HIDUPKATOLIK.COM – TEROWONGAN yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta telah rampung. Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin sudah melewatinya saat berkunjung ke Katedral baru-baru ini. Terowongan yang disebut sebagai Terowongan Silaturahmi ini kian mengukuhkan dialog yang kian mendalam antarumat beragama di Tanah Air. Terkait dengan hal ini, hidupkatolik.com disertai Gendis.id mewawancarai Pastor Markus Solo Kewuta SVD, Staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Desk Islam di Asia dan Pasifik, dan Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate di Takhta Suci Vatikan. Sebagian wawancara ini telah dimuat di Majalah HIDUP, Edisi No. 43, Tahun ke-75, Minggu, 24 Oktober 2021. Kami akan menurunkan wawancara ini dalam tiga seri secara bersambung. Berikut seri pertama:
Apa komentar atau tanggapan Pastor atas terwujudnya terowongan ini?
Saya merasa sangat terkesan dengan inisiatip luar biasa dari pemuka kedua agama Islam dan Katolik, terkhusus dari Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta yang sudah bekerja dengan keras dan akhirnya sukses membangun sebuah terowong bawah tanah yang menghubungkan Katedral Jakarta dan Masjid Istiqlal. Ini salah satu yang unik karena sejauh saya tahu, belum ada di seluruh dunia. Pada tempat pertama dan utama, saya sangat mengapresiasi upaya unik dan luar biasa ini. Hemat saya, ini bukan sekader lobang di bawah tanah yang memberikan kemungkinan untuk berjalan dari satu titik ke titik yang lain, tetapi sebuah simbol yang berbicara lebih dari seribu kata, ibarat sebuah gambar.
Dari kecamata Pastor, apa makna yang sangat mendalam dari terowongan ini?
Ada banyak makna yg lebih dalam di balik ini. Pertama, terwowongan, tidak lain dan tidak bukan, adalah sebuah jalan. Jalan membuka kesempatan untuk pertemuan timbal balik dan memudahkan dialog. Dengan membangun terowongan ini, kedua belah pihak ingin mengintensipkan relasi timbal balik antara keduanya, membuka lebih banyak kemungkinan untuk saling berjuma dan berdialog.
Kedua, ini sekaligus menyiratkan pesan bahwa dialog lintas agama atau relasi antara umat Islam dan umat Katolik (Kristiani) di Indonesia tidak semata-mata terpaku atau terikat pada metode-metode klasik yang statis atau tidak bergerak dan tidak bisa berubah, melainkan sebuah aktivitas dinamis yang bisa menembusi batas-batas ketakmungkinan. Prinsipnya adalah di mana ada kemauan baik pasti di sana ada jalan. Terowong ingin mengirim pesan tentang niat atau kehendak baik (good will) yang kuat dari kedua belah pihak untuk saling bertemu dan berdialog. Tetangga-tetangga yang baik yang selalu menjaga relasi ketetanggaan dan kerja sama yang baik di antara mereka, bisanya kreatif dan akur. Sebaliknya tetangga-tetangga yang tidak memiliki relasi yang baik di atara mereka, tentu saja hanya ada anonimitas, ketiadaan komunikasi, apatisme, pembiaran, ignorans dan tidak ada kerja sama untuk sesuatu yang menguntungkan kedua belah pihak.
Ketiga, di dalam spirit Dokumen Abu Dhabi “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Human Fraternity for World Peace and Living Together) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar al-Azhar, Dr. Ahmad al-Tayyib tanggal 4 Pebruari 2019 lalu, terowongan ini adalah eskpresi relasi persaudaraan yang khusus antara umat Islam dan umat Katolik di Indonesia, yang oleh karena derajad kedekatan persaudaraan yang demikian dekat, sehingga memutuskan untuk mengabadikannya melalui sebuah terowongan yang memperkuat relasi persaudaraan yang sudah ada. Di antara saudara selalu ada ikatan kasih yang kuat. Di mana ada ikatan kasih yang kuat, pasti ada rasa rindu terhadap satu sama lain. Ketika ada rasa rindu di antara satu sama lain, berbagai jalan can cara akan ditempuh untuk bisa saling bertemu. Saya memahami terowongan tersebut sebagai sebuah cara alternatif yang menarik dan sekaligus urgen untuk menaikan intensitas pertemuan persaudaraan dan mengobati rasa rindu sebagai saudara.
