HIDUPKATOLIK.COM – Setiap generasi Maluku selalu mengenang iman Katolik yang dibagun dari “darah dan air mata” para misionaris.
SANGUIS martyrum semen Christianorum. “Darah para martir menumbuhkan benih Kekristenan,” tulis Tertullianus (160-225) di era Gereja perdana, yang kerap diangkat St. Yohanes Paulus II dalam homili dan pesan Apostolik masa kepausannya.
Kepulauan Maluku saksi terdepan Tertullianus. Sejak masuknya Misi Katolik hampir 500 tahun lalu di el-Maluco (nama lama Maluku Utara), negeri ini saksi kemartiran-berdarah misionaris Portugis sedari awal. Dan 54 tahun pasca-restorasi misi di Maluku, 13 Misionaris Hati Kudus Yesus (MSC) Belanda kembali direngut-nyawanya oleh regu-tembak Jepang Perang Dunia II pada 30 Juli 1942 di Langgur. Darah mereka membasahi tanah Langgur dan Bumi Maluku.
Setiap generasi Maluku mengenang iman Katolik ini yang dibagun dari “darah dan air mata” misionaris. Umat Kei mengabadikan tragedi kemartiran para misionaris ini di atas jalan bernama Via Dolorosa yang membawa peziarah rohani di Langgur ke makam para ‘pahlawan-Gereja’ masa lalu. Umat Kei tak segan menyebut Bumi Maluku ‘Tanah Para Martir’.
Misionaris Portugis
Pastor Simon Vaz memulai kemartiran di tanah Moro, Halmahera Utara, era Portugis. Tahun 1535 ia dibunuh bersama umat Mamuya di desa Sao (Chawo) Pulau Morotai. Penduduk Sao yang sebagian besar dibaptis imam projo ini menyembunyikannya dari ancaman pembunuhan Sultan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo yang geram melihat hampir seluruh Moro menjadi Katolik.
Sejak tiba di Mamuya 1534, Pastor Vaz tak berdaya menolak kaum Moro, Halmahera Utara dan Pulau Morotai yang bermohon dibaptis. Atas kesungguhan itu, hampir seluruh Mamuya dibaptisnya tahun itu di gereja darurat, yang kini berdiri Gereja Protestan GMIH ‘Imanuel’ Jemaat Mamuya. Momen ini bersama baptisan awal dua kepala desa Mamuya-Tolo dan tujuh warga Moro di Benteng São Paolo Ternate dicatat oleh sejarah Gereja Indonesia sebagai baptisan awal di Maluku tahun 1534.
Pastor Francisco Alvarez di Benteng São Paolo ikut dikirim membantu. Bak jamur di musim hujan, Moro menjadi daerah Misi. Tahun 1535 pesisir Teluk-Galela, Halmahera Utara telah lebih 3.000 umat Katolik seperti dicatat banyak literatur mancanegara Moffett: 2007, halaman 64. Para sultan yang tak rela lumbung pangannya di Moro diganggu sepakat membunuh kedua imam yang disembunyikan di Morotai. Melululantakkan desa-desa Moro, pasukan sultan menerobos gua-gua di Sao. Di sana Pastor Vaz dibunuh. Pastor Alvarez lolos dan balik ke Ternate. Jenazah Pastor Vaz lalu dipindahkan ke Mamuya. Benih itu toh terus tumbuh. Saat St. Fransiskus Xaverius ke Moro tahun 1546, didapatinya 29 desa Katolik di Moro, 18 ada di Pulau Morotai dan dua di Pulau Rau.
Tragedi terus saja ada. Januari 1558 Pastor Alfonsus de Castro dibunuh secara kejam. Ia ditelanjangi, dijemur berhari-hari tanpa makan, tubuhnya dirajam bak hewan. Mantan Superior Yesuit el-Maluco ini tewas setelah lehernya ditebas algojo Sultan Hairun. Sultan dendam atas panglima Duarte d’Eca yang memenjaranya. Ia juga geram, para Yesuit membaptis sultan-sultan sekutunya. Ia lalu meminta putranya Baabullah mengeksekusi de Castro sebagai balasan. Para Yesuit toh tak surut. Mengikuti Fransiskus, mereka setia mengirim rombongan ke Maluku hingga generasi Yesuit ke-16 tahun 1576. Benih itu terus tumbuh dengan tumpahan darah.
Misionaris MSC Belanda
Pemekaran pertama dari Vikariat itu terjadi dengan mendirikan Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw-Guinea, berpusat di desa Langgur, Pulau Kei-Kecil, Maluku Tenggara. Maklumlah, dalam tahun 1888 Vikaris Apostolik sempat memenuhi usulan seorang usahawan Jerman bernama Adolf Langen, yang mempunyai penggergajian kayu di Tual (dekat Langgur), untuk mendatangkan misionaris ke Kei. Mereka adalah pater Johannes Kusters, SJ dan Johannes Booms, SJ. Pemerintah memberi izin untuk menjangkau juga bagian Barat dari pulau raksasa Nieuw-Guinea. Di Roma dianggap lebih tepat kepada wilayah ini diberi nama Prefektur Apostolik Nederlands Nieuw-Guinea daripada Prefektur Apostolik Langgur.
Semenjak awal tahun 1903 Tarekat MSC ambil ambil alih misi ini. Sejak tahun 1904 misi dibuka di Merauke. Kemudian, dalam tahun 1904 juga, di Kei-Besar, dan dalam tahun 1910 di Kepulauan Tanimbar. Seluruh misi tetap berpusat di Langgur. Gereja Langgur menjadi “Katedral” ketika, dalam tahun 1921, status Prefektur Apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik, dengan Mgr. Johanes Aerts, MSC sebagai Uskup pertama
Kisah heroik misionaris MSC tak lekang dari ingatan. Tak kurang para Misionaris Hati Kudus Yesus menggores nurani umat sezaman yang menyaksikan tewasnya 13 misionaris MSC Belanda di depan regu-tembak Jepang yang mengeksekusi brutal Mgr. Aerts dan rekan-rekannya di Langgur.
Kala itu, MSC tengah menikmati suburnya Misi Indonesia Timur. Selama 38 tahun silam Januari 1904, Yesuit baru menyerahkan daerah itu ke MSC-Tilburg. Di 17 tahun awal, daerah penuh religi-budaya Kei, Papua, dan Kepulauan Tanimbar telah dibuka-luas para MSC. Banyak sekolah-rakyat hadir dengan kurikulum sederhana dari guru-guru binaan Misi Langgur di bawah Prefek Pastor Mathias Neyens, MSC. Saat Mgr. Aerts, MSC memulai eranya Juli 1921, umat telah mencapai 16.714 jiwa di Kei, Tanimbar, dan Merauke, dan siswa SR 3.502 dan 85 guru.
Uskup melanjutkan prefektur yang baru diubah Roma menjadi Vikariat Apostolik Papua-Belanda pada 29 Agustus 1920. Selama 21 tahun, Mgr. Aerts mengubah Vikariat menjadi segi tiga emas Indonesia Timur: Kei, Tanimbar, Papua. Di Langgur berdiri bengkel bangunan dan pertukangan dengan pusat pendidikan dan kesehatan yang diasuh para suster Putri Bunda Hati Kudus (PBHK) sejak Juli 1920. Hadir Standaard-School tiga tahun-lanjutan dari SR tiga tahun bagi guru-guru yang akan dikirim ke seluruh Vikariat, selain Hollands–Indische School (HIS) berbahasa Belanda di Tual bagi calon pejabat.
Dari HIS, lahir dua imam-pertama Pastor Eusebius Jamco, Pr (tahbisan 29 Des. 1944, Jakarta) dan Pastor Engelbertus Dumatubun, MSC (tahbisan 6 Februari1945 di Yogyakarta). Tahun 1926 hadir tarekat baru Bruder Hati Kudus dan Tarekat Maria Mediatrix (TMM). Bersama PBHK, MSC membangun Rumah Sakit Hati Kudus Langgur (1928), RS Kei Besar dan Panti Lepra di Katlarat, Kei Besar (1930-an), RS Fatima di Saumlaki (1934), dan sejumlah klinik di Papua.
