HIDUPKATOLIK.COM – Di atas ombak ada sebuah perahu Mentawai, yang mengingatkannya akan pulau indah untuk mewartakan belas kasih Tuhan.
SAAT mengundurkan diri sebagai Uskup Padang, Mgr. Raimondo Cesare Bergamin, SX menyampaikan ‘wasiat’ berbunyi demikian: “Saya adalah uskup pertama Keuskupan Padang, tetapi saya sangat mengharapkan, bahwa saya adalah uskup yang terakhir, yang diambil dari orang asing. Uskup Padang yang akan menggantikan saya, haruslah orang Indonesia.”
Harapan dan doa Mgr. Bergamin terkabul. Paus Yohanes Paulus II mengangkat seorang imam dari Ordo Kapusin (OFMCap) yang masih muda belia saat itu. Pastor Martinus Dogma Situmorang, OFMCap dalam usia 36 tahun didapuk menggembalakan umat Keuskupan Padang, Sumatera Barat sejak ditahbiskan di Gereja Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Katedral Padang, 11 Juni 1983.
Dari segi wilayah, Keuskupan Padang tergolong satu wilayah gerejani yang luas. Terhampar di tiga provinsi, masing-masing Sumatera Barat (Sumbar), Riau, dan Jambi. Maka, kehadiran seorang uskup muda nan pekerja keras sangat ideal untuk berkeliling dari provinsi ke provinsi. Terkadang harus menggunakan kendaraan roda dua, perahu motor. Tak jarang harus jalan kaki. Panas terik, hujan, dan badai gelombang dilalui saat kunjungan pastoral ke stasi/paroki di Kepulauan Mentawai misalnya.
Mgr. Martinus dipanggil Tuhan pada tanggal 19 November 2019 saat ia mengikuti Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) di Bandung, Jawa Barat. Jika dihitung, 36 tahun keuskupan ini ia gembalakan.
Setelah sekitar dua tahun takhta lowong (sede vacante) di Katedral Padang, lagi-lagi keinginan Mgr. Bergamin, terjawab kembali. Seorang imam kelahiran Semarang, Jawa Tengah, tahun 1968, Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX dipilih Paus Fransiskus menjadi gembala Keuskupan Padang.
Jika Mgr. Martinus adalah seorang ahli di bidang spiritualitas lulusan Roma, uskup ketiga Padang ini berlatarbelakang Kitab Suci bertitel Doktor dari Universitas Kepausan, Gregoriana, Roma. Kendati usia terpaut jauh saat ditahbiskan menjadi uskup, namun keduanya tampaknya punya semangat misioner yang tak kalah trengginasnya, berlayar dari pulau ke pulau di Kepulauan Mentawai. Mgr. Rubianto pun menempatkan pengembangan misi di Mentawai menjadi salah satu perhatiannya. Hal itu tergambar dari sasanti (lambang) penggembalannya.
Lambangnya adalah perisai yang terbagi menjadi tiga bagian: dua bagian di atas, kiri dan kanan, dan satu bagian besar di bawah. Di bagian atas sebelah kiri, dengan latar belakang merah, adalah Kitab Suci, bidang minat studi yang pada saat dipilih sehari-harinya, ia mengajar Kitab Suci di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Mewartakan Kabar Gembira dan membina kehidupan umat beriman berdasar pada Sabda Allah senantiasa menjadi perhatiannya.
Di bagian atas sebelah kanan, dengan latar belakang kuning, adalah seekor kepiting berwarna merah dan sebuah salib berwarna coklat. Cerita mengenai kepiting dan salib ini merupakan bagian dari kisah perjalanan misi Santo Fransiskus Xaverius di Maluku. Mgr. Rubianto adalah seorang misionaris dari Serikat Misionaris Xaverian (SX). Serikat yang didirikan Santo Maria Guido Conforti di Parma, Italia pada tahun 1895 ini menjadikan Santo Fransiskus Xaverus sebagai pelindungnya.
Di bagian bawah perisai, dengan latar belakang biru, ada beberapa simbol. Di kiri atas ada bintang bersudut enam berwarna kuning, yang bersama dengan laut biru di bawahnya adalah Stella Maris atau Bintang Samudera, salah satu gelar Bunda Maria. Di kanan atas ada dua untai buah andalas berwarna ungu, melambangkan Pulau Sumatera. Di tengah bawah, ada tiga ombak, melambangkan lautan yang menghubungkan Sumatera dengan pulau-pulau di sekitarnya. Di atas ombak ini ada sebuah perahu Mentawai, yang mengingatkannya akan pulau indah tempat Frater Rubianto untuk pertama kalinya menjalankan tugas misionernya (saat menjalani masa Tahun Orientasi Misioner). Di atas perahu ini ada seekor induk pelikan dengan tiga anaknya yang masih kecil. Induk pelikan ini terlihat berdarah, setelah ia memberikan daging dan darahnya sendiri untuk makanan bagi anak-anaknya. Pelikan ini adalah lambang Kristus.
Dan, di atas perisai ditempatkan sebuah galero atau topi khas klerus berwarna hijau, dengan enam jumbai pada masing-masing sisinya. Di bagian tengah belakang perisai adalah sebuah salib pancang berwarna kuning keemasan. Galero hijau dengan enam jumbai berikut salib pancang ini merupakan penanda bahwa sang empunya lambang adalah seorang uskup.