Keempat, terowongan adalah sebuah bentuk lain dari sebuah “jembatan” karena substansinya tetap sama, yakni penghubung atau menghubungi. Terowongan mengbungkan dua titik yang selama ini dirasa atau dianggap terpisah atau terputus. Dengan adanya terowongan, dua titik yang selama ini terpisah sudah tersambung kembali. Relasi umat Katolik (Kristiani) dan umat Islam di Indonesia mengalami masa-masa pasang surut, ups and downs silih berganti. Krisis-krisis memutuskan jembatan dan terowong yang pernah ada, dan membuat mereka merasa jauh dari satu sama lain, bukan saja secara fisik, tetapi lebih dari itu, secara psikologis. Merasa jauh dan dekat pada saat yang sama adalah perasaan yang menghantui relasi kita selama ini. Terowongan adalah sebuah simbol baru yang ingin mengatakan bahwa apapun yang terjadi, sebuah era baru telah kita mulai. Krisis-krisis relasi oleh karena berbagai kasus intoleransi, gesekan-gesekan sosial, kekerasan-kekerasan atas nama agama, kasus-kasus diskriminasi, dan lain-lain, semuanya tidak harus menjauhkan kita satu dari yang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Sebaliknya jalan rekonsiliasi untuk menyembuhkan luka-luka, baik pribadi maupun kolektif, selalu tersedia, melalui simbol terowongan yang selalu terbuka. Terowongan adalah simbol rekonsiliasi dan penyembuhan luka-luka pribadi dan kollektip.
Kelima, terowongan adalah simbol kesuksesan dialog kerja sama (dialogue of collaboration) yang adalah satu dari tiga tipologi dialog di dalam Gereja Katolik (dialog kehidupan/dialogue of life, dialog kerjasama/dialogue of collaboration, dialog teologis/dialogue of theological reflections, dan dialog spiritualitas/dialogue of spirituality). Kesuksesan pembangunan terowongan mau mangatakan bahwa dialog pada tataran tutur-kata selalu bisa direalisasi melalui dialog kerjasama nyata untuk kesejahteraan kita bersama. Kerja sama lintas agama adalah sebuah urgensi nyata dan selalu mungkin. Dibutuhkan keterbukaan dan kemauan baik.
Kalau dikaitkan dengan Deklarasi Abu Dhabi dan event yang baru-baru ini terjadi di Vatikan, benang merah apa yang Pastor lihat?
Substansi dari Dokumen Abu Dhabi adalah relasi persaudaraan dan kerja sama nyata di berbagai lini untuk memerangi segala bentuk kejahatan, baik menyangkut instrumentalisasi agama dan iman untuk agenda-agenda egois dan meruntuhkan, eksploitasi alam dan kaum lemah untuk kekayaan pribadi, kemiskinan dan keterbatasan pendidikan, dan lain-lain.
Di antara mereka yang bersaudara, kemungkinan dan alternatif kerja sama untuk kebaikan bersama selalu lebih besar. Dengan dasar ini, belum lama ini Vatikan, dalam kerja sama dengan Kedutaan Inggris Raya dan Italia untuk Takhta Suci Vatikan menyelenggarakan sebuah konferensi internasional untuk membahas isu-isu ekologi. Tujuannya untuk membuat kesepakatan bersama yang adalah sebuah seruan kepada para petinggi dunia yang akan bertemu di Glasgow, Skotlandia akhir Oktober dan awal Novemebr 2021 untuk membahas topik yang sama.
Para petinggi agama, dengan semangat persaudaraan Abu Dhabi, menyerukan perhatian yang lebih besar dan lebih serius kepada PBB dan para petinggi dunia untuk menjaga dan merawat ibu bumi, yang menurut Paus Fransiskus di dalam Ensiklikanya Laudato Si’ dengan tujuan menjaga integritas dan keselamatan lingkungan hidup, adalah “rumah kita bersama”.
Alam ini bukan milik segelintir orang atau agama, atau etnik tertentu. Ia milik kita bersama. Maka kerjasama lintas agama adalah sebuah kewajiban dan keharusan. Di sini agama memainkan sebuah peran krusial, karena selain para pemeluk agama sedunia berjumlah lebih dari 80% dari total populasi dunia (7 juta), tetapi juga karena setiap agama memiliki ajaran-ajaran moral untuk berbuat baik terhadap lingkungan hidup. Di sini ditekankan aspek kerja sama. Sesuatu yang besar bisa terlaksana, kalau semua pihak ikut aktip berperan dan berkontribusi. (Bersambung ke seri kedua)
F. Hasiholan Siagian