Misionaris Terakhir
Di kemudian hari tahun 1960 Vikariat Apostolik, bersama hampir semua Vikariat lain di Indonesia, ditingkatkan menjadi Keuskupan. Mgr. Jacobus Grent (sejak 1947 Vikaris Apostolik) menjadi uskup diosesan pertama. Pada tahun itu juga, atas sugesti dari Mgr. Grent, pimpinan Gereja di Roma memberi izin untuk memindahkan pusat keuskupan dari Langgur ke Ambon. Katedral di Langgur dihibur dengan menggelarinya “co-katedral”. Alasannya hanya strategis: Ambon pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusta perkapalan dan segera akan menjadi pusat penerbangan, sedangkan Tual/Langgur masih berstatus “belakang tanah”, walaupun mungkin 90% umat katolik waktu itu tinggal di Maluku Tenggara itu. Adapun Nieuw-Guinea sejak 1947 sudah menjadi Vikariat tersendiri, di bawah pimpinan Mgr. H. Tillemans, MSC.
Malang bagi Vikariat Apostolik Nieuw-Guinea. Jelang 1940, PD II telah melanda Eropa, yang mencemaskan Uskup atas lebih 100 misionarisnya di Vikariat. Dalam kegentingan, Asisten Residen van Kempe-Valk menawarkan Mgr. Aerts dan para misionaris hijrah ke Australia dengan kapal motor yang disiapkan. Tawaran itu toh ditampik Uskup. Baginya, perang bukan halangan bagi para misionaris mewujudkan tanggung jawab. Ia lalu melarang para imam meninggalkan pos-posnya.
Tak dinyana, dini hari 30 Juli 1942 Jepang tiba di Tual. Mereka termakan isu, Misi Langgur gudang senjata Belanda. Seluruh kompleks dikepung dan para misionaris yang tengah nyenyak-tidur dipaksa keluar di halaman. Gagal menginterogasi Uskup atas persenjataan Belanda, pasukan menggiring misionaris ke tepi laut berkepala tertutup. Di depan regu tembak, Pater Gerardus Berns berseru “Untuk Kristus, Raja kita!” Dan dijawab rekan-rekannya “Jadilah!” Detik itu pun peluru-peluru regu tembak menggelegar. Para misionaris yang tak mengenal kejamnya perang tewas. Mayat mereka lalu diseret di bebatuan-karang tajam dan dibuang ke laut. Gereja Indonesia berduka atas pembunuhan 13 misionaris MSC (Mgr. Aerts, 4 imam, 8 bruder) tanpa pengadilan.
Mereka telah menabur iman Tertulllanus dengan taruhan-nyawa. Mgr. Jacobus Grent, MSC melanjutkan tongkat estafet, yang kelak memindahkan Pusat Misi di Langgur ke Ambon di bawah nama baru Keuskupan Amboina, Desember 1963. Era MSC Belanda ditutup Mgr. Andreas Sol, MSC yang memimpin 30 tahun (1964-1994) menggantikan Mgr. Grent. Di usia 100 tahun, Mgr. Sol wafat di Ambon (2015) meninggalkan sisa kecil misionaris Belanda termasuk Pater Cornelis Johannes Böhm, MSC (alm.). Keuskupan ini tumbuh subur bagi Gereja Indonesia bersama Mgr. P.C. Mandagi, MSC penerusnya.
Kini, nama Pastor Böhm, MSC tidak asing di telinga Umat Katolik Keuskupan Amboina. Pastor Böhm (Pastor Kees) sudah mengabdi sebagai imam di Keuskupan Amboina selama 55 tahun. Lebih dari setengah abad ia menghabiskan hidupnya di Keuskupan Amboina dan tak pernah menjadi misionaris di luar Keuskupan Amboina. Ia menjadi misionaris asal Belanda terakhir yang bekerja di Keuskupan Amboina hingga tutup usia pada 22 Agustus 2021.
Frits H. Pangemanan, Dosen di Manila dan rekan penulis Pastor Cornelis Böhm, MSC.
HIDUP, No. 38, Tahun ke-75, Minggu, 19 September 2021