MINGGU, 1 Agustus 2021. Hari sudah gelap, ketika HIDUP mengirimkan pesan WhatsApp kepada Pastor Cornelis Böhm, MSC. “Pastor apakah boleh bercerita sedikit tentang pengalaman bermisi di Keuskupan Amboina selama 55 tahun?” Sejam kemudian Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) kelahiran Saantport, Velsen, Belanda, 5 November merespons pesan itu. “Silakan mengirimkan pertanyaan ke email saya.”
HIDUP berniat menulis tentang 78 tahun kemartiran Mgr. Johannes Aert, MSC dan para martir lainnya di Langgur, Maluku Tenggara yang dirayakan setiap tanggal 30 Juli. Permintaan wawancara itu beralasan karena Pastor Böhm menjadi narasumber utama sekaligus perpanjangan tangan para martir di “Tanah Evav”, Kei. Pun dia juga menjadi misionaris Belanda terakhir yang berkarya di Keuskupan Amboina.
Tiga hari setelah email diterima, Pastor Böhm menjawab pertanyaan. Berikut ringkasan refleksi dan perjalanan misi Pastor Böhm.
Ladang Misi
Tahun 1950-an, belum ada negara mana pun yang gencar mengutus para misionarisnya sebanyak Negeri Belanda. Di Negeri Kincir Angin, suasana “misi” meresapi seluruh umat. Para misionaris asing asal Belanda yang cuti, ketika naik di mimbar gereja, selalu bercerita tentang karya misi. Umat begitu tertarik, apalagi para imam lokal Belanda yang secara statuta hanya melayani di keuskupan tertentu. Cerita mereka padat dan berisi bak magnet yang menarik hati umat dan Gereja Belanda.
Hampir setiap hari umat berdoa untuk karya misi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tidak hanya lewat doa, umat berbondong-bondong mencari dana untuk karya agung ini. Pencarian dana ini tidak saja menyasar lembaga-lembaga karitatif, tapi juga sekolah dan universitas atau perkumpulan keluarga para misionaris. Semua berjuang untuk daerah misi yang menurut cerita asing dan sulit.
Pastor Böhm sendiri waktu itu berusia 12 tahun. Lahir dalam keluarga yang mencintai Ekaristi. Kees, sapaannya, memiliki misi mulia yaitu ingin membagikan Yesus dalam Ekaristi kepada mereka yang belum mengenal Yesus. Dalam pandangan Pastor Böhm daerah misi itu adalah ladang subur bagi mereka yang belum mengenal Kristus.
“Perasaan itu, dengan jatuh bangun, sempat berkembang selama tahun-tahun di seminari dan akhirnya dapat dipenuhi ketika akhir tahun 1966, saya tiba di Indonesia. Waktu itu, saya sudah menjadi imam sejak enam tahun,” cerita Pastor Böhm.
Perasaan bermisi itu makin kuat seiring pertemuan dengan Uskup Amboina yang sedang cuti, Mgr. Andreas Peter Cornelius Sol, MSC. Uskup Sol berpesan, “Domba-domba di Indonesia sedang menanti gembala yang rela memberi hati untuk melayani mereka,” tulis Pastor Böhm sambil mengingat pesan Mgr. Sol, “Kees, Anda cocok dengan misi di Indonesia. Umat akan senang bila Anda di sana.”
Betul saja apa yang disampaikan Mgr. Sol. Ia tiba di Indonesia dan ditugaskan sebagai Kepala Paroki Waur-Watuar, sebuah paroki yang terdiri dari delapan stasi. Paroki ini terletak di Kei Besar, Maluku Tenggara dengan umat kurang lebih. 1.500 orang.
“Kesan saya waktu itu, betapa pentingnya agama bagi umat-umat sederhana ini. Mereka selalu mengandalkan Tuhan dalam hidup.” Maklum waktu itu, Pastor Böhm meninggalkan Belanda dengan proses sekularisasi mulai merebak. Banyak orang makin acuh tak acuh terhadap Gereja. Orang mulai ragu-ragu tentang Allah sendiri.
Lanjutnya, “Di Waur-Watuar saya begitu terkesan dengan umatnya yang sederhana, tapi memiliki penghayatan iman yang kuat. Pengalaman ini menguatkan batin saya. Ternyata sejak awal rupanya di sini saya akan menerima lebih banyak daripada apa yang akan saya berikan.”
