web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Sisi Lain dari “What If”, “Catatan Tambahan” untuk Fenny

5/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – SAYA membaca sebuah artikel yang mencuri perhatian saya di situs ini, tulisan seorang sahabat (M.F. Fenny S) berjudul “What If”. Tulisan yang membawa saya masuk ke dalam permenungan. Saya mengenang kembali, beberapa kejadian dalam hidup dengan perspektif what if. Ternyata saya menemukan hal positif dan saya sungguh syukuri kebaikan Tuhan. Berikut dua contoh peristiwa hidup saya dan keluarga yang menggambarkan sisi positif dari permenungan what if.

Awal Februari 2020, saya menerima tawaran kerja di satu perusahaan interior yang cukup kondang. Waktu itu perusahaan sedang membangun gedung berlantai dua belas, gedung multifungsi, kelak ada retail, hotel, dan perkantoran. Dengan tujuan speed up, maka saya dipekerjakan. Gaji cukup besar, lokasi proyek dekat rumah. Segalanya sangat ideal.

Namun dalam perjalanan, saya menyadari, tidak mungkin melanjutkan berkarya di sini. Baru bekerja tiga minggu, saya memutuskan mundur. Tentu saja ini bukan keputusan mudah, mengingat hal-hal ideal di atas.

Ketika merenung bagaimana jika saya tidak melepas pekerjaan ini, dapat dipastikan saat ini saya jobless, karena kontrak tidak diperpanjang. Dari teman yang masih bekerja di sana, saya mendengar perusahaan mengurangi jumlah karyawan, juga gaji dipotong. Hal ini memang lumrah, banyak terjadi di berbagai perusahaan karena kondisi pandemi.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Harus disyukuri, tidak lama setelah saya mengundurkan diri, saya diterima kerja di perusahaan lain dengan proyek di Bogor. Lokasi memang jauh dari rumah tapi sampai hari ini saya masih bekerja dan gaji utuh.

Kisah lain, dialami anak kedua saya, Agatha Cindy. Sejak SMP dia ingin sekali sekolah atau kuliah di luar. Sebagai orangtua yang hidup dari gajian, tentu tidak mudah mewujudkan cita-citanya.

Sewaktu kelas 8 dia hendak ikut tes beasiswa SMA di Singapura. Untuk memperbesar peluang, dia minta izin ikut les, semacam bimbingan belajar khusus untuk peserta tes beasiswa ini. Tentu saja biayanya tidak murah, namun demi mendukung cita-citanya, saya ijinkan.

Singkat cerita, setelah sukses dalam beberapa tes yang berjenjang, dia gagal dalam tahap akhir, yakni wawancara dalam Bahasa Inggris. Tentu saja kegagalan ini, membuatnya kecewa. Namun bagaimana jika Agatha berhasil? Hampir pasti anakku ini  melanjutkan kuliah di Singapura. Lalu bekerja di sana, karena beasiswa ini mewajibkan ikatan dinas. Dan kami sekeluarga tidak pernah  mendapat kesempatan berlibur ke Eropa. Loh apa hubungannya?

Baca Juga:  Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM: Membawa Salam Damai

Kisah selanjutnya ini membuktikan apa yang semula nampak seperti nestapa, ternyata Tuhan berkehendak memberi yang jauh lebih baik. Agatha melanjutkan pendidikan di SMA Santa Ursula BSD. Saat kelas XI bersama sekitar sepuluh teman-temannya, dia mempersiapkan diri untuk kuliah di Jerman. Selama setahun, setiap pulang sekolah hari sabtu, mereka les bahasa di Goethe Institute, Menteng.

Setelah lulus SMA, bersama empat teman, Agatha mengikuti studkol di BSD (penyetaraan selama dua semester sebelum kuliah di Jerman). Puji Tuhan, Agatha lulus studkol dan berangkat ke Hannover untuk kuliah. Inilah pertama kali kami ke Eropa, karena ikut mengantar. Tahun berikutnya kami keluarga lengkap, kembali ke sana untuk menengoknya, sekaligus jalan-jalan. Sekarang Agatha sudah bergelar M.Sc dan bekerja di Koln, bukan karena ikatan dinas tapi pilihan bebas.

Bahkan seorang Santo Ignatius Loyola pun mengalami momen Quid Mihi Agendum (apa yang harus kuperbuat?). Ignatius melakukan ziarah berjalan kaki ke Yerusalem, dengan tekad ingin mengabdi Tuhan dengan melayani gereja di Yerusalem. Ia terobsesi  berdevosi pada tempat-tempat kehidupan Yesus serta merasul di sana.

Namun apa daya, karena sikon peperangan saat itu dan demi keselamatan Ignatius sendiri, para romo Fransiskan pengelola gereja Yerusalem menolaknya. Ignatius terpaksa pulang ke Barcelona, Spanyol dan menyerahkan diri kepada kehendak Allah yang ingin dilayaninya. Ia memutuskan belajar Bahasa Latin bersama anak-anak remaja agar dapat melanjutkan studi filsafat dan teologi.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Waktu itu bahasa yang dipakai untuk studi memang Bahasa Latin. Bagaimana jika Ignatius diterima oleh romo-romo Fransiskan dan terus tinggal di Yerusalem? Sepertinya tidak akan ada Serikat Jesus (SJ), tidak akan ada Santo Fransiskus Xaverius (rekan Ignatius).

Menapak kehidupan pastilah kita akan menjumpai momen-momen tak terelakan. Bila yang tak terelakan ini bernuansa sedih, kecewa, kesal, atau perasaan negatif lainnya, terima sajalah. Jalani saja dan yakini bahwa dibalik peristiwa ini, Tuhan punya rencana indah. Saya bisa menuliskan ini, karena terlalu banyak kisah hidup yang saya alami membuktikan hal ini.

Dengan demikian maka tidak perlu lagi menghayal what if dan menyesali apa yang sudah berlalu. Bersyukurlah untuk apa yang kita terima hari ini sambil menanti rencana indah Tuhan pada waktu-Nya. Faktanya Tuhan sungguh mencintai kita.

Fidensius Gunawan, Kontributor, Alumni KPKS Tangerang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles