HIDUPKATOLIK.COM – BAGI Ghébrē Michael, CM hidup sempurnah adalah sama seperti Bapamu di Surga adalah murah hati.
PEMIMPIN Gereja Orthodoks Ethiopia ingin membunuhnya. Mereka menolak kebenaran teologis yang sedang teliti Ghébrē Michael. Abuna (sebutan bagi pemimpin Gereja Orthodoks Ethiopia) melihat bahwa tugas yang diemban Ghébrē bisa menghancurkan refleksi-refleksi teologis yang sedang dibangun para abuna. Bagi abuna, penugasan Ghébrē mengalami cacat karena tanpa izin. Hal ini membuat Ghébrē tak disukai di Gereja Orthodoks Ethiopia.
Banyak cara dibuat agar Ghébrē bisa disingkarkan, termasuk rencana meracuninya. Tetapi Ghébrē tetap saja selamat. Lewat jalan Tuhan, biarawan dari Gereja Orthodoks Ethiophia ini selalu berhasil keluar dari jeratan maut itu. Ketika merasa perjuangan untuk meluruskan dogma dan kehidupan rohani para abuna tidak mendapat respon, Ghébrē memutuskan menjadi biarawan Katolik dan bergabung dengan Kongregasi Misi (Congregatio Missionis / CM).
Ia menjadi imam Vincentian yang taat dan peduli kehidupan rohani banyak orang. Dalam karyanya, imam ini terus mengikuti teladan hidup sang patron Santo Vincentius de Paulo. Ia berkarya dalam bimbingan Roh Kudus demi kehidupan yang baru untuk setiap orang. Ia mewujudkan kehidupan rohani dalam banyak komunitas dan mengajarkan mereka semangat evangelisasi, demi terwujudnya Kerajaan Allah.
Teologi Persatuan
Gereja Orthodoks Ethiopia (Lengkap: Gereja Tawahedo Orthodoks Ethiopia) merupakan Gereja Oritental yang tidak berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik Roma. Gereja-gereja tersebut menjadi predominan di Republik Demokratik Federal Ethiopia dan Eritrea, Afrika. Gereja ini sampai tahun 1959 bergabung dalam administratif Gereja Koptik dan diberi kewenangan untuk memiliki Patriarkh sendiri oleh Paus Orthodoks Koptik Paus Kirilos VI dari Alexandria (terlahir dengan nama Azer Yousef Atta-1902-1971). Setelah kemerdekaan Eritrea dari Ethiopia tahun 1993, Gereja Orthodoks terpisah dari Ethiopia oleh Paus Shenouda III dari Alexandria.
Gereja ini mengklaim berasal dari seorang sida-sida (pembesar dan kepala perbendaharaan Sri Kandake atau Ratu Gersamot Hendeka VII sekitar tahun 4252, Ratu Negeri Ethiopia) yang pernah dibaptis Filipus, seorang dari tujuh diakon (Kis. 8:26). Perikop ini selanjutnya menjelaskan, Filipus menjelaskan kepada sida-sida itu perihal pengorbanan Yesus khususnya soal Persatuan Hipostatik yaitu persatuan dari dua kodrat kemanusiaan dan kealahan.
Refleksi soal tawahedo (dalam bahasa Ge’ez-Ethiopia, berarti: Persatuan) yang merujuk pada Keesaan hakikat Kristus yaitu soal kemanusiaan dan kealahan lengkap Yesus yang tak diragukan. Persatuan Hipostatik (hypostasis) ini membuat Ghébrē kecil ingin sekali mendapatkan pengetahuan lengkap soal dogma ini. Dalam banyak literatur yang ia perolah dikatakan, Kristus dalam tradisi Ortodoks Ethiopia bukan two natures of Christ (Dua Hakikat Kristus) tetapi persatuan dari dua kodrat kemanusiaan dan keilahian.
Rasa penasaran ini membawanya bergabung di Biara Mertulai-Miryam, Ethiopia lalu kemudian ditahbiskan sebagai imam Orthodoks Koptik. Sejak imam, ia sangat tertarik soal perdebatan-perdebatan Kristologis. Ia juga tertarik mengenai istilah hipostatis yang merujuk pada perbedaan nyata antara tiga pribadi Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Atas dasar ini ia menolak ajaran Gereja Katolik mengenai Trinitas sebagaimana tertulis dalam KGK 252. Katolik menggunakan istilah “substansi” (kodrat, esensi) untuk menunjukkan kesatuan Trinitas dalam satu hakikat-Nya sebagai Allah (Ilahi). Sementara Hipostatis berarti berbeda atau Tritunggal yang sehakikat (homo ousios, consubstantial Trinity).
Diceritakan selama masa itu, Ghébrē sangat mencintai panggilannya. Ia menjadi imam yang cerdas dan saleh. Ia memiliki minat yang besar soal kehidupan monastik. Ia tertarik mempelajari tradisi-tradisi apostolik dan tulisan-tulisan para apologetik. Kehidupan monastisisme yang keras membuatnya selalu melahirkan gagasan-gagasan perubahan yang berlandaskan Kitab Suci. Ajaran yang tercantum dalam Perjanjian Lama ini membawanya pada penataan regula-regula yang baru sesuai perkembangan zaman.
Jalan penyempurnaan yang ditawarkan Ghébrē membuat dia dipilih sebagai satu dari sekian evaluator Gereja Orthodoks. Ia menilai kehidupan rohani para imam Orthodoks lambat laun menurun. Biara-biara Gereja Ortodoks sepih dari doa dan matiraga. Ia ingin membuat penelitian untuk mengetahui sejauh mana ketertarikan para imam soal hidup rohani. Atas semangat perubahan, ia melakukan perjalanan ke seluruh negeri dan mengunjungi berbagai biara demi melihat langsung cara hidup para biarawan.