Merasa Berguna
Tahun 1947 terdapat di Maluku sebuah Seminari Menengah St. Yudas Thadeus. Seminari itu ada di pusat Vikariat Amboina waktu itu, yakni di desa Langgur, Pulau Kei-Kecil. Pendiri dan rektor seminari adalah Pastor Jacobus Bus, MSC. Pastor Bus sangat membutuhkan seorang pastor pembantu. Karena Pastor Böhm memiliki pengalaman mengajar di Belanda selama empat tahun, maka ia mendapat tugas ini.
Bila dikenang situasi itu, Pastor Bus seorang imam dengan perawakan tinggi. Ia menampilkan diri bagaikan seorang “gentleman” yang berwibawa. Secara senda-gurau orang menerapkan padanya kata-kata Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 13:13, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat”.
Tak terduga, masa tugas di Paroki Waur-Watuar hanya setengah tahun, karena pada Juli 1967, Pastor Bus yang sudah berumur 70 tahun terkenal stroke. Segera sang rektor kembali ke Belanda, dan Pastor Böhm yang sudah mulai menguasai bahasa Indonesia segera menggantikan “guru dan tuan” itu.
Dengan hati berdebar, Pastor Böhm menyeberangi selat “neraka” antara Kei Besar dan Kei Kecil untuk menjadi rektor bagi 100 seminaris. Tak hanya tugas itu, sekaligus mendapat tanggung jawab membantu sebuah paroki kecil di Kei Kecil. “Saya merasa benar-benar sepertinya Tuhan meninggalkan saya. Tidak ada teman pastor, serasa masih ‘hijau’ sebagai imam, juga dipercayakan mengajar bahasa Latin dan Inggris di enam kelas.” Terkadang Pastor Böhm juga harus mencari makan bagi anak-anak, sampai tengah malam duduk mengoreksi tugas-tugas yang dikerjakan para seminaris. “Saya merasa berguna bagi banyak orang, walau di tengah berbagai kelemahan,” katanya.
Dari seminari, Pastor Böhm menjadi Kepala Paroki St. Perawan Maria yang Tak Bernoda, Langgur. Sejak tahun 1981 sampai sekarang tutup usia, ia tetap terlibat dalam karya pendidikan calon-imam dan calon-guru agama, baik di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar maupun di Ambon, selalu bersamaan dengan tugas di paroki dan pusat pastoral.
Garam Dunia
Pastor Böhm menyadari, dalam keterbatasan Tuhan tidak lupa memberikan kepadanya satu-dua anugerah yang bermanfaat bagi umat Keuskupan Amboina. Ia menciptakan berbagai karya yang sudah dibukukan. Banyak tulisannya tentang bidang Liturgi, Katekese, Kitab Suci, dan sebagian besar tentang lingkup Keuskupan Amboina, juga Gereja Indonesia. Selama banyak tahun ia menjadi anggota Dewan Pleno Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Bahkan sampai tutup usia, ia masih mempunyai hubungan baik dengan komisi ini.
Ketika ditanya arti misi bagi dirinya, Pastor Böhm mengatakan kata misi dewasa ini, sedikitnya di Indonesia sudah kembali pada arti awalnya, ialah “perutusan”. Selama sejumlah abad, “misi” diartikan sebagai pewartaan Injil kepada kaum kafir. Syukurlah, sekarang umat sadar lagi bahwa kita semua adalah “misionaris” seorang bagi yang lain. Hal ini sudah dipahami oleh pendiri Tarekat kami Pater Jules Chevalier, yang menyebut kami “misionaris Hati Kudus”, ialah orang yang memperkenalkan cinta Hati Yesus kepada siapa pun juga.
Pastor Böhm meyakini bahwa umat harus menjadi “garam dunia.” Ini bukan berarti, menjadikan seluruh dunia menjadi garam. Satu-dua butir garam memberi bobot kepada seluruh adonan. Umat membutuhkan garam yang walau sedikit bisa mengubah kehidupan umat beriman.
Pastor Böhm selalu berpesan, tidak perlu menjadi air laut yang asin untuk menggarami umat. Lebih bagus sebutir garam bisa mengubah perilaku hidup seseorang. “Inilah arti misi bagi saya. Menggarami hingga semua orang bisa berseru, kini saya sudah bertobat,” pesan Pastor Böhm.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP, No. 38, Tahun ke-75, Minggu, 19 September 2021