HIDUPKATOLIK.COM – KERETA Dartmoor sedikit terengah saat menanjak di Welsh Highland Railway. Tiga gerbong kereta antik itu ditarik oleh lokomotif uap bercat hijau daun. Rambut Kenes tertiup angin musim semi di Wales Utara. Hamparan bunga dafodil laksana permadani kuning di sisi kiri dan deretan bunga bluebell di sisi kanan. Kota yang hidup dari cengkeram roda runcing kereta bertenaga batubara itu memanggil-manggil lewat peluit dan cerobong yang berkepul-kepul asapnya. Kenes tersenyum. Ia merasa sedang menjadi Hermione Jean Granger yang hendak bertemu Harry Potter dan Roan Weasley di Asrama Gryffindor, Sekolah Sihir Hogwarts.
Pria di hadapannya heran melihatnya tersenyum-senyum sendiri. Ia seperti pernah menyimpan wajah gadis itu sekian belas tahun lalu.
“Kenes? Kau Kenes kan?” tanya Maruta, pria itu.
Lamunan Kenes buyar. Matanya mencari suara yang memanggilnya.
“Ya, kamu pasti Kenes. SD Cahaya Kasih, hobi jajan cimol pedas, pernah jatuh di tangga depan sekolah dan kubantu bangun,” cecar Maruta.
“Haah….Maruta,”seru Kenes.
Segera saja dari keduanya saling berkisah tentang keberadaannya di Inggris ini juga terbual kisah-kisah masa kecilnya dulu. Cekikikan kecil sesekali terdengar di antara keduanya mengiringi bunyi peluit kereta dan deru asap yang mengepul di kepala lokomotif.
Reuni tipis-tipis itu berlanjut. Maruta yang pernah tertarik pada Kenes di cinta monyetnya kala itu kiranya tumbuh lagi. Kenes kian cantik, modis, dan outfitnya branded. Kenes yang hanya berlibur beberapa hari dan Maruta yang sedang kuliah di USW mendulang cinta.
Di mata Kenes, Maruta paket lengkap. Wajah aristokrat dengan alis tebal itu sosok yang menarik, tampan, dan cerdas sejak kecil. Tidak heran kecerdasan membawanya melanjutkan studi master di negeri ini, di kampus tua dan terkenal ini.
Maruta menceritakan, sambil kuliah dia bersama dua temannya membuka Cafe Janji Hati, sebuah warung kopi di kota Wetherby, wilayah metropolitan Leeds, Yorkshire Barat. Kecil saja cafe itu, menempati sebuah kios tidak jauh dari Sungai Wharfe. Bahkan jembatan batunya tampak dari teras café. Sengaja mengusung nama Indonesia agar banyak orang mengenal budaya Indonesia, setidaknya dari kopi yang tersaji. Ada kopi Liwa, kopi Gayo, Bali Kintamani, Papua Wamena, Toraja, Flores Bajawa. Pengunjungnya juga tidak banyak tetapi cukuplah membuat kiosnya tidak merugi. Hitung-hitung Maruta bersama Clark dan Dave tengah mempraktikkan ilmu ekonomi bisnis dan manajemennya.
Kenes sesekali berkunjung ke warung kopi di saat luang. Kampusnya di Bloomsbury membuatnya tidak bisa setiap saat menjumpai kekasihnya. Di ujung musim semi, Maruta mengunjungi Kenes. St. James Park menjadi tempat mereka berjalan-jalan menikmati danau di sisi kiri Buckingham Palace. Mereka memandangi angsa-angsa yang berjalan berlenggak lenggok dan beberapa pelikan.
“Konon, burung pelikan ditakdirkan tidak berganti pasangan. Maka sore ini pun aku berjanji hanya memilihmu menjadi pasangan hidupku,” kata Maruta sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah.
Wajah Kenes semu merah. Matanya mengikuti tangan Maruta. Sebentuk cincin tersembul dari dalamnya. Batu permatanya berkilau diterpa cahaya matahari sore. Kenes kaget dan terpukau. Ia tidak menyangka secepat itu Maruta meminangnya. Kenes mengulurkan tangannya dalam luapan kegembiraan. Maruta memasangkan cincin di jari manis Kenes. Sebuah pelukan sehangat mentari sore hari terasa nyaman dan membahagiakan keduanya.
Hari-hari selanjutnya bertabur bunga dafodil dan impian bergulir-gulir. Maruta makin bersemangat menyelesaikan kuliah dan makin sibuk di warung kopinya. Kenes pun ingin cepat lulus dan menikahi Maruta meskipun mereka belum tahu akan menetap di Inggris atau pulang ke Indonesia. Di Indonesia, mereka belum punya bisnis. Maruta tidak puas bila hanya meneruskan usaha orang tua.
