HIDUPKATOLIK.COM – AKU baru saja selesai berdoa. Doa malam yang kusambung dengan doa rosario. Lamat-lamat aku mendengar suara langkah seseorang membuka pintu pagar dan memasuki halaman rumahku. Aku belum beranjak dari tempat duduk. Lilin kecil yang setia menemani kutiup pelan. Aku masih menggenggam rosario. Akhir-akhir ini pikiran dan perasaanku tidak menentu. Semenjak sering mendengar kabar sedih dari kampung halamanku di Yogyakarta. Beberapa saudara atau teman yang kukenal baik, meninggal karena sakit terpapar covid. Juga beberapa tetanggaku di sini telah meninggal dengan sakit yang sama. Aku lebih merasa tenang dan damai bila mengakhiri doa malamku dengan doa rosario.
“Ibu Nana…Ibu Guru Nana…buka pintu!”
Siapa malam-malam begini mengetuk pintu. Suara seorang laki-laki. Agak malas aku menyibak korden jendela untuk memastikan siapa yang datang.
“Ibu Guru, sa Pankras…Pankras Eyao! Buka pintu sudah!”
Suara dari balik pintu kembali terdengar. Ragu-ragu untuk membuka pintu. Kenapa harus malam-malam begini Pak Pankras bertamu?
“Pak Pankras, ada perlu apa ka?” tanyaku ragu. Pintu belum kubuka.
“Ibu Guru, bisa sa pinjam sagu ka? Sa tra sempat beli tadi! Sa pu istri sedang sakit. Tra bisa ke pasar. Sa pu anak lapar,” katanya memelas.
Mendengar alasan Pak Pankras tanpa pikir panjang lagi aku berjalan menuju pintu.
Pak Pankras Eyao seorang lelaki muda seumuran denganku berwajah Papua, berambut keriting warna pirang, berkulit putih albino.
Albino atau albinisme, seperti yang pernah kuketahui kondisi ini terjadi karena adanya kelainan keturunan. Tanda berkurangnya produksi melanin, pigmen pemberi warna kulit, rambut, dan mata. Sebagian orang yang mengalami kondisi albino memiliki rambut, kulit, dan mata dengan warna terang atau bahkan tidak berwarna. Beberapa dari penderita albinisme lebih sensitif terhadap sinar matahari, dan berisiko terkena kanker kulit. Tidak ada penyembuhan bagi albinisme, namun mereka bisa mengambil langkah untuk melindungi kulit dari sengatan matahari. Tapi bukankah di Papua matahari hadir lebih rajin dan panas? Pak Pankras Eyao, seorang pekerja pembawa jenazah korban covid dan sekaligus menguburkannya. Ia tetap harus kuat dan tahan terkena panas terik di pesisir Laut Arafura ini. Aku mengenalnya dengan baik. Kebetulan anaknya yang besar adalah muridku di SD Kasih Amampare.
“Mari, silakan masuk, Pak! Tunggu saya ambikan sagu.”
Sambil membuka pintu, tanpa kulihat keluar. Aku membalikkan badan menuju ke dapur. Kuambil kaleng biskuit berisi sagu yang telah kering. Untung seminggu lalu aku sempat membeli setumang sagu di pasar. Tumang yaitu wadah sagu yang dirangkai dari daun sagu. Sagu sudah dalam bentuk hasil tumbukan halus. Tinggal direndam semalam. Pagi hari air rendaman dibuang. Endapannya di taruh merata di atas nampan yang terbuat dari seng. Kemudian kujemur selama tiga hingga lima hari. Tergantung cuaca saat itu. Setelah kering kusimpan di dalam kaleng bekas biskuit. Sewaktu-waktu hendak membuat papeda, tinggal ambil secukupnya. Bila sudah berbentuk tepung sagu kering maka bisa disimpan dalam waktu lama. Lima tahun tinggal di kampung Amamapare, sebelah selatan kota Timika, lidahku sudah akrab dengan papeda dan ikan kuah kuning.
Aku mengurangi tepung sagu satu sendok nasi ke dalam plastik. Untukku sendiri cukuplah. Lusa aku bisa membeli lagi ke pasar. Biar yang di dalam kaleng kuberikan semua untuk Pak Pankras Eyao. Bisa untuk makan Pak Pankras sekeluarga selama beberapa hari.
