HIDUPKATOLIK.COM – Akhir-akhir ini saya seringkali mendengar orang berkata, “Seandainya saya dulu ….“ atau “bagaimana jika nanti .….”.
Tampak sekilas seperti perkataan yang biasa saja, tetapi jika didengarkan dengan lebih sungguh-sungguh kata-kata ini sepertinya ungkapan jeritan hati atas perasaan atau angan-angan yang mungkin saja sangat ingin diraih tetapi khawatir tidak dapat tercapai di masa depan … atau bisa juga sebagai suatu ungkapan penyesalan atas sesuatu yang tidak terjadi atau tidak sempat dilakukan atau tidak dilakukan dengan baik di masa lalu.
Jika diingat-ingat saya pun banyak kali mengatakan, “seandainya saya ga begini, pasti ga kaya begini kejadiannya” … “bagaimana jika saya begitu terus jadinya begitu” dan masih banyak lagi “What if…” lainnya. Biasanya setelah itu timbul suatu perasaan sedih, kecewa, penyesalan mendalam yang kemudian menimbulkan suatu kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan pada akhirnya mengganggu pikiran dan ketenangan hidup saya.
Baru-baru ini Marvel Studio merilis sebuah Film serial animasi berjudul “What if” merupakan serial kartun pertama yang diproduksi MCU. Serial animasi yang rencananya dibuat 9 episode untuk season 1, mengangkat tema bagaimana jika peristiwa epik atau momen penting dari film superhero Marvel, dikisahkan kembali dari suatu sudut pandang yang berbeda.
Episode “what if” ke-4 mengangkat kisah dari tokoh superhero Marvel Doktor Strange. Diceritakan bagaimana jika di malam naas itu, Dr Strange tidak “kehilangan tangan” dalam momen kecelakaan, melainkan “kehilangan hati” karena Dr Palmer, sang kekasih terengut nyawanya, apa yang akan terjadi ?
Jika di film sesungguhnya momen kecelakaan merupakan titik balik seorang Dr Strange menjadi seorang superhero dengan kekuatan sihir terhebat sejagad raya dan mampu mengendalikan berbagai benda mistik termasuk benda yang dapat memanipulasi waktu – eye of agamotto.
Namun tampaknya “kehilangan hati” mengubah skenario yang sudah baik ini berputar 180 derajat. Ternyata superhero sehebat dan sepandai Strange juga manusia biasa, punya rasa, punya hati dan dapat merasakan kehampaan dalam dirinya. Perasaan hampa dan penyesalan yang mendalam ini sangat menyiksa jiwa Strange.
Dia tidak dapat menerima bahwa kematian kekasihnya adalah titik mutlak di dalam waktu yang tidak dapat dirubah. Usaha Strange untuk kembali ke momen kecelakaan itu selalu berakhir sama, hal ini membuat Strange semakin frustasi. Peringatan dari The Ancient One, sang guru sudah tidak digurbrisnya lagi. Dia menjadi seorang “monster” yang tidak lagi dapat mengendalikan dirinya, dan tindakannya berpotensi mempertaruhkan keberadaan seluruh alam semesta, termasuk dirinya.
Episode 4 ditutup dengan pernyataan the watcher, satu kehidupan, satu pilihan dan satu momen dapat menghancurkan seluruh alam semesta.
Jika direnung-renungkan, pernyataan the watcher ini mengingatkan saya dengan peristiwa Taman Eden, bagaimana tindakan ketidaktaatan “manusia pertama” menghancurkan seluruh rancangan indah Allah bagi dirinya dan seluruh semesta. Saya jadi berpikir bagaimana jika adam tidak memakan buah itu? Apa yang akan terjadi ?
Present is a gift
Rasanya sulit bagi saya untuk membayangkannya Adam tidak memakan buah itu ………. Tetapi ketidaktaatan Adam ini mungkin dapat dikontraskan dengan ketaatan Yesus sebagai “what if” dari Adam manusia pertama.
Di balik ketaatan yang sempurna dari seorang “anak manusia”, Yesus pun ternyata pernah menggunakan kata “jikalau mungkin” dalam doa pergumulan-Nya yang sangat berat di Taman Getsemani. Tuhan Yesus di dalam kemanusiaan-Nya pernah mengalami ketakutan, kegentaran dan kesedihan yang luar biasa di dalam hati-Nya. Bahkan Yesus mengatakan kepada murid-murid Nya, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya”. Tentunya pergumulan yang dialami Yesus sedemikian beratnya untuk dapat Dia tanggung sendiri, sampai-sampai Yesus berkata seperti itu kepada murid-murid dan meminta murid-murid berdoa.