Maksud baik imam yang buta mata sebelah karena kecelakaan, dinilai berlebihan oleh para abuna. Pertengahan tahun 1843, para abuna melihat penelitian pastor Ghébrē bisa berakibat fatal, setidaknya mencoreng wajah Gereja. Mereka pun mencoba meracuninya tetapi selalu diketahui Ghébrē.
Panggilan Baru
Menghadapi maut, Ghébrē terus berkarya. Jalan penyempurnaan sebagai panggilan Allah membuatnya merasa bahagia. Ia merasa begitu nikmat pesan-pesan Tuhan dalam Kitab Suci. Baginya, “Sempurnah sama seperti Bapamu di Surga adalah sempurnah”. Dia tak segan-segan menganjurkan agar para imam melupakan kenikmatan duniawi. Demi melupakan itu, ia mengusulkan monastik eremit (padang gurun).
Imam kelahiran Dibo, Euthopia1790, tak putus asa meski tak disukai. Ia tetap berdoa agar bisa menemukan kebenaran sejati tentang Yesus Kristus. Bahkan sebagian besar hidupnya hingga berusia 50 tahun ia curahkan untuk mencari kebenaran sejati itu.
Hal itu baru terjawab pada September 1843. Suatu hari, tanpa sengaja ia bertemu Santo Yustinus de Yakobis (Justin de Jacobis) dari Kongregasi Misi. Vikaris Apostolik wilayah Ethiopia dan juga Uskup Nilopolis (di wilayah Mesir) ini membuat Pastor Ghébrē jatuh hati pada ajaran Katolik. Ia tertantang untuk mempelajari lebih jauh soal konsep Trinitas dalam Gereja Katolik yang baginya itulah kebenaran hakiki.s
Atas pengalaman baru ini, ia mengajukan diri menjadi biarawan Katolik. Kendati begitu, Mgr Yustinus tidak serta merta menerimanya. Ia melihat kesungguhan dari imam ini, baru kemudian diterima tahun 1844. Mgr Yustinus lalu menugaskannya untuk melayani umat Katolik di Desa Guala, barat Ethopia. Di situ, ia menjadi imam yang benar-benar setia. Pada Desember 1844, Pastor Ghébrē dihibahkan sebuah lahan untuk membangun rumah tempat tinggal. Ia membuat kelas kursus Kitab Suci kepada masyarakat desa tersebut sekaligus melayani Sakramen Pengakuan Dosa.
Sejarah Gereja Ethiopia mencatat, di tahun itu juga sekitar tiga puluh tujuh orang awam Ethiopia yang telah diterima ke dalam Gereja Katolik dan enam orang biarawan Gereja Orthodoks yang mengikuti jejak Pastor Ghébrē. Tujuh tahun berselang, tepatnya 1851, Mgr Yustinus mentahbiskan Pastor Ghébrē sebagai imam dari Kongregasi Misi pada 1 Januari 1851 sebelum menerimakan baptisan “kondisional”.
Tugas perdananya adalah mendampingi Mgr Yustinus mengajar dan membangun sebuah kolose untuk anak-anak Katolik di Ethiopia. Atas restu Mgr Yustinus pula, ia mendirikan sebuah seminari untuk calon-calon imam pribumi dari Ethiopia. Ia benar-benar menjadi bapak yang dicontohi oleh banyak seminaris. Ia berani berbicara tentang kebenaran hakiki yang melekat pada diri Trinitas kepada para seminaris. “Bagiku kealahan dan kemanusiaan Yesus hanya dapat terlihat ketika orang beriman dengan hati, bukan pikiran semata,” pesannya kepada para seminaris.
Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi penganiayaan terhadap umat Katolik yang dihasut oleh Uskup Ortodoks. Karena hasutan itu, Pastor Ghébrē ditangkap dan dipenjarakan bersama empat orang Ethiopia yang baru menjadi Kristen. Pastor Ghébrē mengikuti Mgr Yustinus yang ragu dengan validitas ritus pentahbisan untuk diakon dan imam. Ia mengkritik sumber-sumber teologi sakramen Ortodoks Ethiopia. Ia juga ragu dengan forma dan materi dalam pembaptisan.
Kedekatan pemimpin Orthodoks dengan seorang kaisar baru yang diangkat pada Februari 1855 yaitu Kaisar Tewodros II membuat mereka dengan gampang menyebarkan fitnah tentang Pastor Ghébrē. Ketika dipenjara, mereka menyiksa Ghébrē dengan mengikat rantai di kedua kakinya. Pastor Ghébrē benar-benar menderita, tetapi ia selalu menjawab “Iman membuatku tidak akan melawan. Cinta akan Kristus terus menuntunku untuk mengampuni anda”. Akhirnya setelah mengalami penderitaan yang berkepanjangan, Pastor Ghébrē meninggal karena Penyakit Kolera pada 30 Agustus 1855.
Proses beatifikasinya dibuka tahun 1920 dibawah penggembalaan Paus Benediktus XV (1854-1922). Ia digelari venerabilis di masa penggembalaan Paus Pius XI (1922-1939) pada 22 Mei 1926. Beberapa bulan kemudian, Paus yang sama membeatifikasi sekaligus mengkanonisasinya sebagai orang kudus tepat tanggal 3 Oktober 1926. Gereja mengenangnya setiap 1 September.
Yusti H. Wuarmanuk
Santo-santa edisi 04 tahun 2019