HIDUPKATOLIK.COM – MENTARI membiaskan berkas-berkas jingga. Bayu rembang petang membelai kulit Soekarno. Syahdu nian. Kapal van Riebeeck perlahan membiarkan diri dipeluk pelabuhan Ende. Hari ini 14 Januari 1934.
“Dik Inggit, tolong bangunkan Ratna dan Bunda Amsi. Sebentar lagi kapal kita merapat,” kata Karno pada puan paramarta di sampingnya.
Setakat kemudian, kapal barang dari Surabaya itu pun bersandar. Terpancar raut kelelahan pada rona keluarga Soekarno setelah lebih dari sepekan berlayar.
***
Hari-hari pertama di Ende terasa berat bagi Soekarno. Suntuk nian berada di rumah biarpun ia telah mencoba mengusir jenuh dengan membaca buku, bermain biola, dan berkebun ala kadarnya.
“Aku mau bertemu kepala kampung. Biar dia yang antar aku keliling Ende,” kata Soekarno pada opsir muda yang ditugasi mengawasinya. “Geen probleem, Meneer,” jawabnya.
Tak lama, datanglah pria berbaju tenun hitam. “Mari, Ame Soekarno. Saya Tinus, mosalaki atau kepala kampung di sini. Datanglah ke pondok kami,” ajaknya.
Soekarno melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak. Di ujung jalan itu, ada sebuah rumah bersahaja. Di situlah sang mosalaki tinggal bersama keluarga tercinta.
“Selamat siang, Mama. Indah sekali kain yang Mama pakai,” sapa Soekarno pada istri sang kepala kampung. “Terima kasih, Ame. Semua hasil tenunan sendiri. Sarung ini namanya lawo. Selendang ini namanya luka,” jawab wanita itu sembari tersenyum bahagia.
“Rumah adat ini juga indah. Apakah kalian bergotong royong untuk membuatnya” selidik Soekarno.
“Benar, Ame Soekarno. Kami musyawarah atau gare tei sama-sama sebelum membangun sa’o ria ini. Ada peribahasa kami: “Su’u no’o wuwu, wangga no’o wara, ndate no’o fe’a, kami kema sama-sama”. Semua beban kami tanggung bersama dan kami gotong royong dalam bekerja,” papar Tinus dengan bangga.
“Wah, mirip dengan peribahasa orang Jawa: “Holopis kuntul baris. Gotong-royong seperti burung bangau terbang berbaris di angkasa,” komentar Soekarno.
”Benar sekali, Ame Soekarno. Kami di Ende ini mencoba hidup rukun. “Ma’e papa wela, ma’e papa tadu, ma’e papa jenu”. Nenek-moyang berpesan, “Jangan membunuh, jangan saling bertanduk seperti kerbau,” tutur sang kepala kampung.
Soekarno menepuk-nepuk bahu Tinus. “Sangat luhurlah warisan petuah leluhur orang Ende. Aku kagum,” pujinya.
Tetiba terdengar langkah kaki sekelompok orang. “Tabe, o Ame Masalaki,” sapa seorang pemuda gagah yang memimpin rombongan pemuda-pemudi itu.
“Tabe, miu ata ko fai nuwa muri, mai sai nai gha sa’o ria tenda bewa. Selamat datang pemuda-pemudi, mari masuk ke rumah adat. Kebetulan kita kedatangan tamu istimewa dari Jawa. Dia bisa bercerita tentang kehidupan di Jawa sana. Bukan begitu, Ame Soekarno?” tanya sang mosalaki.
“Dengan senang hati. Ada acara apa sehingga kalian menghadap Bapak Tinus?” selidik Soekarno.
“Kami biasa mendengar cerita-cerita adat dari beliau dan istri beliau. Kami ingin mengajarkan kisah-kisah itu untuk anak-anak,” papar sang pemuda.
“Wah, bagus sekali. Saya juga mau mendengarkan cerita adat Ende. Nanti kita bisa buat pertunjukan sandiwara,” ujar Soekarno.
“Baiklah, Ame Soekarno. Saya akan sangat senang jika nanti anak-anak muda ini bisa mementaskan tonil tentang kisah raja pertama Ende. Konon, dia datang dari Jawa menaiki seekor ikan paus. Pernahkah Tuan Soekarno mendengar kisah Jari Jawa ini?” tanya sang kepala kampung.
“Belum. Menarik sekali. Nanti kita cari cara agar kalian bisa buat pentas di hadapan orang banyak di kota. Kalian siap?” tanya Soekarno. Para pemuda-pemudi itu saling pandang sambil mengangguk-angguk.
***
Soekarno diiringi dua pemuda kampung berjalan melihat-lihat pusat keramaian di Ende. Pagi yang cerah. Orang lalu-lalang di sekitar pasar Ende.
“Goedemorgen, Meneer Soekarno, sedang belanja apa?” sapa seorang Belanda yang turun dari sepedanya. Soekarno sedikit terkejut kala mendengar namanya disebut.
“Oh, goedemorgen, Pater. Senang bertemu Pater di tengah pasar ini,” kata Soekarno pada sosok berjubah itu.
“Saya Pater Gerardus Huitjink, SVD. Saya banyak mendengar tentang Anda dari opsir-opsir. Mereka bilang Anda suka membaca. Mari singgah ke biara kami,” undang sang pastor.
Soekarno tertawa riang menyambut ajakan itu. Ia pun memberi kode agar dua pemuda pengiringnya mengikutinya ke Biara.
Biara SVD Santo Yosef. Demikianlah nama biara itu. Pater Huitjink membawa tetamunya ke ruang baca.
“Silakan Tuan Soekarno datang ke sini. Koleksi buku kami tidak banyak, namun lumayan untuk mengisi waktu. Biara ini terbuka untuk semua orang,” ujar sang misionaris.
“Luar biasa, Pater. Oh iya, ada satu permintaan saya mewakili anak-anak muda ini. Bolehkah mereka mementaskan tonil di aula biara ini?” pinta Soekarno.
“Tentu saja. Saya juga ingin menonton jika anak-anak muda pentas nanti. Apakah saya harus membayar tiket?” canda sang gembala.
Soekarno dan dua pemuda tertawa lepas. Tuhan Yang Mahaesa telah memberikan kesempatan melalui perjumpaan dengan sang pastor budiman.
***
Soekarno bahagia karena pentas perdana sandiwara telah berjalan lancar. Penonton penuh sesak di aula gereja. Pater Huijtink juga ikut memberi aplaus atas penampilan Kelimotoe Toneel Club.
Di sela-sela pertunjukan, setelah lagu Indonesia Raya berkumandang, sang misionaris berbisik, “Tuan, saya orang Belanda tapi saya dukung kemerdekaan kalian.”
Soekarno membalas bisikan itu dengan anggukan kepala dan ucapan “Dank je wel”. Ia tidak ingin membahayakan posisi sang pastor. Jangan sampai mata-mata opsir Belanda mendengar.
Diiringi anak-anak muda, Soekarno berjalan kembali ke rumah pengasingannya. Karena lelah, ia singgah di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Ia duduk manis sembari menikmati debur ombak pantai di hadapannya.
“Tolong beritahu istriku, tolong buatkan teh manis untuk kita. Bawalah teh dan kue ke sini. Di sini enak sekali udaranya,” pesan Soekarno pada anak-anak muda itu.
Di bawah pohon sukun rindang bercabang lima, Soekarno termenung sendirian. Ia teringat lakon sandiwara tadi. Seorang dari Jawa yang dibawa ikan paus dan akhirnya menjadi raja pertama Ende.
Dalam hatinya, Soekarno berkata: “Alangkah indahnya jika Indonesia ini bersatu padu dan memiliki pemimpin bijaksana yang membawa bangsa besar ini ke pintu gerbang kemerdekaannya.”
Dari kejauhan, lonceng gereja berdentang. Tak berselang lama, suara merdu muazin dari masjid terdengar. Memanggil sujud khusyuk insan-insan budiman.
Bayu senja bertiup lembut. Soekarno tercenung di bawah pohon sukun itu pada suatu senja dari senja-senja syahdu di Ende yang akan ia kenang selama hayat masih dikandung badan.
Oleh Bobby Steven, MSF
HIDUP, Edisi No. 36, Tahun ke-75, Minggu, 5 September 2021