Sejenak aku merasakan angin malam masuk rumah berhembus hingga ke dapur. Aroma angin bercampur dengan aroma khas air laut menembus hidungku. Aku mencium udara yang agak berbeda dari biasa. Kutengok ruang tamu tak ada orang. Pak Pankras tidak mau masuk rumah pikirku. Aku menyambar masker sambil berjalan menuju ruang tamu. Dingin. Sepi.
“Pak Pankras…Pak Pankras Eyao…! Halo,di manakah Pak Pankras?”
Kulirik jam dinding. Pukul 23.05 WIT. Kembali kupanggil nama Pak Pankras. Tak ada jawaban. Karena sudah larut malam aku tidak berani keluar sampai ke pagar. Di depan pintu rumah saja kuhentikan langkahku. Setengah berteriak kupanggil lagi namanya.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu bergerak dari balik pagar. Serba putih. Ia berdiri kemudian melambaikan tangannya. Aku terkejut! Itu Pak Pankras atau bukan. Tidak begitu jelas. Aku lupa memakai kacamata.
“Ibu Guru, jang takut. Ini sa. Pankras Eyao! Maaf sa tertidur sebentar ini. Bersandar di pagar. Maaf Ibu Guru. Sa kecapekan. Hari ini sa banyak mengubur jenazah korban covid. Ada sembilan orang, Bu Guru!” Ia menjelaskan sambil menghela napas panjang. Ia masih tetap berdiri di balik pagar.
Sejenak aku terpana. Cukup banyak juga orang meninggal karena covid. Kasihan Pak Pankras. Ia memang bekerja sebagai petugas yang membawa dan menguburkan jenazah dengan protokol covid. Di masa pandemi yang sedang meninggi angka kasus covid, ia harus siap sedia setiap saat. Berat sekali pekerjaannya. Sementara kabar tentang petugas seperti Pak Pankras sangat kurang personilnya. Luluh hatiku. Butuh fisik, mental, dan iman yang kuat untuk menjalani pekerjaan tersebut. Sampai tidak sempat membeli makanan untuk keluarganya.
“Aduh, kenapa bikin kaget saya, Pak! Ini sagunya satu kaleng masih banyak. Bisa dibawa pulang untuk Bapa, istri, dan anak-anak.”
“Ibu Guru taruh saja di situ nanti sa ambil. Sa tra berani dekat-dekat. Bahaya untuk Bu Guru pu kesehatan. Sa belum mandi ini. Masih kotor sa pu badan.”
“Oke. Sebentar, saya ke dapur lagi ambilkan ikan kuah kuning. Sa masak tadi pagi. Nanti sampai rumah bisa Pak Pankras kasi hangat e.”
Aku kembali berlari ke dapur memindahkan ikan kuah kuning ke dalam plastik. Sepanci papeda yang kumasak tadi pagi masih banyak. Kubungkus serta ke dalam plastik. Hari ini aku tidak begitu selera makan. Baru kumakan sedikit siang tadi. Rasanya puas bisa berbagi untuk orang yang sedang benar-benar membutuhkan.
Semua makanan kujadikan satu ke dalam plastik belanjaan dan kutaruh di atas kursi teras.
“Pak Pankras, ini semua dibawa ya. Semoga bermanfaat bagi Bapa dan keluarga.”
“Baik Ibu Guru. Sa minta terima kasih. Ibu Guru masuk rumah dulu dan tutup pintu e. Selamat malam dan selamat istirahat Ibu Guru. Sebentar sa ke situ ambil. Minggu depan sa kasi kembali sagu yang sa pinjam ke Ibu Guru.”
Kembali aku terharu mendengarnya. Oh, Tuhan beri kekuatan dan kesehatan bagi lelaki albino yang baik hati ini agar tetap setia dengan pekerjaannya yang mulia.
“Eh, tidak usah dikembalikan. Sa masih punya banyak di dapur,” jawabku berbohong.
Dari balik korden jendela, aku mengamati punggung Pak Pankras Eyao hingga hilang dari pandanganku.
Oleh Maria Widy Aryani
HIDUP, Edisi No.37, Tahun ke-75, Minggu, 12 September 2021