HIDUPKATOLIK.COM – KEMAJUAN teknologi dan perkembangan sosial media yang sangat pesat berdampak baik bagi kehidupan kita, pernah mendengar jargon “media sosial mempersatukan kita, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang baik”. Beberapa dari kita menganggap jargon ini sebagai sebuah ungkapan yang lucu walaupun di sisi lain memberikan tanggapan positif terhadapnya. Kita sepertinya terlena dengan kata-kata diawal dari jargon tersebut bahwa mungkin memang benar media sosial telah mampu mengambil posisi Pos Indonesia untuk mendekatkan yang jauh, bayangkan keadaan kita sebelum adanya sosial media, kita hanya bisa berkomunikasi dengan kerabat kita yang jaraknya jauh hanya melalui surat yang baru tiba 2 minggu setelah dikirim yang artinya satu bulan kemudian kita baru mendapat balasan dari kerabat kita tapi dengan hadirnya media sosial jarak tak lagi ada artinya karena kapan pun kita mau kita dapat berkomunikasi dengan kerabat nun jauh disana meskipun berbeda benua.
Media sosial hadir memberikan segala kemudahan bagi kita, Jakarta – Merauke kini tidak lagi ditempuh satu hari perjalanan udara atau berminggu-minggu perjalanan laut, dengan kekuatan ibu jari ribuan kilometer itu kini dapat ditempuh dalam hitungan detik. Dan akhirnya kita telah nyaman dengan keadaan ini hingga kita lupa bahwa tetangga kita yang jaraknya hanya berbatas tembok yang tebalnya tak lebih dari dua meter kini berada di jarak terjauh dari kita. Kita menjadi tidak peduli lagi dengan mereka yang di sebelah kita, meda sosial telah memangkas ribuan kilometer menjadi hanya sekian detik di saat yang sama ia juga mengubah jarak yang tak lebih dari lima meter menjadi ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Lalu apa yang kita lakukan? Apakah kita menyadarinya dan hendak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya?
Mungkin kami sedikit lebih beruntung dibanding saudara-saudara yang tinggal di luar, di dalam seminari kami tidak harus merasakan itu karena kami tetap menjalani hidup sebagai manusia normal, manusia yang hakikatnya adalah mahluk sosial.
Meskipun hakikat kami adalah mahluk sosial namun kehidupan sosial kami terjadi secara langsung dan alami tanpa perantara sosial media. Kami dibiasakan dan akhirnya mau tidak mau menjadi terbiasa hidup tanpa sosial media sehingga kami tidak kehilangan esensi kami sebagai mahluk sosial. Kemajuan teknologi tidak menggerus hubungan antarmanusia di antara kami, kami menjadi manusia yang benar-benar menjalani komunikasi antarpersonal yang baik tanpa gangguan yang mungkin saja didapat dari kemajuan teknologi itu sendiri.
Seminari tahun orientasi rohani adalah rumah kami. Rumah yang menyatukan kami yang berbeda-beda suku dan budaya. Jawa, Flores, dan Dayak dan lain-lain dipersatukan dalam bingkai rumah tahun orientasi rohani di Lawang, Jawa Timur. Sebagian dari kami tentu tidak pernah membayangkan bagaimana caranya kami dapat hidup, dapat tinggal bersama dengan mereka yang mungkin kami sendiri tidak tau bagaimana budaya mereka, bagaimana kebiasaan mereka, bagaimana watak mereka. Kami tidak bergantung pada informasi yang disediakan gratis oleh layanan internet, google. Tapi kami mendapat informasi itu secara langsung dan mungkin jauh lebih akurat dari informasi yang disediakan internet karena kami bertatapan muka dan hidup bersama selama lebih kurang satu tahun.
Mereka yang berasal dari tanah Borneo dan tanah Nusa Bunga nun jauh di sana kini dapat melihat dan merasakan langsung tinggal ditanah jawa bersama mereka yang asli dari tanah ini. Tidak mudah memang mempersatukan watak keras kami orang-orang Flores dan watak blak-blakan orang Dayak yang harus bergesekan dengan mereka yang katanya “enggeh-enggeh mboten kepanggeh” namun tanpa adanya campur tangan kemajuan teknologi perlahan tapi pasti kami mampu mengikisnya bahkan mempersatukannya. Pernahkah terbayang mereka yang terbiasa memegang mandau kini lebih halus dan mulai dapat mengatakan “aku ora iso” atau mereka yang berwatak keras mulai melunak karena menjungjung norma-norma kesopanan khas jawa “enggeh romo”.
Kami kini telah menjadi satu, tak ada lagi orang Dayak, orang Flores ataupun orang Jawa karena kini kami dapat berdansa bersama iringan lagu goyang Tobelo atau berkaroke lagu “beta mati rasa”, “dayakng janjiola”, atau bahkan lagu-lagu campursari Didi Kempot. Inilah kami yang kami sebut dengan nama “Unity in Diversity” persis seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”. Kami menjadi manusia-manusia yang lebih peduli satu sama lain dan tak lagi menghiraukan dia berasal dari daerah atau dari keuskupan mana. Ketika satu di antara kami sakit, semua merawat, membantu dan memberikan semangat agar lekas pulih.
“Tanpa sadar kami telah mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya meski tak satu pun dari kami yang secara gamblang dapat mengatakannya.”
Direnggut secara Mendadak
Namun kebahagiaan yang kami rasakan dalam bingkai persatuan itu direnggut secara mendadak oleh sebuah virus yang tak nampak namun nyata keberadaannya. Di bulan kedelapan kebersamaan itu kami dipaksa menyerah oleh Covid-19 yang membuat kami harus hidup terpisah-pisah di empat tempat yang berbeda. Satu teman kami harus menjalani isolasi di rumah sakit panti nirmala Malang karena teridentifikasi positif, sementara tujuh orang yang juga mendapat status positif harus menjalani masa isolasi mandiri di rumah sakit, sembilan orang beruntung yang mendapat hasil tes negatif diungsikan ke sebuah wisma yang aman dan sisanya tetap tinggal didalam seminari karena dianggap sebagai orang tanpa gejala (OTG). Hampir selama satu bulan kami hidup tercerai berai seakan jargon “Unity in Diversity” kami diuji oleh virus ini dan oleh kemajuan teknologi karena beberapa alasan para formator kami memperbolehkan kami menggunakan smartphone dan sosial media tentunya.
Ternyata memang benar, sosial media dan kemajuan teknologi dapat sejahat itu, setelah kami dipaksa tinggal di beberapa tempat dan terpisah-pisah kami juga ‘dipaksa’ menjauh hingga hampir merusak tatanan kebersamaan yang telah kami rajut selama ini. Kami hampir kehilangan kebersamaan kami, beruntung karena kami telah hidup setengah tahun lebih tanpa gadget sehingga dua minggu yang kami jalani dengan gadget tidak merusak kebersamaan kami karena alam bawah sadar kami membuat kami jenuh dengan benda itu. Kami mulai merindukan satu sama lain. Mereka yang tinggal di Seminari mempersiapkan acara-acara kecil menyambut kami yang menjalani masa isolasi mandiri di rumah sakit yang hendak pulang ke rumah. Kami pun seperti sebuah keluarga yang akhirnya bertemu setelah sekian tahun terpisah, berpelukan dan saling memberi semangat satu sama lain dan akhirnya saling berbagi cerita tentang apapun yang kami alami selama hidup tercerai berai itu.
Inilah yang mungkin harus kita sadari bersama, mengambil nilai positif dari suatu hal yang terjadi di sekitar atau di dalam hidup kita.
Bahwa memang benar pandemi ini telah banyak merugikan kita karena banyak dari kita yang harus kehilangan sebagian atau bahkan seluruh penghasilannya karena ‘dipaksa’ bekerja di rumah atau dirumahkan, atau bahkan tidak sedikit yang harus kehilangan orang-orang yang kita kasihi. Nampaknya kita memang harus benar-benar percaya bahwa Tuhan tidak pernah memberikan cobaan yang melebihi kekuatan dan kemampuan kita, Tuhan tau kemampuan kita bahkan Ia lebih tau dari diri kita sendiri. Dan akhirnya kita harus percaya bahwa akan selalu ada pelangi setelah hujan.
Mari bijaklah bersosial media dan tetaplah menjadi manusia Indonesia yang berbhinneka tunggal ika dan tetap peduli terhadap sesama. Semoga pandemi ini tidak lagi kita anggap sebagai sesuatu yang menyengsarakan tetapi sebagai sesuatu yang dapat lebih mempersatukan kita.
“Inilah yang mungkin harus kita sadari bersama, mengambil nilai positif dari suatu hal yang terjadi di sekitar atau di dalam hidup kita.”
Frater Cisco Runggat, Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni XXIII, Malang, Jawa Timur
HIDUP, Edisi No. 38, Tahun ke-75, Minggu, 19 September 2021