Di dalam kegelisahan, ketakutan dan kesedihannya, Yesus memilih menyendiri dan masuk lebih dalam ke Taman Getsemani, menjauh dari murid-murid, agar Dia dapat leluasa bicara dengan Allah Bapa. Yesus berucap dalam doanya “jikalau sekiranya mungkin ….. jadilah kehendakmu”. Selesai doa seperti layaknya manusia yang gelisah, Yesus mondar mandir menghampiri murid-murid yang ternyata didapatinya sedang tertidur …
Yesus tambah khawatir memikirkan murid-murid ini, kelakuannya masih kaya begini, diminta berdoa dan berjaga-jaga malahan tidur, padahal sebentar lagi Yesus akan meninggalkan mereka. Belum lagi memikirkan murid satunya yang sedang mengeksekusi rencana pengkhianatan atas diriNya dan sebentar lagi akan membuat dia menderita, pastinya berdarah-darah hati Yesus. Rasanya berdoa 1 kali belum cukup dapat menenangkan diri-Nya. Yesus masuk lagi ke dalam taman dan untuk ke-2 dan ke-3 kalinya Yesus berdoa, “Jikalau tidak mungkin ….. jadilah kehendakmu”.
Doa pergumulan yang sampai saat ini masih sangat menakjubkan bagi saya setiap kali membacanya dan tidak pernah bisa mengerti ataupun sekedar membayangkan, bagaimana Yesus dalam pribadi-Nya yang Mahakuasa, bisa berdoa se-humble itu. Rasanya manusia yang diberi kekuasaan seperti Yesus, besar kemungkinan akan menggunakan kemahakuasaannya seperti yang dilakukan oleh Strange.
Yang membedakan adalah Yesus sungguh-sungguh hadir dalam pergumulannya saat itu dan Yesus mengunakan kata, “Jikalau mungkin” atau, “Jikalau tidak mungkin” hanya untuk meneguhkan diri-Nya, agar Dia mampu mengendalikan perasaan, pikiran dan keseluruhan diri-Nya dalam diri manusia-Nya. Sehingga Dia bisa sampai pada keadaan bebas lepas untuk berserah dan siap masuk ke dalam rencana Bapa.
Tidak tersirat sama sekali suatu maksud dalam diri Yesus untuk mengendalikan keadaan, memutarbalikkan waktu atau mengubah kondisi apapun, baik itu di masa lalu, saat itu maupun di masa yang akan datang, meskipun dia sangat sangat sangat sanggup melakukannya. Yang terpenting bagi Yesus kehendak Bapa yang terjadi dan Dia rela menyelesaikan tugas perutusan-Nya sebagai Juru Selamat meskipun Dia harus menderita.
Jika dibuat film “what if” versi Adam mungkin skenarionya akan tercermin dalam diri Yesus. Rasul Paulus secara eksplisit dalam surat-suratnya (1 Korintus 15:22, 45 dan Roma 5:19) memberikan gelar “Adam kedua” bagi Yesus. Pilihan, tindakan dan keputusan yang diambil oleh “Adam kedua” berbeda 180 derajat dari “Adam pertama”.
Dalam diri Yesus, tidak ada keinginan untuk menonjolkan ke-AllahanNya, berbanding terbalik dengan yang terjadi pada Adam ataupun ‘monster strange’ mereka ingin hidup menjadi “seperti Allah”. Yesus memberi teladan keutamaan manusia yang dikuduskan kepada kita semua untuk selalu mengambil pilihan hidup “bagi dan untuk Allah”.
Satu kehidupan, satu pilihan, dan satu moment dapat menyelamatkankan seluruh alam semesta.
Tidak mudah meneladani Yesus, namun St. Padre Pio sang pendoa Gereja dan dunia, menuliskan sebuah doa yang menurut saya sangat tepat didaraskan saat kita sedang dalam suatu pergumulan tentang masa lalu yang tidak dapat diubah ataupun masa depan yang belum tentu terjadi …. Sebuah doa penyerahan diri total yang sangat indah “Masa laluku Ya Tuhan, ke dalam kerahiman-Mu ; masa kiniku ke dalam kasih-Mu ; masa depanku ke dalam penyelenggaraan-Mu”.
Bagaimanapun kondisi masa lalu dan masa depan kita, yang pasti dan nyata adalah saat ini, yang perlu kita hadapi dan hidupi dengan sukacita dalam kasih-Nya.
“Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift, that’s why it’s called the present.” – Master Oogway
M.F. Fenny S, Kontributor, Alumna KPKS Tangerang