HIDUPKATOLIK.COM
Berpikir sebelum bicara…
Bicara saja dulu baru mikir dampaknya…
Bicara tanpa mikir, biar orang lain yang mikir…
Aaaahhhh… Izinkan aku berhenti berpikir?
*
“Mikiiiiiirrrrrrr!”
Kata pendek, tapi maknanya bisa panjang tergantung cara pengucapan. Kata ini juga kerap dilontarkan komedian Cak Lontong, tiap dia berseru: Mikiiirrrr.., apapun konteksnya selalu memancing gelak.
Bagaimana kalau bukan Cak Lontong yang menyerukan, masihkah kita terbahak? Disuruh mikir, yang artinya selama ini kita nggak mikir, asal nyeplak. Bahkan ada kalanya sebelum bicara pun tidak dipikirkan dulu. Lontarkan saja, biarin orang lain yang mikir. Tapi ada juga kok yang mikir dulu sebelum bicara sehingga efek dari pembicaraan terkendali. Tidak sembarang mengucap tanpa mikir, setelah berdampak baru mikir.
Sejujurnya semua model berpikir ini pernah kulakukan dan mendapatkan umpan balik beragam. Akhir dari segala diskusi entah itu pakai dipikirin dulu atau tidak akan berakhir dengan kalimat singkat, menohok, meninggalkan kesan mendalam: “Nggak punya otak!”
Aw..aw..aw.. kebayang kan seperti apa bekasnya dalam hati dan pikiran sekiranya ada ucapan demikian. Ada juga sih yang nggak peduli dibilang nggak punya ortak. Buktinya terus berulang kok melakukan hal sama. Sudah pada malas mikir bikin situasi makin runyam. Ketika orang berpikir untuk diri sendiri saja malas, apa lagi mikirin orang lain? Kalau mau sok berteori, berpikir itu berbanding lurus dengan selamat bodi. *aaah..apa sih…!
Untukku dengan kapasitas otak yang dangkal–dangkal keruh, lewat beberapa kejadian akhirnya berkesimpulan, berhenti berpikir itu ada nikmatnya juga lho dengan catatan tetap memikirkan situasi umum. Jadi begini, dalam satu situasi tugas harus menghubungi seorang bernama Pedro dan sebelumnya sudah ‘dipuaskan’ informasi tentangnya dari berbagai sumber. Itu dilakukan para pemberi informasi sungguh atas niatan baik dan ingin aku akan aman-aman saja saat bertemu karena bisa mengantisipasi.
Berbekal informasi itu aku mulai memikirkan segala kemungkinan bahkan membuat simulasi sendiri jika begini akan begitu. Jika begitu akan seperti apa. Lengkap berikut susunan jawaban bagi segala kemungkinan, yang nota bene pertanyaan dari beliau nanti pun sudah kukarang sendiri sebagai antisipasi. Ibarat kata, berangkat ke medan perang seluruh amunisi, senjata bahkan konsumsi sudah siap.
Dengan persiapan begitu matang, apakah jadi tenang? Oh.. tidak…! Tetap ada kekuatiran. Sebetulnya bukan takut sama Pedro, karena toh belum kenal juga. Justru lebih takut pada diri sendiri, bagaimana sekiranya terpancing emosi, bisakah menahan diri atau sekalian mengajak ribut demi harga diri? Satu yang tertanam di benak, jangan sampai bertikailah karena ini tugas pelayanan dalam pendidikan. Pasti memalukan dalam kapasitas pelayanan bidang pendidikan pula sampai terjadi perselisihan. Meski tahu dan sadar betul sebuat tempat bernama pelayanan bukan berarti terbebas dari pertikaian. Hmmm.. justru kadang di situlah tumbuh subur, sebab ada juga yang bergerak dalam sebuah pelayanan malah minta dilayani tanpa sadar bahkan kadang secara sadar.
