HIDUPKATOLIK.COM – Mei lalu, pasca lulus SMA, saya mendaftarkan diri di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Lolos seleksi dan menjadi mahasiswi di perguruan tinggi yang sudah sejak lama saya dambakan merupakan suatu pencapaian yang amat luar biasa bagi saya, terlebih ketika mengetahui bahwa saya akan belajar bersama para biarawan dari tarekat-tarekat yang hebat. Menjadi satu-satunya mahasiswi awam di Prodi Filsafat Keilahian/Teologi memaksa saya memegang peran ganda: menjadi seorang teman, sekaligus ibu bagi teman-teman saya.
Sekitar seminggu yang lalu, seorang teman menghubungi saya untuk berbagi cerita. Tanpa pikir panjang saya pun menunda segala kegiatan yang sedang saya kerjakan dan meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya. Saya masih ingat persis pertanyaan yang ia lontarkan, “Gimana aku bisa hibur umat kalo sekarang aku lagi rapuh?”
Saya tercenung mendengar perkataannya. Tidak mudah bagi kita untuk membantu orang lain ketika kita juga perlu dibantu; gelas yang kosong tidak dapat mengisi gelas yang lain; yang berantakan tidak dapat menciptakan keteraturan. Saya menarik diri sejenak dari percakapan itu, membawanya dalam doa.
Saya kemudian berkata padanya, “Kamu merasa rapuh? Bagus, dong!”
Perkataan saya ini dianggap aneh olehnya. Bagaimana tidak? Tiap orang pasti ingin baik-baik saja. Namun perlu diingat, tidak semua orang yang kita temui di gereja baik-baik saja. Bagi saya amat mengagumkan bagaimana gereja bisa menjadi sebuah suaka bagi banyak orang dengan kondisi dan tujuan yang beragam: yang senang dan sedang merayakan, yang sedih dan butuh penghiburan, juga yang sekadar mencari jawaban.
Kita bertemu dan melayani orang-orang yang rapuh, dan apabila kita tidak rapuh pula seperti mereka, pelayanan yang kita lakukan tidaklah empatis.
Bahkan dalam Ekaristi sendiri, tubuh Kristus yang telah dikonsekrasikan pun hancur dan rapuh agar cukup bagi semua orang. Firman dan tubuh Kristus menjadi rapuh dan hancur untuk umat Allah yang rapuh dan hancur pula. Yesus menyelamatkan dan menguduskan kita dengan menjadi sama dengan kita: Ia rapuh bagi kita yang rapuh. Dengan kerapuhan itu, kita dikuatkan.
Apakah kita sudah cukup rapuh?
Rene Annamis (Anna Maria), mahasiswi STF Driyarkara, Jakarta