HIDUPKATOLIK.COM – “Kemuliaan”, “kebesaran”, “kekayaan”, “kepintaran”, atau apa pun yang luar biasa, itu bagus-bagus saja. Orang kaya tidak salah. Orang berpangkat juga oke. Orang mulia silakan saja. Selebritas banyak penggemar. Orang pinter, apa lagi. Sama kepada mereka yang biasa-biasa saja, kita harus hormat.
Tiba-tiba ingat teman SD yang orangtuanya kaya-raya. Pergi dan pulang sekolah diantar mobil mengkilat. Sopirnya menunggu di depan sekolah sampai pulang.
Rumahnya megah dan mewah. Pakaiannya mentereng. Pasti harganya mahal. Teman-teman berusaha dekat dengannya. Maklum, kadang-kadang nraktir saat istirahat tiba.
Meski di kelas tak pandai, pak guru menyayanginya. Selalu sabar bila sulit menjawab dikte atau imla. Namanya sering disebut sebagai teladan bagi mereka yang suka nakal di kelas.
Sampai di situ nampaknya biasa-biasa saja. Yang menjadi ganjalan, adalah ketika dia mulai menggunakan kekayaan orangtuanya sebagai senjata. Padahal, tak secuil pun itu milik dia. Semuanya punya papa dan mamanya. Sering dia minta diistimewakan, hanya karena kekayaan orangtuanya.
Harus masuk tim sepakbola. Maklum, baju seragam dan bola sumbangan dari papanya. Padahal, dia tak pandai menggiring bola.
Baris-berbaris harus di depan, padahal posturnya tak sesuai. Maklum, baju seragam juga dari papanya.
Masih banyak keistimewaan lain yang “dituntutnya”. Kalau tak dipenuhi, ancaman menarik fasilitas dikeluarkannya. Dan kami dibuat tak berkutik, termasuk pak guru dan kepala sekolah.
Kisah itu tak ada yang istimewa. Kejadiannya berlangsung begitu saja. Fenomena datar-datar saja, tak berkesan dan tak serius. Kami baik-baik saja. Sampai tamat SD dan kemudian tak pernah jumpa dengannya lagi.
Sekian puluh tahun kemudian, baru saya tahu, apa yang dilakukan sang teman disebut “borrowed glory”. Kemuliaan (atau dalam hal ini adalah “kekayaan”) yang dipinjam dari papanya dan dibanggakan kepada khalayak sekolah, seolah-olah prestasinya.
“Borrowed Glory is when you couldn´t think of a way to say something. If your family is rich and you smug about it, that´s borrowed glory because you haven´t done anything rich for them, you just coast”. (https://gentlehandsfinalproject.weebly.com/blog/borrowed-glory).
“Borrow glory” tak hanya “meminjam kekayaan”, tapi bisa juga “kekuasaan”, “nama besar”, atau hal-hal lain yang secara duniawi diagung-agungkan oleh manusia.
Pihak yang “memberi pinjaman” juga tak terbatas pada “orangtua”, tetapi bisa pihak-pihak lain yang mungkin tidak langsung berkaitan dengan si peminjam. Contoh lain adalah partai, negara atau bahkan perusahaan.
Partai politik harus dipimpin turunannya atau kelompok yang (sangat) terbatas saja. Borrowed glory dari mereka yang membesarkannya di masa lampau, biasa disebut oligarki.
Warga negara dari negara-negara maju sering bangga berlebihan atau cauvinistis sebagai bagian dari negara hebat itu. Padahal tak setitik pun dia menyumbang kebesaran negaranya.
Hati saya mongkok (Bahasa Jawa : bangga berlebihan) setiap ada (mantan) murid almarhum bapak dan ibu saya yang memuji kehebatan mereka sebagai guru.
Padahal, saya tak pernah secuil pun ikut mendidik mereka. Saya borrowed glory, meminjam kemuliaan orangtua sebagai guru yang dedikatif. Mereka bekerja keras dan banting tulang mendidik murid-muridnya, saya yang mendapatkan madunya. Tak jelas, siapa yang berjasa, siapa yang dapat pujian.
“Sapi nduwe susu, pedhet entuk jeneng”.
Seseorang yang bekerja di perusahaan besar dan terkenal kemudian memamerkan “kehebatannya” adalah “borrowed glory”. Perusahaannya hebat, tapi dia belum tentu punya kontribusi apa pun terhadap nama besarnya.
Alumni sekolah unggulan, belum tentu laris di dunia kerja. Prajurit dari kesatuan elit, belum tentu mahir perang. Dokter dari rumah sakit terkenal, belum tentu pandai menyembuhkan. Jurnalis dari media kondang, belum tentu piawai menulis. Pelawak eks Srimulat, belum tentu lucu.
Demikian seterusnya, yang penting jangan gembelengan, karena yang besar adalah institusi asal, bukan individu-individu.
Tidak hanya sampai di situ. Karyawan yang borrowed glory berpotensi kontraproduktif. Tak ada achievement tapi merasa nyaman dan bangga karena perusahaannya sudah kadung bernama besar. Ironisnya, perusahaan yang “membesarkannya” tak memberikan tuntutan yang lebih tinggi dari itu. Keduanya berangsur-angsur tenggelam dalam sumur madu yang menina-bobokan.
“Area nyaman” menyelimutinya, lama-lama semakin membenamkan dia. Posisinya semakin terpuruk. Jauh dari berprestasi tapi tak pula bisa disingkirkan. Tak punya nilai apa pun, tapi merasa berjasa besar. Apalagi bila dia tak cepat move on.
“Benalu akarnya semakin menghunjam ke batang. Ia semakin rindang, sang pohon induk beringsut kering kerontang, akhirnya mati”. (PMS).
Dalam skup yang luas, setiap manusia mempunyai tanggungan borrowed glory. Semua “miliknya”, bukanlah miliknya. Apa yang dibanggakan hanyalah “pinjaman” dari Sang Pemilik Agung. Dari sanalah kita berasal dan ke sanalah kita akan kembali. Tak sepantasnya bangga berlebihan terhadap barang pinjaman.
“Karena segalanya adalah pemberian-Mu dan apa yang kami berikan ini adalah kepunyaan-Mu juga”. (1Tawarikh 29:14)
P.M. Susbandono, Kontributor, Penulis buku Inspiratif