Pandemi Covid-19 tidak terlalu menghantam bisnisnya meskipun pelanggan memang berkurang. Tidak banyak lagi yang duduk sambil menikmati racikan kopi long machiatto, frappuchino, ristretto, atau piccolo. Waktu luang mereka gunakan untuk diskusi mengembangkan bisnis penikmat fanatik kopi ini. Clark yang berotak cemerlang, Maruta yang bagus leadershipnya, dan Dave yang terampil meracik kopi menjadi tim kompak. Sebenarnya tidak ada pembagian kerja secara tegas di antara mereka bertiga. Atas nama persahabatan dan kekompakan, masing-masing merasa harus bisa saling melengkapi. Kenyataan membuktikan hingga tahun kedua usaha mereka masih bertahan.
Siang tidak terlalu terik ketika Kenes tiba di Janji Hati. Sengaja ia tidak memberi tahu Maruta agar kekasihnya tidak repot menjemput. Kenes berjalan berjingkat-jingkat mendekati Janji Hati yang sedang sepi. Ada dua pelanggan sedang duduk ngobrol sambil masing-masing menikmati secangkir kopi dan kue Welsh Cake. Terdengar Leave the Door Open dari Bruno Mars. Suara seksi Bruno Mars juga suasana café memang menjadikan pengunjung asyik berbincang. Orang yang rindu Indonesia karena terlalu lama merantau atau mereka yang cinta Indonesia memuaskan diri dengan dikelilingi pernak-pernik khas Indonesia. Dave memberi salam sambil meracik kopi. Salah satu tali bahu apron coklatnya menjuntai menjadikan wajah serupa Justin Beiber itu makin macho. Pemegang sertifikat barista tahun lalu itu makin terampil. Kenes melintas pintu tengah yang digantungi hiasan bertulisan “Love Who You Are” dan “Give Thanks”. Rencananya untuk pulang ke Indonesia semester depan dan membicarakan hubungan mereka dengan orang tua akan dimatangkan hari ini.
Begitu pintu terbuka, Kenes terbelalak. Darahnya berdesir melihat Maruta mencumbui Clark. Seketika perutnya mual. Ia berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perutnya. Maruta dan Clark juga tersentak. Mereka tidak menyangka keromantisan mereka diketahui oleh Kenes. Maruta memburu Kenes tetapi gadis itu terlanjur melesat ke luar. Pintu terbanting dengan keras. Dave terperangah melihat Kenes menghambur meninggalkan café.
“Kenes, dengar penjelasanku. Ini tidak seperti yang kaulihat,”seru Maruta.
Kenes menggeleng-geleng. Muka dan sebagian rambutnya basah oleh air kran wastafel. Ia tetap tidak bisa terima dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya. Itu sangat menjijikkan. Ia shock. Ia meninggalkan café dengan terburu-buru. Hatinya marah. Ia benar-benar tidak menyangka kekasihnya memiliki orientasi seksual yang tidak bisa diterimanya. Semaju-maju pikirannya, semodern-modern gaya hidupnya, hal budaya, norma, agama, dan seksualitas Kenes berpijak pada ajaran ayah ibunya. Orang lain mungkin mengatakan kolot tetapi Kenes tetap mengukuhinya.
Kenes menumpahkan tangisnya pada hamparan bunga Wildflower Paradise di pinggir jalan. Dadanya terasa sesak oleh tangis yang tadi tertahan. Dibiarkannya tangisnya meledak. Ia menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya. Long coat warna ivorynya menyapu rerumputan. Floral dressnya basah oleh air mata yang tumpah. Jalanan sepi dan lengang. Beberapa orang melintas di kejauhan. Kenes terlunta sendirian.
Semua tentang Maruta mengacaukan pikirannya. Benar-benar ia kaget dibuatnya. Ingatannya melaju pada Clark dan Dave. Keduanya bertubuh atletis. Wajah mereka pun tampan meskipun ada gerakan yang tampak feminin saat beraktivitas. Kenes mulai menghubungkan sekuel-sekuel kehidupan Maruta dan dunianya. Ternyata ia memang belum mengenal Maruta seutuhnya. Kekagumannya pada Maruta selama ini belum membawanya mengenal jati diri pria beralis tebal itu.
Kenes menarik napas panjang. Ia mempersiapkan diri berbicara dengan orang tuanya di Jakarta. Bagaimana pun perjalanan cintanya bersama Maruta tidak bisa dilanjutkan. Itu keputusannya. Rasa sakit ini akan ditanggungnya. Mungkin untuk beberapa waktu ia akan terluka. Tapi itu akan lebih baik daripada ia menginvestasikan hidupnya bagi lelaki dengan perilaku yang tidak dapat ia terima. Terselip rasa beruntung dalam hatinya. Untung belum jadi pemberkatan pernikahan. Meskipun mungkin biseksual tidak bisa membatalkan pernikahan Katolik, ia memilih mundur dari lelaki itu sekarang. Rasanya tidak mungkin baginya menerima lelaki dengan kehidupan biologis yang terbelah itu. Serasa ada bayang kelabu dalam kehidupan rumah tangganya nanti bila hubungan ini tetap dilanjutkan.
Sungai Wharfe mengalir tenang di bawah Jembatan Wetherby. Seperti sungai, Kenes ingin menenggelamkan bebatuan persoalan di dasarnya. Ia ingin hidup yang mengalir tenang dan anggun seperti Sungai Wharfe di kesejukan musim semi.
Oleh Lidwina Ika