HIDUPKATOLIK.COM – Yunarto Wijaya atau akrab disapa dengan panggilan Mas Toto, adalah Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia. Banyak media menyebutnya sebagai pengamat politik, anak muda Katolik yang bergelut di bidang politik dari berbagai peristiwa pesta demokrasi, pilpres dan pilkada. Sebagai pengamat, ia mengambil sikap yang tidak di tengah tetapi siapa yang menurutnya benar.
“Saya mengambil sikap sebagai konsultan politik dan membuat potensi risiko dianggap tidak netral, dikarenakan adanya momen. Karena menurur saya, di situlah saya menunjukkan kekatolikan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bertentangan pada prinsip saya terutama pada calon-calon tertentu,” sharingnya saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam webinar yang digelar oleh panitia Kreasi Virtual Katolik Indonesia (KVKI), Rabu, 27/10/2021. Acara ini merupakan rangkaian acara KVKI yang berlangsung tanggal 2-28 Oktober 2021. Webinar digelar secara daring malalui kanal Youtube Pesparani Katolik dan zoom.
Toto mereflesikan bahwa politik bukan melulu tentang kekuasaan tetapi mengurangi ketidakidealan bukan membagun keidealan. “Dalam sistem yang berubah sedemikian cepat, sulit untuk mengatakan suatu yang ideal tapi yang bisa kita lakukan adalah mengurangi ketidakidealan walaupun satu sampai dua ‘bata’ yang kita tempatkan,” ujarnya.
Toto melihat dunia sedemikian cepat melalui media sosial, salah satunya twitter. Toto memiliki 450.000 followers membuatnya belajar mengenai kondisi sosial, psikologi masyarakat Indonesia yang dialaminya seperti sarapan pagi.
“Saya dianggap double minority. Saya pernah mengalami ancaman dari 2014, puncak luar biasa tahun 2017 handpone disadap dan nomor telepon disebar. Pada tahun 2019 saya mencapai puncaknya karena ditarget pembunuhan. Tetapi itu hanyalah akumulasi dari bagaimana kondisi bom waktu yang ada dimasyarakat kita,” ungkap Toto.
Toto berbagi cerita setiap membuat tweet tentang politik, mengikuti program televisi dan membicarakan suatu peristiwa tertutama kondisi sosial, terutama istilah China, Kristen dan lain-lain. “Jadi double minority adalah beda agama jadi narasi yang manifes, kebencian rasial jadi nilai-nilai yang laten. Keduanya saling menguatkan. Ujiannya itu kesabaran dan kewarasan. Hal ini yang membuat saya menolak untuk jadi penonton,”ujarnya.
Toto juga mengajak umat Katolik untuk jangan menyerah mencintai Indonesia. Toto belajar melalui peristiwa pertarungan percobaan pembunuhan, ia mencoba hal-hal simbolik yang menguji kadar keimanannya dengan memahami dan memaknai cinta kasih.
“Pada saat pandemi, kantor saya memberikan sembako ke daerah-daerah yang dikuasai oleh ormas-ormas. Saya menyalurkan bantuan ke ormas-ormas yang pada saat pilkada dan pilpers bermusuhan dengan saya. Saya merasa harus menguji diri dan menguji secara sosial apakah mereka bisa bergandengan dalam cinta kasih dan kemanusiaan. Faktanya, tidak sesuram yang dibanyangkan,” ujarnya.
Toto mengatakan dengan berbagai pemberitaan di luar sosial politk, ternyata ada banyak orang-orang Katolik yang berkiprah di dunia olahrga, musisi dan lain-lain yang tidak terekspos sebagai pembicara tetapi memberikan warna yang mencerminkan iman Katolik.
Laporan Angela Merici