan yang tak kusadari sudah hampir berlangsung dua jam ini.
Begitulah Mas Danin, pria sederhana namun menurutku cukup menarik. Aku tak sengaja mengenalnya di sebuah even “Pasar Kangen” yang diselenggarakan di jalan Sriwedani, beberapa jarak dari Malioboro. Sebuah acara tahunan di Jogja yang memperjual-belikan barang-barang antik dan kuno. Tampaknya, kecintaanku pada barang-barang klasik dan antik menjadi suatu alasan dari Tuhan mengapa aku bertemu sosok ini. Di sebuah lapak yang dijaga seorang yang cukup berumur, kami sama-sama tertarik untuk membeli sebuah foto tua bergambar beberapa gadis Bali yang sedang membawa sesajen di atas kepala mereka. Saat itu, aku melihat dia menawar foto tetapi karena aku sangat ingin membeli, kuberanikan diri untuk mengatakan bahwa foto itu sangat bagus. Begitulah, ia rela aku saja yang membeli foto itu.
Semenjak saat itu, aku mengenalnya sebagai seorang yang juga cukup luwes. Kami beberapa kali jalan-jalan menyusuri Kota Jogja. Aku bahkan berani mengajaknya ikut gereja di sebuah paroki yang tak jauh dari Titik Nol Jogyakarta. Sesekali, kuajak dia ke Sendangsono, tempat ziarah favoritku. Hingga hari ini, aku mengajaknya berkunjung ke rumah ini.
***
Jumat 9.30 pm
Hari ini, hanya aku dan Felicia yang tinggal di rumah. Tadi pagi, Retno dan Vanny telah pulang ke kampung halamannya masing-masing. Sedangkan esok subuh, Felicia akan balik juga ke Bekasi. Aku sama sekali tak berencana kembali ke Jakarta. Karut-marut kota itu seakan menjadi trauma bagiku. Apalagi, kehidupan rumah yang benar-benar membuatku tak nyaman. Ayah yang selalu pulang larut malam dan ibu yang seakan tak peduli dengan keberadaanku. Aku seolah takut hidup di dalam lingkaran yang menyiksa itu. Lebih baik aku di sini. Jika besok Felicia akan pulang, setidaknya aku masih punya teman-teman kampus yang bisa kuajak ke mana saja. Mungkin Mas Danin masih akan kembali ke tempat ini, menyajikan berbagai cerita dan kisah yang membuatku terhanyut di dalamnya.
Baru saja kupikirkan sosok itu, sebuah pesan WhatsApp membangunkan lamunanku. Tepat dengan apa yang kupikirkan, di layar gawaiku, tertulis nama Mas Danin.
“Di antara semua orang yang mencintai fotografi dan barang antik, rasanya hanya kamu yang kukenal tak menghirup batang tembakau ini,” suaraku menimpal ketika ia menolak sebungkus rokok yang kutawarkan setelah kuambil sebatang. Kunyalakan sebatang rokok itu lalu kuisap sembari menunggu jawaban darinya.
“Naliah, mungkin kamu hanya berteman dengan beberapa orang saja sampai kamu tidak tahu kalau beberapa dari orang-orang yang kau maksudkan itu juga mengharamkan rokok.”
“Mas Danin, kamu orang yang penuh misteri, sampai-sampai aku tak bisa menebak kepribadianmu. Jangan sampai kamu adalah seorang yang bipolar?” tanyaku dengan nada bercanda.
“Ha.ha.ha.ha…. Kalau aku adalah orang bipolar seperti yang kamu maksudkan, mungkin aku tak pernah datang ke tempatmu ini untuk kedua kalinya. Naliah, aku hanya mencoba menjadi diri sendiri dengan cara yang menurutku membahagiakan tanpa merugikan orang lain. Tapi menurutku, sebaiknya kurangilah kebiasann merokokmu itu. Bukankan kamu seorang penikmat kopi? Cukuplah kafein saja yang masuk di tubuhmu, jangan ada nikotin lagi.”