Baiklah, kembali saja pada Pedro. Dalam pertemuan, seluruh persiapan tadi tak terpakai termasuk simulasi kata, sikap, prilaku sebagai antisipasi tak guna. Figur Pedro yang sudah berstempel ‘angker’, ternyata sangat ramah, kooperatif bahkan luwes dalam menangani perkara. Sama sekali terbalik dari gambaran yang tecipta dalam pikiranku.
Apakah para informan tadi salah? Fitnah? Menghakimi? Sok Tahu?
Tidak juga, sebab bukan satu orang. Ada beberapa yang punya kesan serta pengalaman tak sedap dan selalu sama. Wajarkan sampai menyimpulkan ‘keangkeran’.
Yuk main tebak-tebakan….!
Apakah Pedro sedang bersandiwara denganku? Perbaikan citra? Pura-pura baik di awal, nanti setelah terpesona mulai ‘membantai’ seperti terjadi pada individu-individu sebelumnya? Atau kalau berusaha berpikir positif, mungkin sudah berubah lebih baik kalau enggan mengatakan bertobat.
Entahlah..!
Yang pasti saat itu aku merasa terhukum telah punya ‘tuduhan’ terhadapnya sebelum lagi kenal. Setelah mengasihani Pedro karena telah membangun prasangka buruk, aku lalu mengasihani diri sendiri karena tidak adil pada Pedro.Tapi lebih tidak adil lagi pada diriku, membiarkan kepala pusing duluan, memaksa otak berpikir keras menyusun strategi yang sesungguhnya tak penting hingga simulasi, konspirasi berujung stagnasi.
Untung bisa cepat mengalihkan cara pandang dan pola pikir tentang Pedro dan komunikasi lancar meski sulit mengabaikan apalagi memaafkan diri betapa aku sudah membentuk penilaian keliru yang merugikan orang itu.
Setelah akhirnya terjalin relasi baik, selesaikah persoalan? Harusnya demikian, tetapi ternyata tidak karena pikiranku teracak-acak lagi komentar susulan.
“Beruntung kamu ketemu Pedro pas dia ‘waras’!”
“Yaa.. di awal-awal sama gue juga begitu…! Setelahnya….hiiiyy.. taring mencuat juga cuy…!”
“Kita lihat saja nanti…, masa ‘promo kebaikan’ nya sampai kapan….!”
Tja..! Ini dia… Betul sekali…! “Kita lihat saja nanti…”
Jadi nggak usah ribut di awal kan? Kenapa menyiksa diri dengan memenuhi (mengotori) pikiran sementara kita nggak pernah tahu apa bakal terjadi.
Masih ada tambahan komentar nih,
“Itu namanya riset sebelum bergerak…!”
“Referensi .., biar nggak terlihat bego…!”
Boleh ya kita bahas tiap komentar karena memang ada benarnya. Segala sesuatu sebaiknya memang dipersiapkan. Tapi…., riset..? Ini kan bukan penelitian, hanya bertemu seseorang untuk membahas sesuatu. Lalu, biar nggak terlihat bego! Seandainya terlihat bego, masalah ya…? Pilih mana.., tampak bego ternyata pintarnya ketahuan belakangan, daripada sok pintar tapi di ujung muncul kebodohan hakiki.
Walah, kalau diteruskan bakal panjang. Ragam pikiran awal berasal dari serbuan informasi, sebut sajalah dikategorikan sebagai riset dan bahan referensi tadi telah merasuk pikiran. Lalu menimbulkan rasa kuatir bahkan takut dengan segala praduga dan kegaduhan dalam diri. Akhirnya kalah sebelum perang atau tetap maju dalam bimbang hingga tekanan darah yang sudah tinggi makin naik, yang rendah malah melorot. Kepala berputar ditambah jantung berpacu atas keriuhan akibat terlalu keras berpikir. Energi tersedot untuk kekuatiran yang tak terjadi! Ahh.. sayang!
Permisiiii, ini sungguh curahan hati murni
Atas pengalaman pribadi, bukan menggurui
Akupun sedang berbenah diri
Dengan sejenak berhenti berpikir…
Ita Sembiring, Kontributor, Pekerja Seni