Akhirnya, di bagian bawah perisai terdapat pita berwarna kuning keemasan, bertuliskan moto penggembalaan Uskup Rubianto dalam Bahasa Latin: “Misericordia Motus”, artinya “Tergeraklah hati-Nya oleh belaskasihan” (Luk. 15:20). Demikianlah, Gereja diundang untuk menampilkan wajah Bapa yang berbelaskasihan.
Misi Gereja di Kepulauan Mentawai bagaikan tanah terjanji baru bagi Keuskupan Padang, selain wilayah Riau dan Jambi, tentu saja kawasan Sumbar lainnya. Di Mentawai, benih panggilan menjadi biarawan-birawati sudah tumbuh, bahkan telah memetik hasil, termasuk imam diosesan. Padahal, benih iman di kawasan ini masih tergolong baru ditaburkan. Dari total sekitar 125 ribu jiwa umat Keuskupan Padang, sekitar 28 ribu jiwa berada di Kepulauan Mentawai yang tersebar di tujuh paroki: Sikakap, Siberut, Sikabaluan, Saibi, Tuapeijat, Bataet, dan Sipora.
Tak mengherankan jika Bupati Kepulauan Mentawai, Judas Sabaggalet menyambut gembira kehadiran Mgr. Rubianto. “Kami bersyukur kepada Tuhan, sepeninggal Mgr. Martinus, dan melalui penantian yang cukup lama, Tuhan mengutus gembala baru di Keuskupan ini. Kegembiraan ini ditambah lagi. Bapak Uskup Terpilih sudah pernah berkarya di Keuskupan Padang sebelum ditahbiskan menjadi imam, terutama di paroki-paroki di Mentawai,” ujarnya menjawab HIDUP.
Menurut Sabaggalet, di satu sisi, umat Katolik Mentawai merupakan umat Katolik ‘asli’ Sumbar. Namun di sisi lain, umatnya bergelut dalam lingkaran kehidupan yang memprihatinkan. Mentawai masih daerah 3T di Sumbar. Kontribusi kemiskinan untuk Sumbar dari Mentawai 14.35%.
“Ini tantangan bagi Bapak Uskup yang baru. Kongregasi Xaverian, sebagai misionaris yang membawa Kabar Gembira ke Kepulauan Mentawai, berhasil menempatkan dua orang uskup di Keuskupan Padang, Mgr. Bergamin dan Mgr. Rubianto. Namun tidak berhenti di sana. Penguatan umat sangat urgen di Mentawai, apa lagi di era keterbukaan sekarang, semua orang bisa ke Mentawai sampai ke pelosok dan beraktivitas dengan bebas. Namun, umat kita belum mandiri,” ujar Sabaggalet.
Dengan bertolak dari Kepulauan Mentawai, Mgr. Rubianto tentu saja bukan hendak menomorduakan wilayah pastoral lain di daratan Sumatera. Sumbar sendiri, semua orang tahu, terdiri dari umat Islam yang taat yang berpadupadan dengan kebudayaan Minang yang kental. Maka, dialog dengan umat Muslim menjadi tantangan tersendiri bagi Uskup Ruby yang sejak frater getol menggalang komunikasi lintas iman. Ketika menjadi Rektor Skolastikat Xaverian di Jakarta, dialog lintas iman ini sudah menjadi santapan sehari-harinya bersama dengan para frater. Di luar Kepulauan Mentawai, di Sumbar terdapat delapan paroki.
Situasi yang agak berbeda dengan wilayah Riau dan Jambi. Dua provinsi yang menjadi tujuan para perantau dari pelbagai wilayah di tanah air, utamanya dari Pula Sumtera sendiri. Di Riau, saat ini ada 12 paroki dan 1 kuasi paroki. Sedangkan di Jambi baru terdapat 1 paroki. Dua wilayah provinsi ini juga menunggu sekaligus menjanjikan untuk pewartaan Kabar Gembira. Yayasan pendidikan Katolik cukup mendapat tempat di hati masyarakat di provinsi ini.
Selain pastoral parokial, kelompok atau komunitas kategorial juga memerlukan sentuhan kasih Uskup Rubianto. Ketua Presidium I DPD WKRI Padang, Veronika TPW mengatakan, tantangan dalam pelayanan kategorial adalah wilayah cukup luas. “Pertumbuhan ranting lebih cepat di daerah Kepulauan Mentawai, meskipun di satu pulau kami adakan sosialisasi WKRI, tapi sampai saat ini belum berhasil dibentuk. Kendala yang kami rasakan adalah kurang bersedianya para ibu jika ditunjuk menjadi pengurus, merasa tidak bisa, tidak mampu, tidak punya waktu,” ujar Veronika.
Saat Veronika dan teman-teman menyambangi Mgr. Rubianto sebelum tahbisan, mereka memperoleh dukungan kuat bagi kiprah ormas tertua dalam Gereja Katolik ini. “Bapak Uskup welcome, sangat terbuka dan mendengar, ingin terlibat dalam kegiatan WKRI. Uskup sangat mendukung dan berharap semakin banyak ibu-ibu yang bisa terlibat,” tambah Veronika.
Aneka tantangan lain di Keuskupan Padang menunggu sentuhan kasih dan reksa pastoral Uskup Terpilih. Bagaimana membawa kawanan dombanya bertolak ke tempat yang lebih dalam semangat “Misericordia Motus”.
FHS dari berbagai sumber
HIDUP, Edisi No. 40, Tahun ke-75, Minggu, 3 Oktober 2021