HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 10 Oktober 2021 Hari Minggu Biasa XXVIII Keb. 7:7-11; Mzm.90:12-13.14-15.16-17; Ibr 4:12-13; Mrk.10:17-30
THOMAS Merton, seorang rahib Trapist yang terkenal, dalam bukunya The Way of Chuang- Tzu (1965), pernah mengatakan demikian, “Bagi Chuang Tzu (Zhuangzi, filosof Taoisme), sebagaimana dalam Injil, kehilangan hidup berarti menyelamatkannya, dan berusaha menyelamatkannya berarti kehilangan akan hidup itu. Di sini nampak afirmasi tentang dunia yang tidak lain adalah kehancuran dan kehilangan. Penolakan terhadap dunia nyatanya membawa dan menyelamatkan orang pada rumahnya sendiri, yaitu dunia Allah.” Komentar Merton ini dapat juga ditafsirkan, kehendak dan sikap untuk berhati-hati dan menjaga diri dari kelekatan pada dunia, akan membawa orang ke dalam hidup bersama TUHAN. Nah, perihal melepaskan diri dari kelekatan duniawi ini juga pernah disinggung oleh Yesus dalam sebuah kisah di Injil Markus yaitu tentang seorang kaya yang mencari jalan untuk memperoleh hidup kekal.
Dikisahkan, seorang kaya datang menemui Yesus untuk bertanya bagaimana mewarisi hidup kekal. Di sini, hidup kekal mengacu pada kehidupan di dunia yang akan datang setelah kebangkitan. Jawaban Yesus mirip dengan ajaran para rabi (guru) Yahudi lainnya. Untuk mencapai hidup kekal, orang harus melakukan segenap perintah dan petunjuk penting dalam hukum Taurat, khususnya sepuluh perintah Allah.
Ketika orang kaya itu menyatakan dirinya telah menjalankan semua perintah itu, Yesus melihat ada satu hal yang masih kurang, yaitu membagikan seluruh hartanya untuk orang miskin. Sesungguhnya, tindakan memberi sedekah kepada orang miskin termasuk salah satu perintah dan praktik penting dalam agama Yahudi. Sedekah malahan dianggap sebagai harta di surga yang menjamin hidup kekal. Sebagian besar rabi Yahudi tidak meminta muridnya untuk menyedekahkan semua hartanya. Namun, Yesus menuntut lebih bagi para muridnya. Hampir seluruh hartanya harus dilepaskan jika ingin mengikutinya.
Bagi orang kaya, yang hidupnya sudah lekat dengan hartanya, perintah Yesus jelas tidak masuk akal. Ia akhirnya pergi dengan sedih dan kecewa. Menanggapi reaksi orang itu, Yesus berkata, “Alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah. Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Jika Yesus melarang para pengikutnya saat itu untuk melepaskan hartanya, apakah perintahnya itu masih relevan dengan kita sebagai pengikutnya zaman sekarang?
Jika ditilik lebih dalam, apa yang dikritik Yesus pertama-tama bukan soal memiliki kekayaan, tetapi kelekatan terhadap kekayaan tersebut. Kelekatan ini adalah salah satu jerat paling berbahaya dari kekayaan. Semakin lekat, semakin orang enggan untuk melepaskannya dan semakin orang dikontrol olehnya. Padahal, kekayaan itu fana dan tidak bertahan lama sebab ia mudah diperoleh tetapi juga mudah sekali hilang dalam sekejap.
Bahayanya lagi, kekayaan dapat membuat orang melupakan TUHAN dan sesamanya. Artinya juga, ia kehilangan hidup kekal. Sebab, lebih menggantungkan hidupnya pada kekayaan yang fana, orang telah masuk ke dalam perangkap jaminan hidup yang palsu. Padahal, hanya TUHAN-lah yang memberikan jaminan hidup yang sejati, sekarang dan kelak. Sekali lagi, bukan kekayaannya, tetapi kelekatan terhadapnya itulah yang berbahaya.
Slogan “kekayaan untuk hidup, bukan hidup untuk kekayaan” kiranya dapat menjadi rambu-rambu untuk bersikap hati-hati terhadap perangkap kekayaan. Lebih baik menumpuk harta surgawi dengan perbuatan baik melalui kekayaan yang kita miliki daripada menumpuk harta duniawi yang terkadang membuat kita buta terhadap penderitaan dan kesulitan sesama di sekitar kita. Semakin kita berani melepaskan diri dari harta kekayaan, semakin kita memiliki ruang untuk menerima dan menumpuk harta surgawi.
Hidup tidak pernah diukur dari berapa banyak harta yang kita miliki (termasuk kekuasaan dan jabatan), tetapi dari bagaimana kita menggunakannya dengan penuh makna. Dengan berani berbagi atas harta kekayaan, kita akan beroleh harta surgawi – penjamin hidup kekal – sekaligus menangkis kelekatan pada kekayaan.
“Kelekatan terhadap kekayaan adalah salah satu jerat paling berbahaya.”
Romo Albertus Purnomo, OFM, Ketua Lembaga Biblika Indonesia
HIDUP, Edisi No. 41, Tahun ke-75, Minggu, 10 Oktober 2021