HIDUPKATOLIK.COM – PAGI itu kami keluar dari Hotel Pension Locarno, sebuah hotel budget tapi lokasinya sangat dekat dengan Munich Hbf, stasiun kereta api Kota Munich. Saat itu kami berjalan kaki menuju Marienplatz (Mary’s Square), karena jaraknya hanya 1.7 km. Marienplatz adalah alun-alun utama di pusat kota, sudah ada sejak tahun 1158. Alun-alun ini adalah salah satu tujuan wisata yang banyak direkomendasikan.
Pada sisi utara alun-alun, terdapat bangunan tua, yang sejak tahun 1874 berfungsi sebagai gedung Balai Kota Baru (Neues Rathaus). Sedangkan pada sisi Timur terdapat Balai Kota Lama (Altes Rathaus), kini berfungsi sebagai gedung pertemuan.
Pada bagian tengah alun-alun berdiri sebuah monumen berupa kolom dan pada puncaknya terdapat patung bunda Maria. Monumen ini diberi nama Mariensaule dan sudah ada sejak tahun 1638. Bunda Maria memang dihormati sebagai pelindung Bavaria, Jerman.
Jalan menuju Mareinplatz ini, kiri kanan didominasi pertokoan. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah bangunan berwarna cerah, terselip di antara pertokoan. Di atas pintu utama terdapat patung Bunda Maria dan kanak-kanak Yesus. Kami menduga ini adalah gereja. Beberapa orang nampak keluar masuk dari pintu samping. Lalu kami memberanikan diri mengintip dan ternyata benar ini bangunan gereja Katolik.
Seperti biasa, bila menemukan gereja, saya akan masuk guna menyapa Tuhan dan berdoa. Baru setelah itu, memuaskan mata melahap keindahan interior gereja. Saat berkeliling dalam gereja ini, di salah satu sudut terlihat sebuah prasasti bertuliskan PATER RUPERT MAYER, SJ, 23.I.1876 – 1.XI.1945. Rupanya ini sebuah makam. Saya penasaran siapa gerangan Pater Rupert Mayer ini. Beruntung sebelum pintu keluar gereja tersedia buku kecil yang menceritakan riwayat hidupnya. Buku seharga 3 euro ini langsung saya beli.
Pater Rupert Mayer adalah tokoh Gereja yang berani menentang Nazi. Ia sangat dihargai di Jerman, khususnya Munich. Lahir dan dibesarkan di Stuttgart pada 23 Januari 1876, pada usia 23 tahun ia ditahbiskan, setahun kemudian masuk Serikat Jesus. Setelah studi di Belanda lalu ia keliling Belanda, Jerman, Austria, dan Swiss sebagai pengkhotbah serta pemberi retret. Baru mulai Januari 1912 ia ditugaskan di Munich, melayani para imigran Katolik. Pada 29 Juni 1914 ia ikut mendirikan Kongregasi Suster dari Keluarga Kudus Munich.
Saat perang Dunia Pertama (1914), ia mengajukan diri menjadi pastor tentara. Awalnya ia ditempatkan di kamp rumah sakit, belakangan ia minta maju ke garis depan pertempuran. Ia sempat ikut pertempuran di Alcase Prancis, Galacia Spanyol, dan Romania.
Ia memberikan sakramen-sakramen bagi para prajurit. Keberaniannya berjuang di garis depan, sangat dihargai para prajurit bahkan menjadi legenda. Negara pun menghargai dan memberikan medali Iron Cross kepadanya pada tahun 1915. Tidak ada yang dapat membuat ia mundur dari medan perang, kecuali sebuah granat yang meledak dan menghancurkan kaki kirinya pada akhir tahun 1916. Ia ditarik dari medan perang dan kembali ke Munich untuk proses penyembuhan. Setelah kaki kirinya diamputasi, Pater memperoleh julukan baru, pastor timpang.
Keberanian Pater Rupert tak pernah luntur. Berikutnya yang dilawan adalah Adolf Hitler, Kanselir Jerman. Pada Januari 1933, Hitler memerintahkan menutup semua sekolah yang berafiliasi dengan Gereja. Hitler juga berkampanye mendiskreditkan ordo-ordo religius.
Dari mimbar St. Michael di pusat kota, Pater Rupert bersuara lantang menentang persekusi ini. Ia kemudian dilarang berbicara di muka umum, namun ia terus menyuarakan tentangan saat berkhotbah di gereja. Ia terus menentang kampanye anti Katolik yang diupayakan oleh Nazi. Akibatnya ia berulang kali masuk penjara, bahkan sempat masuk kamp konsentrasi Sachsenhausen. Namun semua ini tidak membuatnya surut berjuang. Sampai akhirnya Jerman kalah perang dari tentara sekutu, dan sekitar Mei 1945 barulah ia dibebaskan dan kembali ke Munich.
Lagi-lagi hanya penyakit yang dapat mengalahkan Pater Rupert. Pagi hari, tanggal 1 November 1945, saat berdiri di altar Gereja St Michael memimpin Misa Hari Raya Semua Orang Kudus, ia tiba-tiba jatuh terkena stroke, lalu meninggal di RS Josefinum. Jerman terlebih Munich berduka. Ia dimakamkan di pemakaman milik Serikat Jesus di Pullach, 11 km dari Munich. Namun karena sangat banyak umat mencintainya dan berziarah ke makamnya, maka tahun 1948 diputuskan untuk memindahkan makam ke bawah Gereja Burgersaal, tempat ia lama berkarya. Gereja ini berada di pusat kota sehingga memudahkan umat yang ingin berziarah.
Pater Rupert Mayer, SJ diberi gelar Beato pada 3 Mei 1987 oleh Paus Johanes Paulus II dengan sebuah upacara meriah di Stadion Olimpik Munich. Gereja memperingati Beato Rupert Mayer setiap tanggal 3 November.
Setelah mengetahui riwayat Pater Rupert, saya merasa teramat bersyukur pada Tuhan. Rupanya membiasakan diri masuk ke dalam gereja-gereja yang saya jumpai dalam perjalanan di mana pun, kala itu mendapat bonus mengunjungi makam seorang beato.
Apalagi kemudian saya memperoleh kesempatan mempelajari riwayat hidupnya. Pater Rupert pernah berkata, “Jika tak seorang pun memiliki cukup keberanian untuk berbicara, aku akan melakukannya. Tuhan berada di sisi kita”.
Teladan dari Pater Rupert dengan keberaniannya mendampingi prajurit di garis depan pertempuran serta menyuarakan kebenaran melawan rezim berkuasa sungguh menginspirasi dan menumbuhkan semangat.
Apalagi di zaman pandemi ini, saya diajak berani menentang berita-berita hoax, paling tidak dengan tidak ikutan menyebarkan. Juga terinspirasi untuk terus semangat, pantang menyerah di tengah segala kesulitan akibat pandemi.
Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang