HIDUPKATOLIK.COM – Terowongan Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta tidak sekadar ikon toleransi tapi jembatan humanis antarumat beragama di Indonesia.
PAUS Fransiskus berjubah putih sedangkan Ayatollah Agung Ali al-Sistani bersorban hitam. Paus mengenakan zucchetto putih di kepalanya, al-Sistani memakai sorban hitam. Paus Fransiskus memakai kalung salib, sedangkan al-Sistani membawa tasbih di tangannya.
Dalam perbedaan, dua tokoh ternama ini berdialog tentang perdamaian. Pertemuan ini berlangsung dalam lawatan empat hari Paus di Irak, Maret 2021 lalu. Lawatan Fransiskus untuk pertama kalinya di Irak sejak diangkat sebagai Paus. Kehadiran Paus di Irak bersamaan dengan gelombang kedua virus corona dan ancaman kematian akibat konflik Timur Tengah.
Menghadapi ancaman kematian, Paus berujar, “Mereka adalah saudaraku. Irak adalah ‘surga’ yang sudah lama saya impikan. Komunitas Kristen kuno di negara tersebut membutuhkan bantuan Gereja. Saya ingin memperdalam dialog dengan mereka.” (AFP, 6/3/2021).
Pertemuan keduanya berlangsung selama 50 menit di kediaman al-Sistani. Setelah kunjungan itu, pihak al-Sistani menerbitkan foto keduanya tanpa menggunakan masker dengan caption “ada damai di depan mata”. Kata-kata ini memiliki dua pesan, pertama, pandemi akan segera berakhir bila para tokoh agama bersatu. Kedua, saatnya Ulama Syiah Irak terbuka dalam dialog humanis dengan agama lain, sebab sebelumnya sangat tertutup.
Promosi perdamaian Paus Fransiskus selama empat hari di Irak mengena di hati masyarakat Irak. Di sebuah spanduk besar di pusat Kota Bagdad ada tulisan “Paus, cahaya bagi Timur Tengah”.
Cahaya Fransiskus
Usaha saling mengunjungi bukan hanya dilakoni Paus Fransiskus. Sebaliknya ada lawatan balasan dari berbagai tokoh agama dunia. Tahun 2019 perwakilan Nahdlatul Ulama, K.H. Marsudi Syuhud dan Syamsul Anwar mewakili Muhammadiyah bertemu Paus Fransiskus di Istana Kepausan, Vatikan. Keduanya hadir di Vatikan dalam rangka penandatanganan “Posisi Dasar Agama-agama Monoteisme Ibrahim mengenai Hal-hal Terkait Pengakhiran Hidup”. Selain dua wakil Indonesia, dokumen ini juga ditandatangani wakil-wakil dari Kepausan, Patriarkat Konstantinopel, para Rabi Agama Yahudi, dan sejumlah ulama dari berbagai negara yang mewakili agama Islam.
Dokumen ini pada dasarnya berisi imbauan bagi para pengambil keputusan dan pelaku bidang kesehatan untuk memahami perspektif agama-agama monoteisme dalam pelayanan kepada para pasien yang menghadapi kematian. Diharapkan para keluarga pasien juga memahami norma-norma agama yang berkaitan dengan pengakhiran hidup. Disinyalir penandatanganan dokumen ini merupakan hal yang bersejarah bukan saja karena arti pentingnya bagi profesi kedokteran dan kesehatan, namun juga kuatnya dimensi ekumenis atau komitmen penganut agama Ibrahim.
Pesan yang sama juga terjadi saat Paus Fransiskus bertemu Sekretaris Umum (Sekum) Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Didampingi Staf Dewan Kepausan Untuk Dialog Antarumat Beragama Vatikan, Pastor Markus Solo Kewuta, SVD, Abdul Mu’ti hadir dalam konferensi bertajuk “Religions and Education: Toward a Global Compact on Education”. Selain Paus Fransiskus, Mu’ti juga semeja dengan Mufti Agung Al-Azhar Syaikh Ahmad al-Tayyeb dan 15 tokoh agama dunia, Kamis, 7 Oktober 2021.
Dalam pesannya, Abdul Mu’ti mengatakan Paus menitip harapan besar agar para tokoh agama terus memperdalam semangat persaudaraan. “Saudara dan saudari adalah wajah Allah yang diciptakan dalam berbagai perbedaan untuk saling melengkapi,” ujar Mu’ti mengingat kembali pesan Fransiskus.
Soal sosok Paus Fransiskus, Mu’ti mengatakan ia seorang yang humanis. Ia seorang yang tak pernah jemu berdialog tentang perdamaian. “Ia seorang yang selalu tampil berbicara tentang kehamornisan baik terhadap Tuhan, sesama, dan lingkungan,” jelas Mu’ti.
Lebih jauh lagi, Mu’ti mengamini bahwa Fransiskus adalah jembatan perdamaian bangsa-bangsa dan agama-agama di dunia. “Ia berhasil membangun jembatan penghubung antarumat beragama, suku-suku bangsa, adat, dan budaya yang berbeda-beda disatukan dengan satu bahasa kasih.”
Jembatan Toleransi
Menyinggung soal jembatan perdamaian Ketua Umum Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siradj dalam pesan singkat menambahkan bahwa Indonesia terdiri dari wilayah kepulauan yang kadang-kadang tidak saling terhubung karena perbedaan suku, bahasa, dan adat-istiadat. Maka Indonesia membutuhkan jembatan penghubung untuk akses di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan.
Jembatan dalam pengertian humanisme adalah usaha untuk menciptakan persaudaraan antarumat beragama. Analoginya ketika berada di atas jembatan, setiap ciptaan Allah akan melihat bagaimana dalamnya sebuah sungai yang arusnya deras. Ada pesan tertentu bahwa setiap orang perlu berada di jembatan untuk melihat ke bawah, kepada sesamanya yang berbeda dan mungkin sedang menderita karena diskriminasi atau ekstrimisme. “Dengan berada di atas jembatan kita akan merasa setara dalam banyak hal karena kita adalah ciptaan Allah SWT,” ujarnya.
Tak salah menyebutkan bahwa jembatan perdamaian itu kini terwujud dari terowongan (jembatan) bawah tanah yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta. Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin menarasikan terowongan penghubung itu sebagai simbol toleransi. Sebagaimana diketahui Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta adalah simbol toleransi di Indonesia. Dengan kehadiran jembatan, tidak ada lagi sekat yang membedakan umat beragama. Semua bisa melewati terowongan itu untuk berdialog dengan orang lain yang berbeda agama.
“Agar silahturahmi tidak tertutup maka semua orang bisa melewati terowongan itu. Terowongan itu punya makna mendalam, bukan hanya sekadar lambang, tapi juga memberikan inspirasi terbangunnya kerukunan antarumat,” ujar Ma’ruf saat meninjau terowongan awal Agustus lalu.
Ma’ruf berharap terowongan ini mempresentasikan hubungan baik antarumat beragama khususnya Islam dan Katolik di Indonesia. Terowongan ini menjadi simbol keterbukaan diri setiap umat beragama yang bersatu di bawah semboyan kebhinnekaan. “Terowongan Silahturahmi sudah terbangun. Selanjutnya tugas umat beragama untuk menyiarkan toleransi ini dalam prakti hidup sehari-hari,” harap Ma’ruf.
Agama yang Tersenyum
Di tempat terpisah, Imam Besar Masjid Istiqlal, K.H. Nasaruddin Umar mengatakan Indonesia adalah negara Islam terbesar dunia dan sedang berada pada fase agama Islam moderen. Masjid Istiqlal sendiri adalah simbol negara Islam moderen yang berdiri berdampingan dengan Katedral. Bukan hanya itu, tak jauh dari itu ada juga Gereja Immanuel, milik Agama Protestan.
Menurutnya, Islam Indonesia akan menjadi model agama yang mengajarkan penganutnya bisa hidup berdampingan dengan mengedepankan toleransi, kesetaraan gender, hak asasi manusia, ekonomi moderen, dan sebagainya. Islam Indonesia adalah role model untuk menjunjung tinggi semangat persaudaraan. “Islam di Indonesia adalah Islam yang tersenyum bukan marah-marah apalagi menebar kebencian,” sebutnya.
Sebagai agama yang tersenyum, Nasaruddin mengingatkan umat Islam untuk terus menebarkan perdamaian. Salah satu wujud bisa dilihat pada parkiran Masjid Istiqlal dan Katedral. Pihak Istiqlal telah membuat perluasan parkir di basemen karena halaman Masjid Istiqlal sendiri sudah tidak bisa menampung para pengunjung lagi. Maka terowongan yang menghubungkan antara Katedral dan Masjid Istiqlal sangat membantu arus jemaah yang mengikuti shalat atau ibadah di dua tempat ibadah tersebut.
Nasaruddin menambahkan dirinya sangat berterima kasih kepada pihak Katedral yang selalu mengizinkan lahan parkirnya untuk para jemaah Muslim yang mengikuti shalat khususnya pada hari-hari raya. “Memang beginilah DNA orang Indonesia yang hidup rukun dan damai, saling menghargai antarumat beragama,” ujarnya sambil tersenyum.
Nasaruddin percaya toleransi itu bukan sebatas membaca teks keagamaan secara tekstual. Bila pendekatannya tekstual maka tidak ada lagi pendekatan kontekstual yang lebih humanis. Sebab seringkali pendekatan tekstual melahirkan benih-benih intoleransi dan radikalisme. “Padahal kemajemukan itu bukan penghalang untuk hidup berdampingan. Keharmonisan itu tercipta karena perbedaan di tengah umat beragama.”
Senada dengan Nasaruddin, Kepala Paroki Katedral, Pastor Albertus Hani Rudi Hartoko, SJ menambahkan pihaknya sangat berterima kasih kepada pihak Istiqlal yang selalu terbuka hati membantu setiap peribadatan di Katedral. Hal paling sederhana adalah soal parkiran pada hari besar keagamaan seperti Paskah dan Natal. Parkiran Istiqlal selalu terbuka bagi umat Katedral.
Untuk itu, Pastor Hani mengingatkan agar jangan sampai terjadi perpecahan di Tanah Air hanya karena perbedaan. Lagi-lagi ia menyebutkan bahwa keberagaman justru menjadi kekayaan kita semua. Soal terowongan yang menghubungkan Istiqlal dan Katedral, Pastor Hani mengatakan terowongan ini adalah ikon keberagaman. “Ini tanda nyata bahwa Indonesia itu berasaskan Bhinneka Tunggal Ika. Katedral dan Istiqlal tidak sedang berdiri berseberangan tetapi berdampingan,” sebutnya.
“Satu Darah” Pencipta
Nasaruddin dan Pastor Hani meyakini bahwa Indonesia memiliki banyak keberagaman: agama, budaya, suku, bahasa, dan sebagainya. Indonesia juga memiliki corak persaudaraan sebagai bangsa, misalnya dalam tradisi kekeluargaan, kekerabatan, gotong royong. Pancasila adalah Dasar Negara yang menjunjung tinggi religiositas serta keadaban yang menempatkan nilai-nilai luhur manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dalam hal ini, kehadiran terowongan toleransi ini bisa menjadi corak persaudaraan yang sedang dihidupi umat beragama di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri bahwa terowongan toleransi mau mengatakan bahwa NKRI masih memiliki tugas berat jikau mau mengupayakan persaudaraan dan persahabatan. Masyarakat Indonesia yang masih beragam ini, sering mudah diadu oleh populis sempit. Ada politik yang suka melemparkan perbedaan sentimental antara agama yang berdampak pada ketegangan bahkan kekerasan atas nama agama. Perpolitikan NKRI masih diwarnai nepotisme (kedaerahan/sukuisme) bahkan agamais yang sudah menjalar ke berbagai sektor. Politik masih hanya menjadi media kekuasaan sesaat, belum menjadi ruang ungkapan kebajikan etis dan agama.
Karena itu, di atas maupun di dalam terowongan toleransi Istiqlal dan Katedral, harus lahir dialog antarumat beriman yang berasal dari “satu darah” Pencipta. Dalam dialog ada perjumpaan, sapaan, dan cinta guna menghancurkan sekat-sekat perbedaan. Dalam terowongan ini, setiap orang harus bisa berbicara tentang rasa damai yang dinikmati saat ini. Sebab pada dasarnya terowongan ini bukan milik agama tertentu, pemerintah semata, tetapi milik semua orang yang sedang dan akan berbicara tentang toleransi.
Di akhir wawancara dengan HIDUP, Nasaruddin menjelaskan kini, jembatan toleransi telah berdiri megah dengan sejumlah sebutan. Berdiri di pusat Ibu Kota dengan kemegahannya. Tapi bukan tampilan fisik yang penting karena yang terpenting adalah semangat dan pesan yang tersirat di dalamnya.
“Ketika melihat jembatan tersebut, setiap orang harus berpikir bagaimana menjadi ‘paku’ yang saling terkait, membuat kokoh jembatan toleransi yang sudah dibangun. Bila paku mulai berkarat atau terlepas, cepat-cepat diperbaiki dan dieratkan lagi lewat dialog-dialog humanis. Mendekati, mengutarakan, mendengarkan, mencari titik temu agar jembatan penghubung itu tetap berdiri kokoh dan menjadi kebanggan masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Sejalan dengan ini, Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Yohanes Harun Yuwono menambahkan para tokoh agama di dunia khususnya Islam dan Katolik telah bersepakat untuk menenun dunia dengan perbuatan-perbuatan damai. Paus Fransiskus sendiri lewat Ensiklik Fratelli Tutti (Semua Saudara) telah terbukti terus berjuang menemukan irisan persaudaraan yang lebih luas.
Paus Fransiskus mewakili semua orang dan berhasil melampaui batasan geografis dan jarak untuk berbicara tentang persaudaraan. Ajaran “menabur benih perdamaian” dalam menemani sesama manusia yang menderita adalah inti kata-kata dalam ensiklik ini. Ada penekanan pada persaudaraan antarmanusia, sesama saudara “satu daging” dari satu Pencipta.
Kristalisasi dari pernyataan Paus Fransiskus untuk menenun persaudaraan telah terwujud dari terowongan Istiqlal dan Katedral Jakarta.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, Edisi No. 43, Tahun ke-75, Minggu, 24 Oktober 2021