“Rasanya sulit, Mas… Tapi sejak lama aku memang ingin meninggalkan kebiasaan ini. Namun, tetap saja aku selalu mengulanginya lagi.”
Beberapa saat Felicia bergabung dengan kami, sekadar untuk perpisahan karena besok dia akan pulang. Rasanya aku harus bersiap untuk kesendirian beberapa waktu ke depan. Untuk kedua kalinya, kami terlalu sibuk dengan candaan dan pembicaraan ini. Mas Danin banyak berbicara dengan racikan goyonannya namun tetap saja dengan selipan nasihat dan kata-kata bijak seperti yang dikatakan sebelumnya. Sedang aku dan Felicia hanya sesekali menimpal, kemudian mengisap rokok lalu cengengesan.
Sabtu, 10.11
Malam ini ia datang untuk ketiga kalinya. Sedikit mengobati rasa takutku karena kesendirian di indekos ini. Aku sedikit menyesal karena mengurungkan niat kembali ke Jakarta. Suasana libur yang masih ingin kunikmati di Jogja berubah menjadi kerisauan dalam hatiku sendiri. Namun, tetap saja selalu ada obat atas kerisauan itu. Malam ini Mas Danin datang lagi menemuiku. Sayang, ada yang berbeda malam ini. Mungkin karena hanya ada kami berdua.
“Mungkinkah kalau aku tinggal saja di sini malam ini? Kamu merasa takut kan jika harus sendiri?”
“Sepertinya aku bisa sendiri, Mas. Lagipula kamu mau tidur di kamar yang mana kalau ingin menginap malam ini?” timpalku menjawab permintaannya.
“Di sofa ini pun bisa. Aku sudah terbiasa tidur di mana pun.”
Tampaknya ia benar-benar serius kali ini. Awalnya kukira hanya bercanda. Tak kusangka, ia turut mengambil sebatang rokok yang kuletakkan di atas meja, membakarnya, lalu dihirupnya seolah seperti seorang anak kecil yang baru belajar merokok. Mungkin tak tahan dengan aromanya, sampai ia batuk-batuk”
“Huk,huk, huk… Aku hanya ingin mencari suasana yang berbeda Naliah.”
Aku diam. Tak tahu ingin menjawab apa-apa.
Mungkinkah Mas Danin menangkap salah keterbukaanku selama ini? Bukankah tak layak jika hanya kami berdua yang tinggal di rumah ini?
Tanpa berpikir macam-macam lagi, kuberanikan diri berbicara dengan sopan.
“Frater Danin, kembalilah ke biara. Lagipula ini sudah terlalu malam. Pulanglah. Jaga panggilanmu dan kurasa tiga malam ini sudah cukup mengakrabkan kita satu sama lain. Panggilanmu lebih berharga dan biara lebih membutuhkanmu. Rasanya tak layak jika kamu harus tinggal di sini. Bukankah kamu pernah berkata bahwa pilihanmu itu adalah cita-citamu sejak kecil?”
Ia terdiam saat kusebutkan nama itu. Kutahu ia menatapku tajam dengan matanya yang sedari tadi terlihat biasa saja. Sedetik saja, kupertemukan mataku dengan tatapanya lalu langsung kubuang dan kuarahkan ke lantai. Pandangan sekilas itu membuatku takut. Kini kusadari. Esok malam ia tak akan datang lagi ke indekos ini. Bukan hanya esok, mungkin malam-malam selanjutnya, ia tak akan pernah datang lagi. Semenit kemudian, ia telah tiada dari hadapanku, ia pergi di balik remang-remang cahaya lampu depan rumah. Aku menyesal telah mengiyakan permintannya supaya aku tak memanggilnya dengan nama itu, identitas yang seharusnya menjadi kebanggaannya.
Maafkan aku, Danin.
Oleh Kelvin Tandiayu
HIDUP, Edisi No. 43, Tahun ke-75, Minggu, 24 Oktober 2021